To Manurung vs To Sangiang STUDI KASUS MASA AWAL KERAJAAN TANETE
To Manurung vs To
Sangiang
STUDI KASUS MASA AWAL
KERAJAAN TANETE
Proses awal keberadaan
kerajaan- kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali
dengan mitos-mitos sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang
diakui bahwa sebelum mitos-mitos itu muncul dan menjadi suatu konsep legalitas
kerajaan, sebenarnya kerajaan- kerajaan itu telah lama ada dan eksis menurut
pemikiran kolektif kelampauan mereka seperti kerajaan Luwu, Bone, Gowa,
Soppeng, Wajo, Tanete dan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Mitos
itulah yang memunculkan tokoh Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya.
Namun yang paling menakjubkan karena kemunculannya selalu bertepatan dengan
adanya konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah
yang dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan
kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian.
Konstelasi politik
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya
kecenderungan untuk menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang
disebut Tu Manurung seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan
lain-lain. Namun ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali
adanya konflik internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di
Tanete. Sehingga permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang
adalah “kenapa To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan
konflik, dan apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab
pertanyaan itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan
kasus Tu Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.
To Manurung di Bone
diawali dengan mitologi yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa
To Manurung proses rawal munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV.
Demikian juga di Bone tidak ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa
Tu Manurung muncul pada saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh
unit kerajaan yang ada di Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang
paling layak memegang tahta kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai
datangnya Tu Manurung. Dimana dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali
dengan hujan ribut, guntur menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan
disertai angin kencang sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa,
nampaklah salah seorang yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di
Bone dan tidak ada yang mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu
Manurung (orang yang turun dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya
Tu Manurung untuk menjadi raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa
permintaanmu itu baik sekali dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga
hanyalah hamba, namun jika rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah
kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju
tempat yang dimaksud pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan
guntur bersambut- sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud
maka terlihatlah oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki
duduk berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya
yang duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu
memegang payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas
dan yang satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah
terjadi tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak
perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal
integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu
Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula
untuk dibandingkan dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal
kerajaan Tanete. Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik
internal kerajaan tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang
diperbandingkan mengenai periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di
kebanyakan kerajaan di Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal
kemunculan To Sangiang di kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To
Manurung banyak di beritakan muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara
To Sangiang di Tanete muncul sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal
kerajaan Tanete juga mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda
dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain
pada umumnya melahirkan tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete
melahirkan tokoh dengan sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai
dengan adanya ciri-ciri berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air
dan ikan yang banyak yang sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung- burung yang
mengabdi padanya di atas Gunung Pangi. Keluarga To Sangiang inilah yang
nantinya membuka lahan pertanian yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran
dan tempat itu tidak begitu jauh dari laut dengan sebutan Arung Nionjo,
kemudian menjadi Agang Nionjo dan selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan
Agangnionjo sebagai cikal bakal kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan
Raja VII Tu Maburu Limanna. Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai
pada masa pemerintahan Tu Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal
kerajaan Tanete karena pada masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi
kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan
masyrakat Tanete yang kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah
tersebut diceritakan adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan
ke-Arungan atau wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung.
Adapun Arung yang sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung
Alekale. Dimana dikisahkan Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan
di kawasan pegunungan Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah
jangang-jangangnge dijumpai sebuah tempayan (balubu) yang berisi air,
suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu ternyata benar.
Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di sekitarnya
beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka dengan membawa
ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan kepada pasangan
suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang
rasa ingin tahu Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri
pasangan suami-istri itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang
diperoleh bahkan menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan
bahwa mereka tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal
mula datangnya mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata
angin, barat, timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh
pengiringnya menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk
mengajak pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama
“silakan makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan
nasi tetapi hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”.
Jawaban itu menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan
suami-istri ini. Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting
langi) yang sering disebut Tumanurung karena berada di
puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari dunia bawah (paratiwi) melalui
laut yang biasa disebut Tautompo karena hanya memakan ikan
mentah. Persoalan itu yang mendorong Arung pangi dan pengiringnya menyebut
pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah bersantap, Arung
Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan
menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan
turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya
berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi
sampai di kerajaannya mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga
bersepakatlah Arung Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka
bertemu. Kemudian Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang
bersama kerabatnya Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin
persahabatan. Arung Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada
To Sangiang kiranya berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan
kekeluargaan. Dengan demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun
To Sangiang merespon tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan
kepada Arung Pangi sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa
disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk
mengajak turun To Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki
hasrat yang sama agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra
Arung Pangi. Ketika hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala
kunjungan pertemuan ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh
Arung Pangi walaupun Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa
sangat gembira menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak
kembali untuk menjemput puterinya.
Arung Pangi dan
pengiringnya kembali ke Pangi dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada
Arung Alekale dan seluruh kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To
Sangiang. Hasil pertemuan keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To
Sangiang itu dengan putera Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu
berangkatlah rombongan ke tempat kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan
putera Arung Alekale dengan puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung
Alekale dan Arung Pangi itu disambut gembira sehingga rencana peminangan dan
pernikahan juga langsung diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung
Riale-alena setelah menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang
setelah beberapa waktu pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung
Alekake, mereka pun berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan
anak putranya sebanyak tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat
ketempat lain untuk mencari daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan
kemakmuran diantara mereka. Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok
akhirnya mereka memilih dan menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali,
kemudian ditempat itu mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La
Ponrang. Keluarga ini semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan
pertanian. Tetapi keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung
berselisi paham dan bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang
mereka kerjakan dan alat yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu
(salaga). Untuk mencegah pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif
yang lebih keras, To Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke
selatan dan mengolah lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya
pindah ke bagian utara di daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap
tinggal bersama orang tuanya.
Solusi yang ditempuh To
Sangiang untuk memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan
ternyata tidak menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka,
terbukti ketika sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang
dipakai adiknya. Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi
pertengkaran dan perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya
mengecewakannya tetapi juga mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini
sesungguhnya bukan tempat yang pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk
meninggalkannya dan mencari tempat yang baru. Akhirnya disepekati untuk pindah
ke tempat yang baru, dekat dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La
Poncing. To Sangiang membuka areal persawahan yang dinamai La Mangngade,
sementara puteranya yang sulung membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan
sawah ayahnya (selatan La Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah
Ujungnge, dan putera bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran.
Kemudian keseluruhan lahan itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian
berubah dan diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram
dan memperoleh hasil usaha yang berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil
dikelola menjadi lahan poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman
yang baru ini mereka boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh
kebahagiaan dan kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus.
Berselang beberapa tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan
antara puteranya yang sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu
semakin hari semakin meningkat intensitasnya dan mengarah pada tindakan
kekerasan untuk saling membunuh. Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti
tempo yang lalu agaknya masih kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari
solusi yang lain. Namun uniknya solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda
pada kenyataan proses penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai
kedamaian, ketemtraman dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu
munculnya konsep Tu Manurung sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan
kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri). Yang ketika itu menjabat sebagai
Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto
Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Ketika To Sangiang meminta
bantuan tersebut Karaeng Sigeri menerima baik tawaran itu dan menyatakan
bersedia membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan
tetapi tidak seketika itu juga memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu
rakyatnya telah memulai mengolah lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh
Karaeng Sigeri untuk tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan
itu karena dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan
masyarakat Sigeri dan Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha
pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat
pemerintahannya. Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik
dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah,
dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga
mengisyaratkan bahwa kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik
tidaknya perilaku raja. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan
kepada penguasa yang menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari
perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha
pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah
melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka.
Maka dengan demikian raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan
menyayangi dirinya sendiri agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir
dan melekat pada semua rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di
Sigeri sebagaimana janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam
menyelesaikan perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh.
Akhirnya Karaeng Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam
menangani perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang
bersifat persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan
dan perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak
yang bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda
ucapan terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan
Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan
atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada
kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa
Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta
pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan
Karaeng Sigeri menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya
memberikan kepuasan dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga
kagum atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga
Agangnionjo pada umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar
bersedia menetap di Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo.
Kemudian rencana itu dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama
istrinya menemui dan menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo
itu. Apa yang menjadi keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri
bersedia menerima amanah itu. Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan
termasuk permaisuri mempersiapkan diri dan berangkat bersama dengan diiringi
pula dengan sejumlah matowanya ke Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta
Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng). Pelantikanpun segera dilaksanakan yang
disaksikan oleh semua warga masyarakat Agangnionjo termasuk mengundang Arung
Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian pelantikan itu pula To Sangiang
menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat Agangnionjo bahwa: “ kami semua
keluarga dan kerabat memohon diberkati, dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi
oleh paduka raja tuanku, seperti haknya dengan orang-orang Sigeri “. To
Sangiang melantik Arung Sigeri menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan
diberi gelar Datu GollaE (1552-1564).
Setelah pelantikan itu,
dibangunkanlah istana untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La
Ponceng. Sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum,
Arung Pangi dan Arung Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan
persembahan( kasuwiyang ). Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya
merupakan hasil produksi rakyat itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi
penguasa tetapi juga terkandung nilai relegius yang menempatkan sang penguasa
sebagai pemengang kendali politik yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin
rakyatnya hidup dengan tentram dan sejahtera. Dalam masyarakat tradisional
seorang raja (penguasa ) dipandang pula memiliki dan menguasai
kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan untuk menciptakan tertib
alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha rakyatnya baik dalam bidang
pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam
melaksanakan roda pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan
pemerintahan dengan sebutan Pangara-Wampang Puang Lolo Ujung
yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada masa itu
mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat pesat. Setelah
puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui ajalnya dan
digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja satu tahun dia
memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat cobaan yang
sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang sehingga rakyat
menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat menyesal menjadi
raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi mengasingkan diri
dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE ri
Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun
hasilnya kembali meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi
makmur pula. Raja ini memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan
digantikan oleh Raja Daeng Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri
Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk jabatan pabbicara yang dijabat oleh La
pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa ini pula terjadi Perang Agangnionjo,
yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang
mula-mula ingin datang menentang kerajaan Gowa atas berbagai kebijakannya yang
dianggap tidak banyak menguntungkan kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka
dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa
untuk berperang. Nasehat itu tidak diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke
Gowa sehingga perangpun tidak bisa dikendalikan dan berlansung beberapa hari.
Atas kemenangan Perang itu, Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu
saudara dan diberi berbagai kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk
bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan
Daeng Ngasseng, orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari
tempat tinggal dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia
memerintah beberapa tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui
ajalnya dengan tenang dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak
diketahui nama aslinya). Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan
digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang
sangat terkenal karena kejujuran dan kepintarannya, suka bermusyawarah dengan
pembesar-pembesar kerajaan termasuk punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng
Sinjai ini penduduk Agangnionjo semakin meningkat seiring dengan peningkatan
dan kemajuan kemakmuran. Setelah beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu
Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603) menduduki takta kerajaan
mengantikan Daeng Sanjai. Meskipun ia adalah raja yang mewariskan kekayaan dan
kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap
terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu,
sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya
baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia
perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan ini berkembang pesat
dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai kebutuhan pangan,
seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan Makassar.
Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam bentuk
bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar, tetapi
juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak ada
pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi yang
berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi penaklukan
dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam
dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat antara
lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia
perdagangan maritim itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar
niaganya, termasuk pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal
dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja
mendirikan lojinya dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak
sebelah selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan
berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi
pangan dari kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada
periodenya datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor,
yang melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan
puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman
yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini
berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam
perdagangan maritim, namun demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan
hubungan persekutuannya dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun
raja Agangnionjo melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu
kunjungannya ke Sombaopu, datang pula Opu Tanete ( Selayar ) menghadap raja
Makassar yang menyampaikan bahwa ia datang membawa duni ( peti mayat ) yang
berisi jenazah putera raja Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat
perahu daganganya tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja
Makassar memohon kepada Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu
Tanete bersama pengiring jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah
itu dijaga bersama oleh pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan
tenaga untuk mengusung peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang
pengusungan jenazah itu dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa
iring-iringan itu adalah iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh
raja Anangnionjo dan Opu Tanete ( Selayar ). Tampaknya dua pengiring dengan
satu nama itu menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas
saran raja Gowa supaya mereka dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari
Luwu, dua raja itu berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi
pokoknya adalah: “ jika rakyat Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka
dia menjadi orang Tanete, demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja
Agangnionjo berada di perairan Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan
tergesah-gesah, wajib singgah walaupun hanya sejenak, demikian pula sebaliknya
dan sejak itulah nama Kerajaan Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan
kemudian nama ini dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama
Agangnionjo karena ketika itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak
hanya mencakup wilayah awal kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To
Maburu Limananna telah meliputi: Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu,
Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru, Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru,
Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri, Balenrang, Salomoni, Boli dan
Cenekko. Sementara beberapa daerah yang digabungkan kepada Tanete adalah:
Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda, Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah
yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja
yang sangat murah hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka
menolong orang yang mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi
dalamnya. Itulah pula sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri
Adenenna dan diberikan tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu
diberi nama Lipukasi. Sikap murah hati itu menyebabkan raja ini sangat
disenangi dan dicintai oleh rakyatnya