Perbandingan Mitos To Dipanurung di Mandar dan Kisah To Manurung Batara Guru dalam La Galigo
Perbandingan Mitos To
Dipanurung di Mandar dan Kisah To Manurung Batara Guru dalam La Galigo
Mandar ialah suatu
kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi
pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja
mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi
Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan cultural Mandar
tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah
Mandar merupakan ikatan persatuan antara 7 Kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na
Binanga) dan 7 Kerajaan di Gunung (Pitu Ulunna Salu). Secara etnis Pitu Ulunna
Salu atau biasa dikenal sebagai Kondosapata tergolong ke dalam grup Toraja
(Mamasa dan sebagian Mamuju), sedangkan di Pitu Ba’ba’na Binanga sendiri
terdapat ragam dialek serta bahasa yang berlainan. Ke 14 kekuatan ini saling
melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian
yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Mitos
To Dipanurung di Mandar
Di Passaleng Ma’duaE (Pasal Dua), dikisahkan tentang To Manurung
(lontar ini menggunakan terminology “To Dipanurung”, namun dalam terjemahan
istilah yang dipakai Bapak Azis ialah To Manurung) atau orang yang turun dari
langit di daerah hulu Sungai Saddang yang menjadi nenek moyang mereka. To
Manurung ini ada 2 orang, To Kombong di Bura yang berjenis kelamin laki-laki
dan To Bisse di Tallang yang berjenis kelamin perempuan. Mereka menikah dan
kemudian melahirkan seorang putra bernama To banua Pong (Orang Kampung Tua). To
Banua Pong bermukim di Rattebulawang atau Rantebulahan lalu menikah dengan
sepupu sekalinya dan menurunkan 5 anak.
Ke
5 anak To Banua Pong ini antara lain, I Landoq Beluaq sebagai anang perempuan
sulung, I Laso Keppang, I landoq Guttuq, Usuqsabambang, dan I Paqdorang. I Landoq
Beluaq sevara harfiah berarti “Si Rambut Pangjang”. Ia dikisahkan menikah
dengan seorang bangsawan dari daerah Bone yang menelusuri sehelau rambutnya
yang lepas di sungai ketika mandi. Mirip dengan dongeng Rapunzel Si Putri
Berambut Panjang dari Jerman. Hanya saja di versi ini I Landoq Beluaq tidak
dikurung oleh seorang ibu tiri yang jahat, ia justru dibebaskan untuk menikah
dengan Sang Pangeran lalu pergi menuju ke Selatan, menjadi leluhur bangsa
Makassar. Anak Kedua, I Laso Keppang, berangkat ke Belawa di Luwu. I Landoq
Guttuq anak perempuan lainnya pergi ke Ulu Saddang. Usuqsabambang bermukim di
Karonnangan, dan yang terakhir, I Paqdorang tinggal di Bittuang.
Paqdorang
memperistrikan seorang wanita bernama Rattebiang. Dari pasangan ini lahir 4
bersaudara, I Tasudidi, Sibannangang yang menjadi leluhur Mamasa, anak ketiga
tidak diketahui namanya namun menjadi leluhur orang Masuppu, dan anak keempat
bernama I Pongkapadang yang tinggal di Gunung Mambuliling. Pongkapadang menikah
dengan seorang wanita dari Sanrabone (Gowa) di Buttu Bulu. Dahulu laut hanya
sampai disitu, sehingga disitulah perahu Pongkapadang berlabuh.
Dalam versi Kondosapata. Pongkapadang menggembara hingga tiba dipesisir pantai
Ulu Manda’. Mamuju yang kemudian menjadi wilayah kekuasaannya. Di tepi laut ia
menemukan seorang wanita asal Bugis Makassar. Wanita itu ia angkat sebagai
istri dan ia beri nama To ri Je’ne’ (Bahasa Makassar, to=manusia, ri=dari,
je’ne=air). To ri Je’ne ini kemungkinan besar adalah wanita yang dalam versi
Lontara Pattodioloang disebut sebagai I Sanrabone. Dari hasil perkawinannya
dengan To ri Je’ne’, Pongkapang mendapat 7 orang anak dan 11 orang cucu,
sehingga timbul ungkapan dalam Bahasa Kondosapata, Dadi Tau Pitu, Tau Sapulo
Mesa. Sosok Pongkapadang inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur
bangsa-bangsa di Sulawesi Barat, Tengah, dan Selatan.
To Dipanurung di Mandar
dan To Manurung di Bugis
Kisah di dalam Lontara
Pattodioloang Mandar maupun epos besar La Galigo sama-sama berawal dari tradisi
lisan yang telah ratusan tahun berkembang sebelum dituliskan. Entah, kisah mana
yang terlebih dahulu muncul di tengah masyarakat. Meskipun keduanya tampak
berbeda, terdapat kesamaan-kesamaan unsure berkembang sesuai dengan karakter
kebudayaan masing-masing. Kedua kisah mengenai asal mula manusia dibumi diawali
oleh kemunculan manusia-manusia supranatural dari atas langit atau dari bawah
bumi (lautan).
Karakter
To Dipanurung yang merintis kehidupan umat manusia dalam kebudayaan Mandar
ialah To Kombong Di Wura dan To Bisse di Tallang. To Kombong di Wura secara
harfiah berarti “manusia yang muncul meniti buih” sedangkan To Bisse di Tallang
“manusia yang keluar dari bamboo”. Dari namanya, kedua karakter ini identik
dengan tokoh Batara Guru dan We Nyiliq Timoq. To Manurung dan To Tompoq dalam
La Galigo. Batara Guru diturunkan dari langit melalui sebilah bambo betung,
sehungga kelak cucunya dinamai Sawe ri Gading (lahir dari bamboo). We Nyiliq
Timoq yang dimunculkan dari dalam samudera memiliki julukan “To TompoE ri Busa
Empong” alias orang yang dimunculkan dari buih-buih lautab. Perbedaan antara
kedua mitos ini terketak pada jenis kelamin karakternya. Apabila di dalam La
Galigo tokoh laki-laki ialah ia yang menetas dari bamboo betung, maka di dalam
versi Lontara Pattodioloang ia justru seorang perempuan. Demikian pula ketika
di dalam La Galigo tokoh yang keluar dari samudera dengan meniti buah ialah
seorang perempuan, di versi Lontara Pattodioloang ia justru berjenis kelamin
laki-laki. Perlu di catat, pada sumber naskah sejarah Mandar lainnya seperti
Lontaraq Pattappingan karakter To Kombong di Wura ialah seorang laki-laki dan
To Bisse di Tallang ialah seorang perempuan. Demikian pula dalam versi silsilah
Mandar oleh Andi Syaiful Sinrang.
Sebagian
sumber sejarah Mandar, sebagaiman yang disarikan oleh DRS. Anwar Sewang, konon
menyebut sosok Pongkapadang yang dianggap sebagai leluhur orang Mandar dan
Kondosapata itu bersaudara dengan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Sureq Galigo
tidak menyebutkan nama Pongkapadang sebagai saudara keduanya sepanjang cerita,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa saudara lain selain permaisurinya,
We Datu Sengngeng. Bisa jadi Pongkapadang disebut dengan nama lain sesuai
karakter pernamaan Bugis. Melalui trah “manusia yang menetas dari bamboo
betung” dan “manusia yang muncul tiba-tiba dari busa di lautan” inilah generasi
maddara-takku menyemarakkan bumi dengan peradaban dan sitem-sistem nilai.
Hal
yang menarik dari mitos To Dipanurung ialah, pasca masa-masa chaotic yang
dikenal dengan periode “Sianre Bale Tauwwe”, bermunculan banyak To Manurung
diberbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada Mata Si LompoE di Bone, Putri
Tammalate dan Karaeng Bajo di Gowa, Guru ri Selleng di Enrekang, dan lain
sebagainya. Akan tetapi di daerah Mandar sepanjang sejarahnya hanya ada To
Manurung yang mengikat seluruh etnis di Pitu Ba’ba’na Binanga dan Pitu Ulunna
Salu, To Kombong di Wura dan To Bisse di tallang. To Manurung ini mampir ke
muka bumi hanya untuk memulai kehidupan dan membuka jalan menuju peradaban.
Sisanya, keturunan mereka yang dibekali leadership dan kemampuan luar basalah
yang menjadi pemimpin (tomakaka, maraqdia) di tengah masyarakat. Contohnya
seperti ongkapadang, To Lombeng Susu, Maraqdia To Dilaling, dan lain
sebagainya.
Sebenarnya
ada sosok To Manurung lain dalam kebudayaan Mandar, seperti Putri To Nisesse di
Tingalor. Akan tetapi, ia tidak dapat digolongkan ke dalam katergori To
Manurung yang sengaja turun untuk membina umat manusia. To Nisesse di Tingalor
merupakan Putri seorang Dewa yang jatuh terpeleset dari tangga langit ketika
tengah berlatih menuri untuk Upacara Kahyangan. Ia terjatuh ke bumi dan turun
menuju lautan, namun diselamatkan oleh seekor ikan hiu besar (Bahasa mandar :
Tingalor) dengan cara ditelan. Seorang nelayan di daerah Pamboang berhasil
menangkap ikan hiu tersebut dan mendengar ada suara perempuan yang sedang
bernyanyi dari dalam perut ikan.
Ketika
dibelah, ia menemukan Sang Putri yang sedang duduk dalam pakaian kahyangan
lengkap. Hingga saat ini bangsawan di Pamboang masih menyimpan bakkar (anting-anting)
dan kuku-kuku hias yang berasal dari Sang Putri sebagai pusaka. Sang Putri di
bawah kepada Raja Pamboang lalu dinikahkan dengan Putra Mahkota. Pernikahan
tersebut dikaruniai seorang putra. Sebagai seorang penghuni kahyangan, To
Nisesse di Tingalor memiliki pantangan untuk bernyanyi dihadapan manusia biasa.
Suatu hari ia tengah bernyanyi untuk bayinya, Sang Suami dating dan meminta
Sang Putri bernyanyi pula untuk dirinya. Meskipun telah ditolak, Sang Suami
tetap tetap memaksa. Dengan berat hati, To Nisesse di Tingalor lalu bernyanyi
dari dalam sarung yang ujung-ujungnya terikat karena takut akan dijemput pulang
ke Boting Langiq. Ternyata benar, setelah ia mulai bernyanyi untuk suaminya,
celah kecil di atar rumah mereka membuka dan tiba-tiba To Nisesse di Tingalor
melayang ke angkasa. Dengan penuh tangis ia terbang kembali ke kahyangan.
Gerakan To Nisesse di Tingalor ketika terbang kembali ke kahyangan itulah yang
menjadi asal mula Tari Pattuduq Mandar.
Kesamaan budaya antara
Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja memang amat menarik untuk dikaji. Tidak
hanya dari segi mitos, namun juga dari bahasa, pakaian, motif-motif local,
serta adat istiadat. Perbedaan yang ada antara ke 4 etnis serumpun ini
janganlah dijadikan sebagai penghalang untuk saling mengerti, menghargai, dan
belajar. Keunikan budaya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dapat menjadi
asset besar demi kemajuan Indonesia di masa mendatang.
Malilu sipakaingaq,
raqbaq sipatokkong, tuppang sipakalewa, manus siparappe (lupa sama mengingatkan, runtuh sama membangunkan, tenggelam sama
mengapungkan, hanyut sama mendaratkan).