Manurung-E ri Matajang, Mata SilompoE (1326–1358)
Manurung-E ri Matajang,
Mata SilompoE (1326–1358)
Konflik Antar Kalula
Selama tujuh pariama (diperkirakan
kurang-lebih 70 tahun) yang disebut sebagai Bone pada awalnya hanya meliputi
tujuh unit anang (kampung) yakni; Ujung,
Ponceng, Ta’, Tibojong, Tanete Riattang, Tanete Riawang danMacege, tenggelam
dalam situasi konflik yang berkepanjangan. Kondisi ini dalam bahasa Bugis
dikenal dengan istilah sianre bale, dimana yang kuat memangsa yang
lemah. Luas Bone pada masa itu terbilang lebih kecil dari Ibukota Kabupaten
Bone, Watampone sekarang.
Masing-masing anang dipimpin
oleh seorang Kalula, gelar pemimpin kelompok. Situasi politik ini
merupakan akibat langsung dari kondisi tidak adanya (lagi) tokoh yang mereka
anggap sebagai pemimpin besar yang dapat mempersatujuan visi dan misi ke
tujuh anang tersebut. Menurut lontara’, hal ini secara
implisit dijelaskan dalam Sure’ La Galigo, lebih disebabkan oleh
punahnya (sudah tidak terdeteksinya) keturunan-keturunan La
Galigo di Bone. Ketujuh pemimpin (kalula) kelompok
masyarakat (anang) saling mengklaim “hak” atas
kepemimpinan wilayah Bone tersebut. Ada juga budayawan yang menyebutKalalu
Anang Cina, Barebbo, Awampone dan Palakka sudah turut dalam perjanjian
ManurungE dengan orang Bone, namun karena kurangnya data/lontara’ yang
mendukung, penulis menafikan pernyataan tersebut.
Konflik antar kalula
berlangsung selama bertahun-tahun. Masing-masing mengkalim sebagai keturunan La
Galigo yang, karena keterbatasannya tidak mampu menunjukkan bukti-bukti (mereka
belum mengenal silsilah), merasa berhak atas kepemimpinan dikalangan kalula.
Semangat kejahiliyahan membara untuk saling atas-mengatasi sehingga perang
saudara (kelompok) tidak bisa dihindari.
Catatan
Ada yang menafsir satu
pariama sama dengan seratus tahun, ada pula yang mengatakan sepuluh tahun;
namun beberapa informasi dari lontara’ lebih rasional mengikuti yang sepuluh
tahun).
Manurung-E
Manurung-E, berasal dari bahasa Bugis yang dalam terjemahan bebasnya
berarti “orang yang turun dari ketinggian“. Dalam aturan bahasa
bugis, khususnya Bugis-Bone, akhiran E dipakai untuk menunjuk kata kepunyaan,
akhiran ‘nya’ dalam bahasa Indonesia. Sehingga akhiran E pada
kata Manurungyang diikutinya akan menunjukkan arti dialah
orang yang turun dari ketinggian.
Kepercayaan
Bugis-Makassar sebelum mengenal Islam, Manurung-E atau Tu Manurung (red.
Makassar) dianggap sebagai perwujudan tuhan, dewa(Bugis-Bone: dewata
seuwwaE); manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai manusia
pertama (Adam). Namun seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, sulit rasanya
untuk menerima argumen-argumen to-riolo (nenek moyang).
Sejumlah asumsi yang dibangun oleh ahli sejarah pun tidak cukup memberikan
pemahaman yang memadai kepada kita dikarenakan kurangnya bahan kajian. Satu hal
penting yang disepakati oleh para budayawan adalah bahwa Manurung-E merupakan
manusia yang mempunyai kelebihan dibandingkan manusia lainnya; pandai dan
mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan masyarakat sekitarnya.
Hal ini juga dipertegas
dalam lontara’ yang mengisahkan adanya sekelompok masyarakat yang menyambutnya
kemudian memintanya untuk menjadi raja/mangkau’. Oleh sebab itu,
disinyalir to manurung sebagai orang suci (saint) yang
sedang dalam perjalanan spiritual. Namun, kemudian terdampar pada sebuah daerah
(bugis) yang ‘kebutulan’ belum memiliki sosok pemimpin/raja.
Berbeda dengan di daerah
lain, sebut misalnya di pulau Jawa, yang banyak meninggalkan jejak sejarah
seperti prasasti yang informasinya dapat bertahan lama. Oleh sebab itu,
lontara’ harus diletakkan pada posisi terdepan sebagai bahan kajian untuk
mengungkap misteri perjalanan suku-suku di Sulawesi.
Selain di
Nederland-Belanda, keberadaan lontara yang mempunyai informasi penting mengenai
sejarah Kerajaan Bone, khususnya kebudayaan Bugis-Makassar, disinyalir masih
banyak berserakan di tangan-tangan penduduk. Namun ada kepercayaan benda-benda
sejarah ini memiliki “tuah” sehingga mereka enggan memberikan kepada peneliti.
Mereka masih percaya bahwa dengan memegang lontara,kewibawaan mereka akan tetap
terjaga dan senantiasa dihormati oleh masyarakat.
Berdirinya Kerajaan Bone
Dalam lontara’
disebutkan, ketika keturunan dari Puatta Menre’E ri Galigomalawini
darana (bangsawan dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai
akibat perkawinan) terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok
pimpinan yang berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos.
Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan ummat tak
ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa dan saling membunuh. Bone
butuh sosok pemimpin, namun dari kalangan mereka tidak ada yang saling mengakui
keunggulan satu sama lain.
Ketika konflik tengah
berlangsung, sebuah gejala alam yang mengerikan melanda wilayah Bone dan sekitarnya.
Gempa bumi terjadi demikian dahsyatnya, angin puting beliung menerbangkan pohon
beserta akar-akarnya, hujan lebat mengguyur alam semesta dan gemuruh guntur
diiringi lidah kilatan petir yang menyambar datang silih berganti selama
beberapa hari. Gejala alam seperti ini juga diceritakan dalam pararaton (Kitab
Raja-raja) dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit.
Sesaat setelah hujan
reda, dari ufuk timur muncullah bianglala. Tidak berapa lama, di tengah padang
nampak segumpal cahaya yang menyilaukan mata, muncul sosok manusia mengenakan
pakaian serba putih (pabbaju puteh). Karena tak seorang pun yang
mengenalnya, orang-orang menganggapnya sebagai To Manurung, manusia yang turun
dari langit. Cerita kemunculan To Manurung ini cepat menyebar di kalangan Kalula.
Dan mereka pun mengunjungi Sang Misteri. Para kalula anang (pemimpin
kelompok) kemudian mengorganisir diri berembuk untuk, dan sepakat, mengangkat
To Manurung menjadi raja mereka. Bersama dengan orang banyak yang berkumpul
tersebut, para kalula kemudian berkata,
Kami semua datang ke
sini memintamu agar engkau tidak lagimallajang (menghilang).
Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi mangkau’.
Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak
isteri kami engkau cela, kamipun akan turut mencelanya asal engkau mau tinggal.
Orang yang disangka To
Manurung menjawab,
”Bagus sekali maksud
tuan-tuan, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat
menjadi Mangkau sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau.
Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat mangkau’, saya bisa tunjukkan
orangnya. Dialah bangsawan yang saya ikuti.”
Orang banyak berkata,
“Bagaimana mungkin kami
dapat mengangkat seorang mangkau yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To
Manurung menjawab,
”Kalau benar engkau mau
mengangkat seorang mangkau, aya akan tunjukkan tempat matajang (terang), disana
lah bangsawan itu berada”.
Orang banyak berkata,
”Kami benar-benar mau
mengangkat seorang mangkau, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan
jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang
disangka To Manurung bernama Puang Cilaong, mengantar orang banyak tersebut
menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota
Watampone sekarang). Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi.
Halilintar dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras
disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah
To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian
serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu; satu orang yang
memayungi teddumpulaweng (payung berwarna kuning keemasan), satu orang yang
menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang. To Manurung,
”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab,
”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak
tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu
mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian kuning keemasan.
Berkatalah orang banyak kepada To Manurung,
”Kami semua datang ke
sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah (lagi) engkau mallajang
(menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi mangkau’.
Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri-kami
engkau cela, kami pun (turut) mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin
kami”
Manurung menjawab,
”Apakah engkau tidak
membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi tawar
menawar, semacam kontrak sosial, antara To Manurung dengan orang banyak (kalula
anang), dipindahkanlah Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah).
To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak
menyebutnya ManurungE ri Matajang. Salah satu kelebihannya yang
menonjol adalah jika datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul
dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi mangkau’ pertama di Bone.
Adapun yang dilakukan
oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah
– mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang
banyak), mappasikatau (meredakan segala macam konflik
horisontal) dan pangadereng (mengatur tatacara berinteraksi
sesama masyarakat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan
yang bernama woromporong-E berwarna merah dan putih –mirip
bendera Republik Indonesia sekarang.
Setelah genap eppa pariyama (empat
dekade) memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan
menyampaikan,
”Duduklah semua dan
janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan
kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita (ketika
menunjuk/ngangkat aku sebagai Mangkau’-Bone”.
Hanya beberapa saat
setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba
ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat
duduknya. Salenrang dan teddum-pulaweng (payung
kuning keemasan) turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran. Oleh
karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai
Mangkau’ di Bone.
Keturunan
Manurung-E ri
Matajang kawin dengan We
Tenri Wale-ManurungE ri Toro. Dari perkawinan itu lahirlah La
Ummasa, We Pattanra Wanuwa, dan We’ Samateppa (lima
bersaudara, dua diantaranya tidak tercatat [belum] ditemukan dalam lontara’).
Namun, berdasarkan
laporan penelitian dari tim Royal Ark diperoleh informasi bahwa hasil
perkawinan Manurung-E ri Matajang dengan We Tenri
Wale-Manurung-E ri Toro mempunyai dua orang putera dan empat orang
putri yakni:
§Bolong-Lelang, meninggal masa
kanak-kanak;
§La Ummasa To Mulaiye Panreng,
yang selanjutnya menjadi Arumpone kedua;
§We’ Tenri Ronrong, meninggal masa
kanak-kanak;
§We Pattanra Wanuwa, kawin dengan La
Pattikkeng-Arung Palakka. Dari hasil perkawinan ini lahirlah Latenri
Longorang,La Saliyu Karampeluwa Pasadowakki yang selanjutnya
menggantikan pamannya menjadi Arumpone, We Tenri Pappayang kawin
dengan La Tenri Lampa-Arung Kaju, We Tenri Ronrong kawin
dengan dengan La Paonro-Arung Pattiro;
§We Tenri Salogan kawin dengan La
Ranringmusu-Arung Otting; dan
§We Arantiega kawin dengan La
Patongarang-arung Tanete
Catatan
Awal berdirinya Kerajaan
Bone atas dasar: musyawarah, diangkat secara langsung oleh ketua kelompok
(anang) -sepadan dengan wakil rakyat di DPR sekarang, pemimpin diangkat untuk
kepentingan bersama bukan atas dasar kepentingan golongan atau kelompok, dll.