to manurung di kerajaan siang
Kerajaan Siang
Kerajaan
Siang adalah sebuah kerajaan yang pernah ada dan berkembang di
bagian barat jazirah Sulawesi Selatan, Bekas pusat wilayahnya berada di
Sengkae', Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro, Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan atau Pangkep saat ini. Dan merupakan
lokasi Makam Raja Siang Yang Tepatnya Berada di Kampung Siang.
Pengantar
Siang dalam nomenklatur
Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” ,
yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain) . (Pelras,
1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini
terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah
dikunjungi oleh Kapal – kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M
Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau, 2007).
Pelras mengemukakan
bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan,
kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di
semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada
sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut
catatan Portugis dari Abad 16, Tallo atau Kerajaan Tallopernah
ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui
Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka.
(Andaya, 2004).
Sumber Portugis
menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng
(Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja
Portugal I dan Paus Pascal II. (Pelras, 1985, A Zainal Abidin Farid : 1986
dalam Makkulau, 2007).
Catatan Portugis tentang
Kerajaan Siang
Pada tahun 1540 atau
jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai
penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel
Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa.
Penguasanya sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang
dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan
pangan Kerajaan Malaka(Pelras 1973 : 53).
Menurut catatan Portugis
dari Abad 16, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan
setempat mempertahankan pandangan ini. PenemuanArkeologi berharga di bekas
wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah
bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai baratSulawesi Selatan sebelum
bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio
de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk
beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi
Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de
Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras,
1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota
yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi
begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan
Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad 14 –
akhir Abad 16.
Pelras dari penelitian
awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang,
sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad
XIV - XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang
dulunya dikenal Kerajaan Limae Ajattapareng hingga ke selatan
perbatasan Kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI,
Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai
barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan SombaOpu.
Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi
pada masa pemerintahan Raja Gowa IX,Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan
Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya
mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Sumber Lisan dan Tulisan
tentang Kerajaan Siang
Abdul Razak Dg Mile
menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A.
Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode pertama
Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama
Nasauleng atau Nagauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang. Garis
keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja
di Siang (asossorangi ma'gauka) sampai tiba masanya Karaengta Allu memerintah
di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. (Taliu, 1997
dalam Makkulau, 2005).
Sumber tradisi lisan
menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan
perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu,
Jawa dan Manila. Dalam tradisi tuturyang berkembang
di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa
dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras
mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa
pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar Raja – raja dari negeri
besar lain yang melintasi teritori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang”.
(M Ali Fadhillah, 2000 : 17).
Sumber Portugis banyak
menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat,
sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan
Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu
pada masa dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan
pusat politik di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi
bahwa Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan
istilah Makassar (Macacar).(M Ali Fadhillah, 2000 dalam Makkulau,
2007).
Dari kesejajaran konteks
sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang dapat diterangkan
pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti
arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa Siang telah masuk dalam
jaringan perdagangan mungkin langsung dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat
kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Kerajaan
Majapahit di Jawa mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin
meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan
pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari
daratan Asia Tenggara daratan lainnya. (Makkulau, 2005).
Pada periode kedua,
sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang
sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke
Gowa di pesisir barat, bahkan sampaiSuppa dan Sidenreng di
daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya
sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat
politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis
tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo. (Fadhillah
et, al, 2000 dalam Makkulau, 2005).
Pusat kerajaan Siang
pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil
hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu
populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut
yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama.
Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa perubahan pada pola ekonomi,
terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi basah (sawah) dan
memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman dengan pembukaan
hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas utama. (Makkulau,
2005, 2007).
Tome Pires mencatat
bahwa satu tahun setelah jatuhnya Kerajaan Malaka (Tahun 1511), Pulau
– pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam
jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdagangan
Macacar masih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute langsung
ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan
Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara
Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan
Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak
perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548)
ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk
utama Macacar. Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah
mempunyai kesan khusus akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang
terkenal dengan hasil hutan, beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam
Fadhillah,et.al, 2000).
Tonggak sejarah kolonial
di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang. Kekalahan Gowa menghadapi
aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti Gowa dan kebangkitan
kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa'rasanya
Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo'moki Ba'le
(penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut (Jawa dan
Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat nusantara.
(Makkulau, 2005, 2007).
Sejarah kekaraengan
Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor
politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut membantu Gowa
menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene.
Setelah Gowa kalah dari Kompeni Belanda (1667), Labakkang lepas dari
Gowa dan masuk ke dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah
administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali
administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang
). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adat Bujung Tallua , yang
berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana
dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan bergabungnya Penguasa -
penguasa kecil lainnya. (Makkulau, 2005, 2008).
Sistem politik yang
diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri taklukannya itu adalah
menempatkan Bate Ana' Karaeng , biasa disebut bate-bate'a). kemudian disusul
perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri
keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai
saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang
sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni
pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668. (Makkulau, 2005).
Sistem budaya yang
mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama
sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa.
Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu,
Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan
hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu
kawin-mawin denganSoppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan
Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan
produk sistem kawin - mawin itu telah menjalin hubungan kekerabatan semakin
luas. Siang dan beberapa unit teritori politik seperti Barasa (Pangkajene),
Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan Segeri juga mengadakan kawin mawin
antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian
pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun
pada awalnya Labakkang merupakan keturunan Raja – raja Luwu, Soppeng dan
Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah
menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi
dan adat – istiadat. (Makkulau, 2005, 2007).
Silsilah Keturunan Raja
Siang
Silsilah raja – raja
Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai
berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro)
Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad
ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5)
Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ;
(7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di
Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince
Wangkang dari Malaka ; (10) Sollerang Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg
Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13)
Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ;
(15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu. (Makkulau,
2005 ; 2007).
Setiap ada upacara
perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran
lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri
Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ;
(3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat
orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri
Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadir
Oppoka ri Pacce'lang. (Makkulau, 2005 ; 2007)
Secara sederhana,
silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile,
PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan
‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan'. Tidak
diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang
ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi. (c)
Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro'), sahabat Arung Palakka, dimanaArung
Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang
berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi
(pada masa kompeni Belanda). (Makkulau, 2005 ; 2007)
Temuan Arkeologi
Hasil
penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan
bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh
benteng kota (batanna kotayya). Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang
menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna
kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai
Siang yang telah mati. (Fadhillah, et.al, 2000 : 27). Indikasi arkeologis
pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan
telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang
diperkirakan terjadi pada akhir Abad 16.
Kemenangan
Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa menduduki tahta
Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri Kammasi yang diganti
oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat politiknya kembali ke
Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang dengan memakai gelar
Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka (empat bangsawan
kepala) : Kare Kajuara, Kare Sengkae, Kare Lesang dan Kare Baru-baru .
Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi
dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaengta Allu juga yang
menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah
pemeliharaan Oppoka ri Paccelang. (Fadhillah, et.al, 2000).
Temuan–temuan fragmen
keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa
Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW,
Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang berasal dari Abad 17 -
Abad 18. Juga ada fragmen keramik dari Abad 16 seperti Vas Swankalok, Mangkuk
Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan
sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing Dinasti Ching memberi
kronologi relatif lapisan budaya Siang menyampaikan periode relatif
berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang sekurang-kurang berasal
dari Abad 17 - Abad 18 (M Ali Fadhillah dkk, 2000 :
72).