RIWAYAT PERJUANGAN SULTAN HASANUDDIN
RIWAYAT PERJUANGAN SULTAN HASANUDDIN
Nusantara
kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K.
Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi.
Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian pulau sulawesi terletak
sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa.
Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300
Masehi dan dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan
kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu
adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin,
Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang indah). Beliau
dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari
Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669
menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.
I Mallombasi, nama kecil dari Sultan
Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I
Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan
ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah
seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai
seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking
Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul
Chair Sirajuddin.
Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I
Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil
Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang
lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun
Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan
perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya
di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk
Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin
Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih
sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa ke-15.
Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Mas remaja Hasanuddin diisi dengan
kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra
raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.
Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap
kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam
kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu
pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah
menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta
mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh
dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana
dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, b\portugis dan inggris
yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.
Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin
beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara
yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga terutama pada
daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu
mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri.
Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan
Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna
menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.
Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi
Raja Gowa Ke-16
I Mallombasi bukanlah putra mahkota
yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya
lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena adanya
pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang
juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan
karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegasa dan berani. Juga kemampuan serta
pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa
memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan
penjajah Belanda.
I Mallombasi Daeng Mattawang
dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan
Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun
setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau
I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi
adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi
Kerajaan Gowa.
Masa Jaya Kerajaan Gowa
Lama sebelum Sultan Hasanuddin
dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan Makassar ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa
Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan
nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram
di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten
di Jawa Barat dan lainnya.
Persaingan antara Portugis, Inggris,
Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan keren aketiga bangsa
penjajah itu masiing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah dari
Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah
terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada
perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.
Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan
Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada
orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara bangsawan dan
orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang
yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur
Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling
(Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja
Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti
inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena
memang nama Arabnya adalah Malikussaid.
Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi
pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan
Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja
Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat
Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.
Raja Gowa berkewajiban melindungi
kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi.
Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai
menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat
dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal
perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk
menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.
Keinginan Kompeni Belanda untuk
mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada
bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van
Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta
agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi
permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan
untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima
tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba
Opu.
Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh
kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan bahwa kompeni
Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut
dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan
rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta
dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang
Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.
Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan
dipasangi meriam. Benteng Somba
Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan,
tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak
Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam
"Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter
dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).
Selama perang antara Gowa dan Belanda
berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi
benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah
Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara
Binanga Beru dan Ujung Tanah.
Benteng yang memperkuat Pantai Kota
Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng
Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng
Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah,
antara Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong
terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja
beristirahat.
Benteng Somba Opu, sebagai tempat
kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya
yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat
benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).
Masa Perang Perlawanan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa
memeliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari
sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda
untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya.
Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda
memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut
armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati
ini karena budaya siri' na
pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa
dan Aru atau sumpah
setia para prajurit Kerajaan Gowa.
Tahun 1645 adalah tahun yang penuh
cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun menduduki tahta, Mangkubumi
yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng Pattingaloang wafat.
Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung
Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi
kerajaan Gowa.
Perang dua hari dengan pasukan Belanda
pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng
pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda
terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan
Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah
duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu
bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655
yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali,
tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang
dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh
Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".
Tahun 1657 Belanda mengutus lagi
Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram dan
Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu
membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum
itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau
menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni
Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700
tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman.
Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12 Juni
1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.
Dengan semangat lebih baik mati
daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama
dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya
dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua
belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.
Setelah itu gencatan senjata
dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan
kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah
perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian
Batavia yang berisi:
1.
Makassar tidak boleh campur tangan
soal Buton, Ternate dan Ambon.
2.
Banda, Buton, Maluku, Manado tidak
boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
3.
Orang Portugis dilarang berdagang di
Makassar.
4.
Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda
tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama.
Belum hilang bekas perang dengan
Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan
Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan
Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar
kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660.
Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat
perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan
Belanda.
Politik Memecah Belah
Belanda punya cara menaklukkan lawan.
Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecahdiadu satu sama lain. Kedatangan
Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang
diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah
memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung
Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.
Sambutan terhadap Arug Palakka sangat
meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka
bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah
dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah
ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan
suatu armada besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera
dilancarkan.
Pada tahun 1662 kapal Belanda De
Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat
dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut
pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun
1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu
pertemuan di Batavia.
Mereka harus memerangi Sultan
Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah
mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara
harus dihindari. Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar
Bone, Buton dan Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat
untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.
Untuk mempersiapkan perang besar
melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah
berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan
Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah
kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng
Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi
laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.
Akhir Oktober 1666 Buton berhasil
diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat
dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung
Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara
kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.
Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di
Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara menaklukkan Kerajaan
Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman
dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu
Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang
besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung
Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu tanggal
15 Desember 1666.
Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu
Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat
penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana menghentikan
kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh
benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang
beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan
rakyat sudah dipersiapkan pula.
Satu-satunya yang dikhawatirkan
Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan
Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di bawah
pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.
Saat-saat tegang Speelman mengirim
utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa tuntutan agar Sultan
Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu.
Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin
menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan
mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada.
Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan
kemerdekaan negeri kami."
Saat yang ditunggu akhirnya tiba.
Pagi buta tanggal 21 Desember 1666Bendera merah dikibarkan armada perang
Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun dipenuhi
asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala.
Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan
dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik
Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman
menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.
Di Laikang pantai sebelah selatan
Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba
mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan
semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal
24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang,
berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya.
Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu dihantam dan ditenggelamkan.
Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak luput pula lumbung
beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.
Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan
perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan
dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua
pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan
Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi
kerugian dipihak mereka.
Kabar dari mata-mata Speelman juga
memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah pimpinann Laksamana
Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnnya. Inilah
kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.
Tanggal 1 Januari 1667 armada
Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang
sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng
Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667.
Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda
memberikan hadiah 100 ringgit setahun.
Armada Speelman berlayar ke Ternate.
Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk
pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama
Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung
dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli
setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari
kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19
Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba
Opu sudah dikepung dari laut.
Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba.
Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu yang menjadi pusat
pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan
Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng
Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.
Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari,
Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam serangan ini
persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi
hari perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan
perhatiannya. Di daratan 6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten
Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Dengan meriam besar jarak jauh milik
pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil
dipukul mundur.
Keadaan ini membuat Speelman meminta
bantuan dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah
komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon
mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong
dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba
Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi pertempuran yang sangat
sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku, korban
berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.
Kedua belah pihak sudah sangat
kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya
sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh
sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman
minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga
mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan dan pengepungan benteng
sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur,
benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa masih
membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.
Sultan Hasanuddin dikenal arif dan
bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri.
Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri.
Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan
bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera
dihentikan.
Meneruskan perang hanya akan
menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin
diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah
berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah
suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya"
atau perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena
memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan
diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam".
Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena
keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.
Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid,
Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya.
Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa
menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan
Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668.
Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi
hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.
Dalam catatan buku harian Speelman
tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang
Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8
orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15
pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat.
Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang
tewas di kapal".
Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk
melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng
Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung
Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan
peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat
dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke
benteng Somba Opu sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang.
Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669
pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan
malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba
Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan
Belanda dan hujan peluru.
Setelah perang selama selama 10 hari
siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu
dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu meriam
keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur
ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan
istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa.
Benteng Somba Opu kemudian diratakan
dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki
ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan
dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana
Somba Opu dihancurkan.
Sultan Hasanuddin kalah perang,
tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan
terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami Belanda
dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki
"Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang pantang
mundur.
Turun Tahta Dan Wafat
Setelah kekalahan yang diderita
Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng
Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus
dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum".
Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan
menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian
Bungaya.
Sultan Hasanuddin sudah bersumpah
tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669
Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16
tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara.
Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar
Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan
waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan
dan persatuan.
Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670
bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat
dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja
Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.
I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi
semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang mendambakan
perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.
Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam
dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada
hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu
universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan
memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah
Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya
"Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan
keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan
Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa
kepahlawanannya.
*Sumber
- Buku Riwayat
Perjuangan Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI | Oleh Moh. Alwi | Penerbit
Bhakti Baru
- Sejarah Gowa -
Abdurrazak Dg. Patunru | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara
- Majalah Bingkisan |
Nomor Istimewa Tahun 1 No. 20 Juni 1968 | Yayasan Kebudayaan Sulawesi
Selatan dan Tenggara
- Menyusuri Jejak
Kehadiran Makassar dalam Sejarah | Prof. Dr. Mattulada | Bhakti Baru
Berita Utama 1982
- The Heritage Of Arung
Palakka | Andaya, Leonard Y | The Hague Martinus NIJHOFF - 1981
- Mengenal Museum Negeri
La Galigo Ujung Pandang SULSEL | Staf Kantor Museum Negeri La Galigo Ujung
Pandang - 1985
- Peristiwa Tahun-tahun
Bersejarah Di Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX | Team Pengolah
dan Penerbit Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung
Pandang