Misteri dan Sejarah Lapangan Karebosi, Makasar
Bagi
warga Makassar, cerita berbau mistik dan alam gaib di Lapangan Karebosi
bukanlah hal yang baru. Tidak sedikit yang percaya bahwa berbagai
kejadian aneh di luar nalar yang muncul di lapangan yang menjadi titik
nol kilometer kota Makassar itu adalah ulah dari “para penjaga” yang
berdiam di sana. Citizen reporter Djamaludin mewawancarai pengurus PSM,
yang termasuk sering mengalami kejadian-kejadian aneh di lapangan itu
dan upaya agar tidak “diganggu” selama berlatih.(p!)
Orang-orang yang sering ke Lapangan Karebosi Makassar umumnnya sudah
paham bahwa lapangan itu menyimpan banyak mitos dan di sana sering
muncul peristiwa di luar akal sehat. Sejumlah kejadian aneh kerap
menimpa mereka yang memang saban hari tinggal dan bekerja di situ,
termasuk Abdul Haris, manajer lapangan dan Tajuddin, penasehat spiritual
PSM Makassar.
Haris dan Tajuddin sudah paham betul di mana tempat angker di setiap
sudut di Lapangan Karebosi. ‘’Saya sudah terlalu sering melihat hal-hal
aneh di lapangan ini. Pernah suatu malam ada kuda berjalan di dalam
lapangan tempat latihan pemain PSM, penunggangnya sempat berputar-putar
mengelilingi lapangan dan kemudian menghilang, saya sempat kaget tapi
tidak takut. Belakangan saya tahu berdasarkan informasi teman-teman,
kuda itu ‘penghuni’ lapangan ini,’’ kata Haris menuturkan pengalamannya.
Kini karena sudah tahu, setiap kuda itu muncul, Haris memilih diam
dan tak mau mengganggu. ‘’Kalau kita tidak mengusik , mereka juga tidak
akan mengganggu kita, itu yang selalu ada dalam pikiran saya, walaupun
awalnya ada teman-teman yang sempat takut juga,’’ ujarnya..
Haris yang sudah enam tahun mengelola tempat latihan pemain PSM,
ingat betul betapa nasib Fouda Ntsama berakhir tragis setelah
mengencingi satu dari tujuh kuburan di pinggir lapangan tempat latihan
pemain PSM. Pemain asal Afrika itu terpaksa gantung sepatu, padahal ia
cuma terkilir saat latihan usai mengencingi kuburan itu. Insiden yang
menimpa Ntsama tenttak ayal lagi dikait-kaitkan dengan kekuatan gaib
dari kuburan itu.
‘’Sejak saat itu orang mulai semakin takut dengan kuburan yang ada di sekitar lapangan itu,’’ jelas Haris.
Pada malam-malam tertentu, terutama malam Jumat dan malam Senin,
semua aktivitas memperbaiki lapangan, termasuk menyiram rumput dan
meratakan sisa-sisa kubangan di tengah lapangan dihentikan. Alasannya,
karena sudah kerap kali Haris dan beberapa temannya ditegur ‘penghuni’
lapangan.
‘’Kalau kami tetap kerja sampai larut di malam Jumat dan malam Senin,
biasanya ada saja yang selalu sakit perut, entah saya atau teman yang
lainnya. Kejadian itu selalu berulang, padahal kalau malam-malam lainnya
biasa-biasa saja, kami juga pernah ditegur ‘penghuni’ lapangan lewat
kejadian-kejadian aneh,’’ papar alumni Universitas Muslim Indonesia ini.
Kejadian aneh yang dimaksud Haris itu yakni, pernah suatu waktu,
pekerjanya yang tidur di bangku pemain, tiba-tiba sudah berpindah tempat
saat terbangun, pekerja yang lainnya jelas kaget karena sebelumnya
pekerja itu masih tidur di tempat pekerja lainnya.
‘’Setiap magrib juga kami pasti menghentikan pekerjaan, itu sudah rutin karena menghormati ‘penghuni’ lapangan,’’ katanya lagi.
Ziarah tahunan
Selain itu, setiap tahun pasti Haris dan
pekerja lainnya, termasuk penjual di sekitar Karebosi melakukan ziarah
ke makam yang ada di lapangan itu, ini supaya ada keharmonisan antara
‘penghuni‘ lapangan dan mereka yang memang menggantungkan rejekinya di
sekitar Lapangan Karebosi.
Selama berada di Karebosi, Haris mencermati, pusat keramat tempat itu
persis di lapangan tempat latihan pemain PSM. Kalau di tempat-tempat
lain, memang sering ada kejadian aneh, tapi skalanya tidak sebanyak di
lapangan tempatnya bernaung.
Sementara Tajuddin, sang penasehat spiritual PSM menambahkan,
‘’Biasanya kalau lampu penerang di Karebosi dimatikan, pasti ada satu
dua ‘penghuni’ yang muncul, entah berkuda atau dalam wujud lain.’’
Sebagai pensehat spiritual PSM, Tajuddin yang juga biasa disapa Ustaz
PSM, memang sangat yakin dengan hal-hal gaib yang sering terjadi di
Lapangan Karebosi.
”Sebenarnya, bukan hanya di Karebosi, setiap ikut tim bermain ke luar
kota atau saat bermain di Stadion Mattoanging, selalu saja ada hal-hal
gaib di luar nalar kita, tapi yang seperti itu biasanya merupakan
titipan lawan supaya pemain kita kalah,” rincinya.
Makanya Tajuddin selalu ada setiap PSM bertanding, baik di kandang
sendiri maupun saat tur ke luar kota. Pria berambut putih ini selalu
berusaha menghalau ancaman magic dari lawan. Tapi kalau di Karebosi,
hanya sesekali Tajuddin ke sana, katanya cuma kalau ada mood. Itupun
hanya sekedar untuk ikut nonton latihan rutin para pemain.
”Saya membantu PSM sejak Nurdin Halid yang jadi manajer. Dulu
biasanya ada ritual khusus sebelum PSM bertanding, ini karena tim lawan
biasanya menggunakan kekuatan supranatural untuk mengalahkan PSM, tapi
sekarang ritual itu mulai ditinggalkan, soalnya sudah banyak manajer
baru dan semua punya penasehat masing-masing,” jelasnya.
Kejadian atau peristiwa-peristiwa seperti itu memang di luar nalar
kita, dan memang sulit dipercaya akal sehat, tapi bagi Haris dan
sejumlah pengurus PSM yang menghabiskan hari-harinya di sana, kejadian
itu memang benar-benar terjadi dan diyakininya.
Mitos : Tujuh Penyelamat dari Karebosi
Citizen
reporter Nilam Indahsari, melakukan penelitian kecil-kecilan tentang
mitos tujuh kuburan yang ada di Karebosi. Dari catatan sejarah sampai
koneksi ke alam gaib dibaginya dalam tulisan ini. (p!)
Tanpa sebab yang pasti, sejumlah gajah sirkus yang telah dilatih selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja mengamuk. Sang pemilik sirkus tentu saja tak habis pikir dengan kejadian aneh ini. Hari itu, pertunjukannya di lapangan Karebosi berakhir kacau. Bukan hanya itu, pagar pengaman sekitar tenda sirkus pun ambruk seketika. Indra, perempuan berusia sekitar 40 tahun, mengenang peristiwa di tahun 1984 itu seraya berkata, “Itulah akibatnya kalau tidak minta izin pada ‘penjaga’-nya Karebosi”.
Tanpa sebab yang pasti, sejumlah gajah sirkus yang telah dilatih selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja mengamuk. Sang pemilik sirkus tentu saja tak habis pikir dengan kejadian aneh ini. Hari itu, pertunjukannya di lapangan Karebosi berakhir kacau. Bukan hanya itu, pagar pengaman sekitar tenda sirkus pun ambruk seketika. Indra, perempuan berusia sekitar 40 tahun, mengenang peristiwa di tahun 1984 itu seraya berkata, “Itulah akibatnya kalau tidak minta izin pada ‘penjaga’-nya Karebosi”.
Sore itu saya menemui Indra di samping salah satu warung di lapangan
Karebosi. Ia bertutur tentang peristiwa gajah sirkus yang mengamuk, juga
tentang penjaga Karebosi. Ia tampaknya tahu banyak, dan juga percaya
seputar kejadian-kejadian aneh dan kaitannya dengan apa yang disebutnya
sebagai penjaga itu. Indra menyebut-nyebut soal tujuh kuburan di tengah
lapangan.
Tujuh kuburan itu pulalah yang mengusik rasa ingin tahu saya. Sewaktu
masih bersekolah di SD Sudirman IV yang terletak di Jalan Sudirman,
saya dan teman-teman sering melihat tujuh kuburan itu, di saat pelajaran
olahraga berlangsung di lapangan yang terletak di depan sekolah kami
itu. Di suatu malam Jumat, di bulan April, saya sengaja mendatangi
kuburan itu. Di sana saya bertemu tujuh orang peziarah.
Menemukan ketujuh kuburan itu di tengah gelap malam, ternyata tak
sesulit perkiraan saya. Seseorang yang nongkrong di panggung lapangan,
menyarankan untuk mendatangi asal nyala lilin yang ternyata diletakkan
di atas masing-masing kuburan. Setelah sampai di sana, saya mengucap
salam sama seperti lazimnya ketika berziarah di kuburan umum.
Kelompok peziarah malam itu terlihat khusyuk. Dan di tengah
kegelapan, di antara remang-remang cahaya lilin dan temaram lampu
merkuri, saya menyaksikan mereka menyalakan sebatang taibani eja atau
lilin merah di atas tiap kuburan, menabur bunga, serta membasahi tanah
kuburan dengan air. Mereka juga membawa sesajen berupa pisang raja,
kelapa muda, dan anak ayam kampung. Semua sesajen itu diangkut dengan
sebuah becak, yang sengaja disewa untuk melintasi sayap timur Karebosi
untuk keperluan ziarah itu.
Dari penjelasan penjaga kuburan yang bernama Kadir Daeng Naba, saya
mengetahui sedikit tentang kelompok peziarah itu. Katanya, mereka itu
memiliki warung di pinggir salah satu ruas jalan lapangan Karebosi. Dan
keesokan harinya, tibalah saya di warung dimaksud, kemudian bertemu
dengan Indra, perempuan yang bercerita tentang penjaga kuburan itu.
Keponakan Indra, seorang anak perempuan berusia sembilan tahun
bernama Andi Ani, melengkapi kisah ziarah di malam sebelumnya.. Andi Ani
bertutur, bahwa beberapa hari sebelum rombongan mereka berziarah,
tantenya yang bernama Suri –yang berprofesi sebagai pekerja seks
komersial, tiba-tiba kesurupan. Melihat Suri yang sedang kesurupan,
salah seorang keluarganya lalu mengucap nazar. “Kalau tanteku sembuh,
kami akan berziarah ke tujuh kuburan itu,” ungkapnya.
Indra, warga yang tinggal di Jalan Bayam, Makassar, itu menambahkan,
kisah gajah sirkus yang mengamuk hanyalah salah satu keanehan yang kerap
terjadi di Karebosi. Ia percaya itu. Dan tampaknya bukan hanya Indra
yang berkeyakinan demikian. Beberapa orang yang duduk di sekitar kami
juga menyetujui pernyataan perempuan berambut pendek itu. Mereka percaya
berbagai kejadian aneh seperti misalnya panggung pertunjukan yang roboh
atau acara yang berakhir kacau, disebabkan karena campur tangan sang
penjaga Karebosi.
Barangkali karena cukup meluasnya kepercayaan bahwa setiap hajatan di
Karebosi sebaiknya didahului dengan meminta izin sang penjaga, membuat
banyak orang yang mengadakan kegiatan seperti upacara, pertandingan
olahraga, pasar malam atau konser musik, biasanya berziarah dulu ke
kuburan tersebut. Mereka meyakini kegiatan berziarah itu sebagai
pertanda minta izin agar kegiatan yang akan digelar dapat berjalan
lancar.
Selain berziarah untuk keperluan meminta izin menyelenggarakan kegiatan, sebagian orang juga meyakini bahwa pemilik tujuh kuburan itu adalah perantara manusia dengan Tuhannya, sehingga doa yang dipanjatkan dari tempat itu berpeluang besar untuk dikabulkan. Kepercayaan itu tak hanya berlaku di kalangan etnis Makassar yang umumnya beragama Islam, tapi beberapa orang keturunan Cina pun biasa berdoa di tempat itu. “Orang yang berziarah memohon berbagai macam permintaan, mulai dari doa agar usaha mereka makin menangguk untung yang besar, hingga meminta kelancaran mencari jodoh,” kata Indra.
Selain berziarah untuk keperluan meminta izin menyelenggarakan kegiatan, sebagian orang juga meyakini bahwa pemilik tujuh kuburan itu adalah perantara manusia dengan Tuhannya, sehingga doa yang dipanjatkan dari tempat itu berpeluang besar untuk dikabulkan. Kepercayaan itu tak hanya berlaku di kalangan etnis Makassar yang umumnya beragama Islam, tapi beberapa orang keturunan Cina pun biasa berdoa di tempat itu. “Orang yang berziarah memohon berbagai macam permintaan, mulai dari doa agar usaha mereka makin menangguk untung yang besar, hingga meminta kelancaran mencari jodoh,” kata Indra.
Lantas, siapa gerangan yang bersemayam di tujuh kuburan itu dan
mengapa mereka tidak dikuburkan di kuburan umum saja? Pertanyaan ini
juga sebenarnya telah muncul sejak lama di benak saya. Ketika mengikuti
kegiatan lari lintas lapangan saat masih SD, saya dan teman-teman
biasanya melambatkan langkah setiap melintasi setapak kedua dari pintu
masuk sebelah timur Karebosi itu dengan hati yang berdebar-debar. Tapi
setelah menatap jejeran kuburan yang tersembul di sela rumput lapangan,
kami justru kerap mempercepat langkah karena ketakutan tanpa sebab yang
jelas.
Bila merujuk pada sebuah peta kuno yang saya temukan di Museum
Balaikota Makassar, disebutkan bahwa Karebosi dulunya adalah sawah yang
merupakan wilayah Kerajaan Gowa. Kalau Karebosi dulunya adalah sawah,
maka aneh rasanya mendapati jejeran tujuh kuburan di daerah persawahan.
Dan meskipun dalam perkembangan selanjutnya, Karebosi kemudian berubah
fungsi menjadi ruang terbuka atau alun-alun kota, kehadiran tujuh
kuburan itu tetap mengundang tanda tanya saya.
Karena Daeng Naba tak tahu persis tentang detail ketujuh bersaudara
itu, maka ia menyarankan saya untuk mencari keterangan di Balla’ Lompoa,
istana Raja Gowa yang terletak di Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Di sana
saya bertemu dengan seorang pemandu. Ia mengatakan tak tahu banyak
mengenai tujuh kuburan itu. Namun, ia juga menyangkal bahwa yang
bersemayam di kuburan itu adalah tujuh orang bersaudara. Ia yakin tujuh
bersaudara yang dimaksud itu dikuburkan di Galesong, Takalar, sekitar 60
km ke arah selatan Makassar. Sehingga orang biasa menyebutnya dengan
“Tujua ri Galesong”.
Konon, tujuh bersaudara itu adalah orang yang dikutuk oleh salah
seorang wali karena kenakalan yang sering dilakukannya. Karena kutukan
itu, arwah mereka masih terkatung-katung di antara bumi dan langit.
Setelah kematiannya, orang-orang memanfaatkan arwah mereka untuk
keperluan yang negatif seperti mengguna-gunai orang lain. Orang yang
berniat seperti itu biasanya meminta bantuan yang bungsu. Konon, si
bungsu yang tuna wicara itu dianggap terkejam di antara ketujuhnya. Ia
memiliki kemampuan merasuki tubuh seseorang atas permintaan orang lain.
Setelah bercerita di anak tangga museum Balla’ Lompoa, pemandu itupun
menyarankan saya bertemu dengan seorang lelaki yang tinggal tak jauh
dari Balla’ Lompoa. Lelaki itu bernama Andi Djufri Tenribali. Ia lebih
akrab disapa Daeng Pile.
Kening Daeng Pile mengernyit melihat kehadiran saya. Wajar saja,
karena sebelumnya kami memang tak pernah berkenalan. Ia pun bertanya
tentang tujuan saya menemuinya. Tanyanya berbalas ketika saya
memberitahukan keingintahuan saya tentang tujuh kuburan itu. Tangannya
menutupi mulutnya yang tertutup dan menatap saya lekat, keningnya pun
masih mengernyit. Ia tak langsung mau bercerita panjang lebar. Ia hanya
meminta saya menulis apa saja yang ingin saya ketahui tentang tujuh
kuburan itu di atas selembar kertas. “Saya akan memilah mana yang bisa
saya jawab,” ujar Daeng Pile sambil berjanji memberikan jawabannya dua
hari kemudian.
Dua hari kemudian saya menemuinya lagi. Tapi ia belum memberikan
jawaban sama sekali. Ia mengaku, dalam dua hari itu ia selalu merasa
terhalangi untuk membalas pertanyaan saya di atas selembar kertas juga.
“Sepertinya saya harus minta izin dulu sebelum memberi jawaban,”
ujarnya. Daeng Pile mengatakan, ia akan meminta izin melalui meditasi,
untuk itu ia meminta nama saya yang menurutnya akan disampaikan kepada
pemilik tujuh kuburan itu. Jika diizinkan, maka ia baru berani bercerita
kepada saya. Persoalannya, “lebih mudah menghadapi kemarahan orang yang
masih hidup daripada yang telah tiada,” kata Daeng Pile.
Katanya, di saat-saat tertentu, ia memang menarik diri dari keramaian
lalu berdiam melakukan meditasi di salah satu bilik rumahnya di
bilangan Syamsuddin Tunru, Sungguminasa, Gowa, itu. Meditasi itu biasa
dilakukannya di malam bulan purnama. Sebelumnya, ia menyiapkan paling
kurang tiga sisir pisang, air kelapa muda, dan kain putih sepanjang satu
meter. Dalam meditasinya, Daeng Pile berkomunikasi dengan pemilik tujuh
kuburan itu. Lama kelamaan, ia pun merasa telah ada semacam benang
merah yang terjalin antara mereka. Ia pun diberitahu mengenai siapa,
dari mana, dan kapan kuburan itu mulai ada.
Di hari ketiga, saya akhirnya mendapatkan jawaban, meski tak
semuanya. Ternyata Daeng Pile kerap pula berziarah ke kuburan itu sejak
kurang lebih sembilan tahun lalu. Ia ke tempat itu karena percaya pada
apa yang dikisahkan beberapa penutur tradisi yang ditemuinya. Semua
cerita mereka seragam, bahwa suatu ketika nanti Makassar dan sekitarnya
akan dilanda kekacauan. Pusat kekacauan itu adalah di Karebosi, karena
di tempat itulah konon nanti menjadi ajang orang-orang saling bunuh
sehingga tanahnya akan digenangi darah hingga pergelangan kaki. Dan yang
bisa meredakan keadaan itu adalah tujuh orang yang turun dari langit
atas seizin Tuhan. Mereka akan turun tepat di daerah kuburan itu.
Para penutur tradisi juga mengaitkan kejadian itu dengan apa yang
tertulis di dalam Al Quran. Dalam kitab suci umat Islam itu, digambarkan
munculnya sosok Dajjal yang akan membawa dunia ini pada keadaan kacau
balau. Menurut mereka, pada keadaan yang disebabkan oleh Dajjal itu pula
ketujuh orang tersebut turun dari langit.
Tapi bukan cuma itu yang membangun keyakinan Daeng Pile. Lelaki yang
pernah jadi pemandu wisata di Benteng Fort Rotterdam ini, juga
mencari-cari informasi mengenai kuburan tersebut yang kemungkinan saja
terselip di antara lembaran naskah-naskah kuno. Dan yang lebih
memperkuat keyakinan Daeng Pile itu adalah pengalaman batinnya bercakap
dengan pemilik tujuh kuburan itu.
Daeng Pile akhirnya akhirnya bersedia membagi pengetahuannya tentang
tujuh kuburan itu. Maka bertuturlah Daeng Pile, bahwa sejarah kuburan
itu dimulai pada abad ke-10. Kala itu Karebosi masih masuk dalam wilayah
Kerajaan Gowa-Tallo yang meliputi Sungai Tallo bagian utara hingga
Barombong bagian selatan. Waktu itu pusat kota Makassar terletak di
Benteng Somba Opu sehingga benteng itu dinamakan pula benteng Makassar.
Setelah peperangan antara Kerajaan Gowa dan VOC meletus pertama kali
pada 1667 dan dimenangkan oleh VOC, Sultan Hasanuddin terpaksa
menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Dari perjanjian
perdamaian ini, pusat Makassar terbagi ke Benteng Jungpandang juga.
Karena masih merasa terancam, VOC yang waktu itu dipimpin oleh
Laksamana Muda Cornelisz Janszoon Speelman, menyerang lumbung padi
rakyat Gowa dan membumihanguskan Benteng Somba Opu pada 1668-1669.
Setelah peperangan kedua itu, VOC akhirnya mengambil alih pusat Makassar
yang waktu itu hanya di benteng Jungpandang dan mengubah namanya jadi
Fort Rotterdam. Speelman pun mulai unjuk gigi dengan melakukan perluasan
kota pada 1670. Master plan perluasan kota itu tetap dilanjutkan oleh
pengganti Speelman. Pada 1890 saat Makassar berstatus sebagai kota
afdeling, Pemerintah Hindia Belanda berhasil memasukkan Karebosi ke
dalam wilayah kota Anging Mammiri ini .
Konon menurut cerita, Gowa di abad ke-10 dilanda keadaan kacau balau.
Gowa bagai sebuah rimba tak bertuan. Orang-orang saling beradu
kekuatan. Setiap orang ingin membuktikan bahwa, dirinyalah yang
terhebat. Dan akhirnya yang lemah tersingkir dari kehidupan.
Suatu hari di kala itu, Gowa dihantam hujan deras dan petir yang
menyambar-nyambar. Peristiwa itu berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat
dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang
jatuh dari langit. Karebosi yang dulu merupakan hamparan luas nan kering
lalu digenangi air.
Lantas sekitar ratusan mata rakyat Gowa saat itu tiba-tiba
menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut.
Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu
menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan
tanah berbau harum.
Tak ada yang tahu asal muasal ketujuh orang itu. Namun, rakyat Gowa
saat itu percaya kalau mereka adalah tomanurung (semacam dewa dalam
mitologi Bugis Makassar) yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka.
Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi atau
Tuan yang Membawa Hujan, pun menginspirasi rakyat Gowa saat itu untuk
memberi nama hamparan yang kemudian mereka jadikan sebagai sawah
kerajaan itu. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro
berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga
bermakna kelimpahan. VOC kemudian mengubah nama itu jadi Koningsplein.
Setelah penjajah Belanda menyerah, nama itu lantas berubah lagi jadi
Karebosi seperti yang dikenal banyak orang dewasa ini.
Kurang lebih lima abad kemudian, di bawah kepemimpinan Batara atau
Raja Gowa ke-7, tujuh gundukan tanah itu dihormati sebagai tempat
berpijak pertama kali tujuh tokoh kharismatik tersebut. Lantas beberapa
orang membentuk tujuh gundukan itu menyerupai kuburan dengan cara tiap
gundukan diberi batu sebanyak tujuh buah. Cara ini sering dilakukan
orang-orang di jaman dahulu untuk menandai sebuah kuburan.
Seiring berjalannya waktu, berziarah ke tujuh kuburan itu dianggap
sebagai salah satu warisan tradisi penghormatan masyarakat dan penguasa
setempat kepada tujuh tokoh yang diperkirakan turun dari langit
tersebut. Pada saat H.M. Daeng Patompo menjabat sebagai Wali Kota
Makassar pada 1965-1978, tujuh kuburan itu sempat ditutup. Namun
beberapa orang yang percaya akan mitos ketujuh kuburan itu memugarnya
kembali.
Mitos yang diyakini sebagian orang itu mengatakan, bahwa ketujuh
tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Namun,
seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang
mendahuluinya. Bahkan keadaan itu telah digambarkan di dalam Lontara
dengan kata-kata: jarangji na kongkong sikokko na sitindang,
ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan
anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang
hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,” kata Daeng Pile mengutip
salah satu isi dokumen Lontara itu.
Di saat banjir darah itulah, konon katanya di Karebosi akan muncul
secara tiba-tiba tujuh balla` lompoa atau istana yang bentuknya serupa.
Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah,
perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi
di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh
itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang
yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Dalam kepercayaan
mistik Jawa, tokoh itu dikenal dengan sebutan Ratu Piningsit. “Saya
memerkirakan tokoh yang pijakannya di tengah itulah yang nanti akan
menjadi tokoh berkharisma paling kuat itu. Karena bagi saya, tokoh itu
merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi,” sebut
Daeng Pile.
Namun Daeng Pile masih enggan menyebut secara detail persona
masing-masing tujuh tokoh tersebut. Baginya hal itu masih tabu untuk
diceritakan dan telah jadi konsensus antara dirinya dengan para penutur
tradisi, dan mungkin juga dengan ketujuh tokoh tersebut. Ia punya alasan
sendiri untuk itu. Menurutnya, dengan menyebut persona ketujuh tokoh
itu dapat berpengaruh pada keberadaan seseorang atau negeri dalam
berbagai hal, seperti bencana alam, kekacauan, kesengsaraan, yang
memengaruhi aspek kehidupan dari rakyat maupun penguasa.
Terlepas dari beragamnya hikayat yang ada, ritual berziarah ke tujuh
jejeran makam itu tetap berlangsung hingga hari ini. Mereka datang
dengan kepercayaan dan tentunya saja niat yang berbeda-beda. Dan di
tengah riuh rendah berbagai kegiatan di Karebosi, dari keramaian pidato
politikus di musim kampanye, dari kelincahan kaki para pemain PSM
menggiring bola, dari hingar bingar pertunjukan musik, hadir legenda
abadi tentang tujuh penjaga Karebosi, yang dipercaya, yang diziarahi,
dan menjadi tempat orang-orang menundukkan kepala, berdiam dan berdoa,
ditemani nyala lilin merah, taburan kembang, dan sesajen.
(Panyingkul.com)