Karampuang
Karampuang, sebuah lokasi perkampungan purba atau kawasan adat yang terletak di Dusun Karampuang Desa Tompobulu Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai, berjarak kurang lebih 40 km dari pusat kota Sinjai.
Karampuang adalah sebuah desa yang sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, hal ini dapat kita lihat dari Berbagai situs peninggalan sejarah leluhur orang karampauang, yang menjadi misteri dan belum dapat terungkap sepenuhnya.
Karampuang adalah desa purba yang sudah ada sejak zaman megalitik atau zaman batu, sebagai Bukti adalah goresan Situs purba bernama Manusia Kangkang
Sejarah awal keberadaan Karampuang dimulai dengan kedatangan To Manurung yang diyakini seorang perempuan. To Manurung pertama inilah yang pertama turun di dataran yang pada saat itu masih berbentuk “Cimbolo” atau tempurung kelapa, karena bagian yang lain dari bumi ini masih berupa lautan. Komunitas adat Karampuang meyakini bahwa kehidupan pertama dimuka bumi ini berawal dari kedatangan To Manurung. To Manurung pertama ini pulalah yang berdiam di Karampuang dan menjadi Pemimpin disana. Dari sinilah kemudian sistem adat di Karampuang ini diwarisi oleh generasi selanjutnya. Di desa karampuang juga terdapat ribuan makam purba yang usianya suda puluhan ribu tahun, serta situs yang dikeramatkan yaitu situs “Batu Lappa”, dimana masyarakat karampuang menyakini jika manusia pertama dibumi ini adalah berasal dari karampuang.
Konon ceritanya puluhan ribu tahun lalu, sosok seorang wanita atau dewi, yang disebut dengan To Manurung, membuat satu istana dan membentuk masyarakat adat karampuang, setelah itu sang wanita"To Manurung" kembali kelangit dimana awalnya ia berasal.
Bangunan ini merupakan rumah purba yang konon merupakan tempat bertemunya raja-raja dari Suku Makassar (Karaeng) dan raja-raja dari Suku Bugis (Puang), sehingga akhirnya disebut Karaengpuang atauKarampuang
Rumah purba Karampuang mengikuti model rumah adat Bugis Makassar. Keunikan dari Rumah ini antara lain : Tiangnya terbuat dari kayu yang konon berasal dari batang cabe namun seiring dengan bertambahnya usia kini tiang rumah tersebut telah ada beberapa yang telah diganti dengan kayu bitti, antara pasak dengan tiang tidak dipaku, lantai terbuat dari bambu yang hanya diikat dengan rotan pada pasak, serta tangganya berada di bawah kolong rumah bagian tengah, sehingga pintu rumah dibuka dari bawah, dan dapur berada di bagian depan setelah pintu dibuka. Model rumah Karampuang dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki simbol-simbol yang penuh makna disetiap bagiannya. Misalnya pintu rumah tidak dari depan atau dari samping tapi dari tengah, ini adalah symbol miliknya wanita yang paling berharga, karena kalau miliknya wanita yang paling berharga adalah ditengah-tengah. Kemudian pintu ini memiliki gembok dari batu, ini bermakna bahwa kehormatan seorang perempuan harus dijaga dan dikunci rapat-rapat sebab kehormatan perempuan dikarampuang adalah symbol dari kehormatan negeri itu. Kemudian didepannya ini ada dua dapur besar, itu adalah symbol dari buah dada wanita. Ini merupakan symbol bahwa perempuan adalah sumber kehidupan manusia, sebagaimana dapur adalah sumber kehidupan di rumah. Kemudian disudut rumah, ditiang dan didinding memiliki hiasan-hiasan kayu yang disebut dengan Bate-bate (tanda-tanda) . ini juga merupakan symbol perhisana bagi kaum wanita.
Ade Eppa’e “adat empat” (Arung, Gella, Sanro dan Guru) di Karampuang
Ade Eppa e’ merupakan struktur pemerintahan yang dianggap sah oleh komunitas adat Karampuang dan pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh Arung, Gella, Sanro dan Guru secara bersama-sama dalam proses pengambilan keputusan yang tergambar dalam pesan “Eppa Alliri Pattepona Wanuae” (empat tiang penyanggah negeri)
Arung adalah pemimpin masyarakat adat Karampuang yang berhak tinggal di Toma Toa. Ia sangat disegani dan hanya sesekali berbicara.
Karena sepatah kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijakan yang harus ditaati. Tentunya Arung tidak boleh cacat moral. Arung tidak sendiri dalam memimpin. Ia dibantu 3 pemangku adat lain, Salah satunya Gella.
Dimana Gella tinggal tidak jauh dari Toma Toa, bila Arung adalah raja, maka Gella adalah perdana menteri yang juga bertanggung jawab, soal hukum dan peradilan di Karampuang. Di tangan Gella, ketertiban Karampuang terjaga. Ia tidak segan menghukum siapapun yang melanggar aturan adat yang berlaku.
Ada dua lagi yakni Sanro dan Guru. Sanro harus dijabat seorang wanita. Dialah yang mengatur soal kesejahteraan rakyat. Dalam berbagai acara adat dialah yang menjadi penghubung spritualnya. Bahkan dalam acara Manre Ase Baru (Acara adat setelah panen padi istilahnya “makan beras baru”), yang pertama turun dari rumah adat dan menjejakkan kakinya di tanah adalah sanro ini.
”Tencaji Gaue ko De gaga saddana Makkunrai”nasaba niga elo mannasu ko de'gaga makkunrai” (Tidak akan jadi acara kalau tidak ada suaranya perempuan, sebab siapa yang akan memasak kalau bukan perempuan). dilakukan, para kaum perempuan dipimpin oleh Sanro terlebih dahulu melakukan rapat tersendiri, hasil keputusan dari rapat ini kemudian dibawa oleh Sanro kedalam acara
Dengan kedatangan Islam dalam kehidupan adat membuat peran spiritual Sanro sebagaian harus ditangani oleh laki-laki yaitu guru. Sebab dalam pandangan Islam tentunya yang harus memimpin persoalan spritual adalah laki-laki. Dalam persolan spritual sebagian ditangani oleh guru namun itu hanya dalam hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual agama Islam, misalnya dalam persoalan hari raya idul fitri, Maulid, Isra'Mi'raj dan lainnya, sedangkan dalam hal spritual yang berkaitan dengan adat tetap dilakukan oleh Sanro.
Meskipun keduanya berhak memimpin dalam acara spritual tertentu. Namun keduanya saling menghargai. Bila dalam acara spritual agama Islam misalnya Idul Fitri atau Maulid yang meminmpin adalah guru tidak berarti sanro tidak terlibat. Sebab dalam pandangan masyarakat Karampuang acara sperti itu kini telah masuk menjadi bagaian dari tradisi mereka. Sebaliknya dalam acara spritual adat yang merupakan warisan sebelum datangnya Islam Sanrolah yang menjadi pemimpin tetapi juga tetap melibatkan guru, hanya saja kali ini dia harus menjadi makmunnya
Keempat pemangku adat inilah yang mengatur jalan roda kehidupan di Karampuang. Mereka sangat dihormati, namun juga bertindak bijaksana. Masyarakat Karampuanglah yang memilih mereka dan pada waktu tertentu masyarakat pula yang akan menggantinya, biasanya 40 tahun sekali.
Setiap memasuki musim tanam padi, masyarakat Karampuang menggelar hajatan besar yang mereka namakan Mappogau Siwanua/Mappogau Sihanua, hajatan menyambut masa bercocok tanam setelah mereka menikmati panen berlimpah. Hajatan Mappogau Sihanua biasanya dilaksanakan setiap masa panen berakhir yaitu pada bulan November setiap tahunnya, hajatan ini dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang baik itu warga setempat ataupun orang yang berasal dari berbagai daerah yang datang untuk memeriahkan atau menyaksikan hajatan. Hajatan ini juga dihadiri oleh masyarakat yang datang karena mereka memiliki hajatan ataupun tujuan khusus di situs purba tersebut.
Dalam prosesi ini semua orang bisa naik dan masuk kerumah adat dan para pengunjung akan disajikan hidangan khas karampuang. Namun pengunjung harus sedikit antri dan bersabar karena ratusan bahkan ribuan pengunjung yang ingin masuk ke dalam rumah, jadi coba anda bayangkan berapa banyak hidangan yang harus disiapkan jika pengunjungnya sangat banyak.
“Mabbali Sumange” yaitu satu acara membuat kue-kue dan makanan tapi merupakan rangkaian ritual adat.
Kendati sudah berusia 14 abad “Bola Toa " atau rumah tua masih berdiri kokoh. Seluruh kegiatan pemerintahan di Karampuang berpusat di rumah yang mereka sangat sakralkan ini. Begitu sakralnya rumah ini, bila ingin memperbaiki Bola Toa, mereka harus melakukan ritual tertentu. Ritual ini disebut “Maddui” atau menarik, atraksi Maddui digelar jika ada tiang/ kayu dari rumah adat yang rusak dan harus diganti dengan kayu yang baru dengan jenis sama. Kayu tersebut harus dicari dan ditarik dari dalam hutan selama satu hari menuju kerumah adat. Kegiatan ini dipimpin oleh pemimpin adat dan dilakukan dengan prosesi adat, serta melibatkan masyarakat di kawasan rumah adat. Keunikan dari ritual ini adalah tidak dibolehkannya menggunakan perkakas modern, jadi kayu yang berbentuk tiang tidak boleh dipikul apalagi diangkut dengan kendaraan tapi harus ditarik dengan tali beramai-ramai dan waktunya hanya satu hari tidak boleh lebih.
Tidak sembarang orang bisa tinggal di Bola Toa. Hanya pemangku adat.
Selain itu terdapat Kolam Tua di desa karampuang, tepatnya di puncak bukit karampuang dimana kolam itu digunakan untuk memandikan balita, yang diyakini masyarakat karampuang, bila air melimpah dikolam, maka warga akan berebut memandikan bayinya, karena airnya akan membawa berkah. Bukit karampuang adalah tempat melaksanakan berbagai prosesi adat, tinggi bukit ini sekitar 300 m dari rumah adat dengan jalan yang sangat terjal untuk samapai ke puncaknya atau berada pada ketinggian 1000 m dari permukaan laut. Dari bukit ini kita bisa menyaksikan keindahan bumi Sinjai