KERAJAAN GOWA PADA MASA SULTAN HASANUDDIN


Sejak Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan November 1653, Sultan dihadapkan pada pergolakan. Pertempuran prajurit Kerajaan Gowa melawan Belanda di Buton terus berkobar, pertempuran ini dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Dalam serangan itu, benteng pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut serta menawan sebanyak 35 orang Belanda.

Satu tahun lamanya, Sultan Hasanuddin mengendalikan pemerintahan, Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingalloang wafat pada 15 september 1645. Beliau kemudian digantikan oleh putranya bernama Karaeng Karunrung. 

Belanda melihat, perang dengan Kerajaan Gowa telah banyak menelan biaya, demikian halnya di sektor perdagangan telah banyak mengalami kerugian. Belanda kemudian membuat siasat ingin damai. Pada tanggal 23 Oktober 1655 Belanda mengutus Willem Van den Berg dan seorang berkebangsaan Armenia bernama Choja Sulaeman untuk menghadap Sultan dan menyampaikan pesan Jenderal Maestsuyker. Perundingan itu berlangsung 28 Desember 1655 dimana tuntutan Belanda:
  • Orang-orang Makassar yang ada di Maluku boleh kembali ke  negerinya. 
  • Raja Gowa boleh menagih utang piutangnya di Ambon. 
  • Orang-orang tawanan dari kedua belah pihak harus diserahkan pada   pihak masing-masing. 
  • Musuh-musuh dari Belanda tidak akan menjadi musuh dari Kerajaan  Gowa. 
  • Belanda tidak akan mencampuri perselisihan diantara orang-orang Makassar. 
  • Belanda boleh menangkap semua orang Makassar yang didapati  berlayar di Perairan Maluku.
Tuntutan Belanda itu dinilai oleh Sultan sangat merugikan Gowa, karenanya ditolak. Sultan malah menantang perang, ia didukung oleh Mangkubuminya karaeng Karunrung, Karaeng Galesong, serta Karaeng Bontomarannu untuk unjuk kekuatan. Dari tantangan itu, Belanda juga meningkatkan kekuatannya sebuah armada bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Mr. Johan Van Dam. Untuk mengelabui prajurit Gowa, semua armada langsung ke Ambon sebagai upaya untuk memancing amarah Prajurit Gowa. Setelah itu barulah mereka menyerbu Somba Opu

Bulan Juni 1666 terjadilah pertempuran hebat di perairan Somba Opu. Belanda mengirim sebanyak 22 kapal perang dengan kekuatan 1604 serdadu ditambah dengan 700 serdadu pembantu dari Jawa dan Madura, Ambon dan lainnya.

Ketika melakukan serangan ke benteng panakkukang, Belanda pura-pura menuju ke utara seolah-olah hendak menyerang benteng Somba Opu tempat kediaman Sultan. Serangan besar-besaran yang telah dilancarkan oleh Belanda itu, akhirnya pada 12 Juni 1668 Belanda berhasil merebut Benteng Panakkukang. Prajurit Kerajaan Gowa tidak tinggal diam, dipimpin langsung oleh Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu terus melakukan perlawanan. Pertempuran yang berlangsung selama 2 hari telah banyak menelan korban. Akhirnya kedua belah pihak sepakat melakukan gencatan senjata.

Setelah gencatan senjata, kedua belah pihak masing-masing menyusun strategi dan memperkuat armadanya, nafsu Belanda untuk menguasai Gowa maka di utuslah Speelman dari Batavia pada 24 November 1666 menuju Benteng Somba Opu. Mereka diperkuat dengan 21 kapal perang dan 600 tentara, didukung sekitar 400 pasukan pimpinan Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Ambon.

Armada Belanda tiba di Somba Opu pada tanggal 15 Desember 1666 dan keadaan Gowa semakin tegang, para pedagang pun menghentikan kegiatannya. Ketika utusan Speelman menghadap Sultan untuk menyampaikan tuntutan agar Sultan menyerah saja dan bersedia membayar ganti rugi ke pihak Belanda akibat perang terdahulu, ternyata tuntutan Spellman itu hanya taktik belaka untuk memulai peperangan.

Tapi Sultan Hasanuddin dengan berani menjawab : Bila kami diserang, maka kami mempertahankan diri dan kami menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan kami. Pagi itu, sekitar Tgl 21 Desember 1666, Speelman mengibarkan bendera merah pertanda perang siap dimulai, dentuman meriam pun mulai menghantam benteng satu persatu, dan kemudian dibalas oleh prajurit Kerajaan Gowa. Semangat juang dari prajurit Gowa semakin berkobar, Armada perahu kecil yang disebut armada semut sekali-kali melakukan penyerangan terhadap kapal Belanda. Perlawanan yang gigih dari prajurit Gowa telah mampu memukul basis pertahanan Belanda.

Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan Ternate Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan kapten Jongker. Dengan kekuatan dari Belanda itu, akhirnya pada tanggal 7 Juli 1667 setelah sekitar 7000 pasukan Kerajaan Gowa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda dan sekutunya. Empat hari kemudian, Belanda baru berhasil memasuki Perairan Kerajaan Gowa, tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi kapal-kapal Belanda dan Benteng Somba Opu di kepung.

Ketika Benteng Somba Opu di kepung, Sultan Hasanuddin dan Raja Tallo Sultan harun Al Rasyid yang langsung memimpin perlawanan itu. Beliau berada di barisan terdepan memimpin pasukan, disusul beberapa pasukan Tubarani seperti Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu serta pembesar kerajaan lainnya. Para panglima perang di tebar di beberapa benteng pertahanan, pada tanggal 17 Agustus 1667 pagi, benteng Galesong diserang dengan meriam Belanda. Ketika lumpuh, Belanda lalu membakar gudang beras di Galesong dan Barombong. Perlawan yang digencarkan para Tubarani dengan membalas dentuman Anak Mariam Mangkasara membuat Belanda kocar-kacir, demikian halnya pasukan Arung Palakka berhasil dipukur mundur.

Atas serangan balasan itu, Speelman memperkuat pasukannya. 5 armada kapal perang didatangkan dari Batavia yang dipimpin komandan Kapten P. Dupon. Dari kekuatan itu Belanda lalu menyerang Benteng Barombong.

Tanggal 5 November 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah payah, semangat tempur merosot, 182 orang serdadu dan 95 matros jatuh sakit, Pasukan Buton, Ternate, dan Bugis banyak diserang sakit perut, belum lagi yang mati di medan perang, Speelman minta lagi dikirim pasukan baru. Atas bantuan pasukan baru itu, anak benteng pertahanan satu demi satu direbut Belanda. Sultan Hasanuddin pun merasa sedih, karena yang dihadapi tak hanya musuh, tetapi juga dari sesama bangsa sendiri, yakni dari Bugis, Ternate, dan Buton.

Dalam kondisi demikian, datang perutusan Speelman agar Sultan bersedia berunding dan perangpun harus dihentikan. Atas pertimbangan yang arif dan bijaksana dari Sultan, akhirnya kedua belah pihak melakukan perundingan di Bungaya dekat Barombong, setelah beberapa hari dilakukan perundingan, akhirnya pada hari Jum’at 18 November 1667 tercapailah suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya atau lazim disebut Capaya ri Bungaya.

Atas penandatanganan Perjanjian Bungaya itu, banyak pembesar Gowa tak setuju, seperti Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, I Fatimah Daeng Takontu, juga raja dari negeri sekutu Gowa seperti dari Wajo, Mandar, dan Luwu. Mereka siap angkat senjata dan meneruskan perlawanan kapan dan dimana saja. Tanggal 5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung menyerang Benteng Ujung Pandang tempat Speelman bermarkas, dalam serangan itu Arung Palakka nyaris tewas.

Menurut catatan Speelman, dalam pertempuran melawan Gowa, banyak orang Belanda yang mati dan terluka. Setiap hari 7-8 orang belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit, 5 dokter dan 15 pandai besi meninggal. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang sehat, dalam 4 minggu sebanyak 138 serdadu yang mati di Benteng Ujungpandang, dan 52 orang mati di atas kapal.

Tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda, Belanda meyita sebanyak 272 pucuk meriam termasuk Meriam Anak Mangkasara yang disita Speelman. Benteng Somba Opu kemudian di bumi hanguskan dengan ribuan kilo amunisi dan berhasil menjebol dinding benteng setebal 12 kaki. Ledakan itu membuat udara diatas benteng memerah dan tanah seperti gempa. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Semua istana yang ada di benteng dibumihanguskan akhirnya Benteng Somba Opu jatuh terhormat ke tangan Belanda.

Para pembesar kerajaan yang tak setuju atas Perjanjian Bungaya tak mau kalah, selamjutnya bertekad untuk melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa dalam membantu perjuangan Raja Banten Sultan Ageng Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunujoyo.

Postingan populer dari blog ini

teks panjang Aru Tubaraniya Ri Gowa

SILSILAH RAJA-RAJA GOWA

RAJA-RAJA SANROBONE