LONTARA MAKASSAR

Penemuan tulisan adalah sebuah prestasi pencapaian kebudayaan yang tinggi dalam sejarah peradaban umat manusia (Coulmas 1984:4)

Tulisan merupakan manifestasi kebudayaan tertinggi manusia. Seperti wujud kebudayaan lainnya, tulisan melampaui kuasa zaman sebagai atribut penting bagi entitas suatu bangsa. Segenap pemikiran dan kreatifitas peninggalan manusia dapat terawat utuh pada memori sejarah berkat dorongan yang kuat dari dalam diri sang penciptanya untuk mengabadikan hasil-hasil pemikiran mereka, yang akhirnya dikenang setiap saat ataupun diwariskan ke generasi keturunannya. Tulisan lahir dari sebuah aksara kemudian dirumpun dan melahirkan sebuah bahasa yang memiliki makna tentang apa yang dituliskan para penulisnya.
Namun, dari ratusan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Marauke, tidak semuanya memiliki aksara untuk merekam nilai-nilai budaya yang ada di dalam masyarakat pemilik bahasa itu. Beruntunglah Suku Makassar mampu mempertahankan warisan budaya literal tersebut. Sebagai salah satu suku besar di Indonesia, Bahasa Makassar merupakan salah satu bahasa daerah yang memiliki aksara yang dapat merekam, mencatat nilai-nilai luhur atau pesan-pesan, pangngadakkang atau adat istiadat. Padanyalah aksara ini disematkan dengan sebutan Lontara ri Makassar.
Untuk membuktikan betapa aksara lontarak ini begitu penting bagi seluruh aktivitas kehidupan Kerajaan Gowa, saya menyempatkan diri bertandan ke Museum Balla Lompoa (Rumah besar). Rumah panggung yang dulunya dijadikan kediaman Raja-Raja Gowa ini ternyata masih menyimpan benda pusaka kerajaan, termasuk mahkota kebesaran Raja Gowa (Salokoa) yang dilapisi emas murni seberat 1786 karat, tersimpan baik di salah satu ruangan. Namun, pihak pengelola tidak leluasa mengizinkan pengunjung melihat dari dekat benda yang dikeramatkan itu. Tidak sedikit yang harus mengelus dada, otoritas museum hanya membolehkan pihak kerabat kerajaan dan pejabat penting saja yang berhak melihat langsung mahkota yang konon telah digunakan sejak raja pertama, To Manurunga.
Museum yang terletak di pusat Kota Sungguminasa Kabupaten Gowa ini diminati banyak pengunjung. Hal ini terlihat pada daftar tamu. Hampir setiap hari memadati lokasi bersejarah ini. Selanjutnya dari luar museum, saya berpapasan dengan sejumlah murid sekolah dasar. Kedatangan mereka bertujuan mengenal sejarah masa lampau. Ketika menuju ruang pamer utama yang berada di bagian atas museum, langkah ku sengaja kupercepat sebagai eksperesi ketidaksabaranku melihat koleksi peninggalan Raja-Raja Gowa.
Berada di dalam bekas istana raja, bagi pribadi yang awam, saya berusaha menangkap aura karismatik bangunan bercorak coklat tua ini. Setiap sudut ruangan utama, dipajang profil dan gambar Raja Gowa. Saya menyadari pengetahuan terhadap sumber informasi yang akan ditelusuri ini belum maksimal tanpa didampingi seorang pemandu. Meski harus menunggu lama akhirnya sosok yang dinantikan pun hadir. Adalah A. Jufri Tanriballi, lelaki paruh bayah yang ternyata masih memiliki garis keturunan Raja Gowa ini adalah salah seorang pemandu di museum ini.
Meski hanya beberapa menit berbincang dengan pria berkaca-mata ini, pengetahuan tentang risalah sejarah Gowa begitu dikuasainya. Termasuk asal-muasal dan filosofis aksara lontara. Dari mulut beliaulah, saya peroleh informasi filosofis Lontara Makassar terinspirasi dari bentuk segi empat atau biasa disebut sulappa’ appa’. Menurut alumni sastra sejarah Unhas ini, pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar terhadap bentuk lontarak berprinsip pada dimensi mikrokosmos, melalui proses kejadian manusia yang berasal sulappa’ appa’ simbol dari empat unsur: tanah (butta), api (pepe’), air (je’ne’), dan angin (anging).
Obralan kami terus berlanjut, meski suasana museum dibuat gaduh oleh ratusan siswa sekolah dasar, pemandu ini masih semangat menjawab beberapa pertanyaan terkait aksara lontarak. Seraya menambahkan, sejarah aksara lontarak pertama kali diperkenalkan oleh Syahbandar ‘sabannarak” Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Pada masa itu Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa ke-X, Daeng Matanre Karaeng Mannguntungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Sementara Daeng Pamatte sebagai anak buahnya justru diamanahi dua jabatan sekaligus, yaitu Sabannarak (Syahbandar) merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Sebagai menteri yang bertanggung jawab mengurusi kebutuhan kerajaan pada waktu itu, Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberi titah kepada Daeng Pamatte untuk membuat aksara yang dapat dipakai dalam komunikasi tulis-menulis. Tepat pada tahun 1538, Daeng Pamatte berhasil menciptakan Aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar tua. Akhirnya, Aksara Lontara terus bermetamorfosis hingga akhirnya dipermodern sesuai kebutuhan kerajaan. Saat ini bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab.
“Filsofis sulappa’ appa’ (persegi empat) inilah yang menyimbolkan unsur mikrokosmos dalam tubuh manusia. Seperti tanah, butta; api, pepe’; air, je’ne’; dan angina, anging;” kata Tanriballi
Usai berbincang dengan lelaki santun itu, saya lalu diajaknya menuju ruang belakang museum, di tempat ini masih tersimpan sejumlah perkakas peninggalan kerajaan, termasuk tiga contoh aksara lontarak terpajang membisu. Naskah lontara tersebut meliputi, pertama, aksara Lontara Toa Jangang-Jangang, yang merupakan aksara lontara tempo dulu. Kedua, aksara Lontara Sulapa’ Appa’, yang merupakan aksara lontara yang dipakai umum di masyarakat. Terakhir, aksara Lontara Bilang-Bilang, khusus dipakai di kerajaan yang dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan kerajaan. Tiga contoh aksara yang sebagian ditulis pada daun lontar itu bersemayam dalam lemari kaca yang diterangi pencahayaan cukup.
Setelah memperoleh informasi perihal filosofi Lontara Makasssar, batinku belum puas, masih menyimpan sejuta tanya. Akibat dorongan akumulasi keingintahuanku, selanjutnya saya berusaha menelusuri sejarah aksara ini hingga melacaknya pada beberapa literatur kajian Budaya Makassar. Kali ini saya berniat “menggeledah” isi perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar, sebagai penebus seluruh tanya yang masih mengendap di otak kananku.
Saya menyadari untuk menelusuri sejarah Makassar secara detail tentunya perpustakaan ini masih jauh dari yang diharapkan, bila dibandingkan dengan museum dan perpustakaan Universitas Laiden Belanda. Di negeri kincir itulah disebut sebagai “surga” bagi pengembara sejarah Nusantara termasuk Makassar. Sementara saya, di gudang buku ini hanya berhasil menemukan sebuah naskah yang ditulis Christian Pelras “Manusia Bugis”, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar - karangan Prof Mattulada dan Sejarah Lontarak Makassar karangan Syarifuddin Kulle.
Setelah mencatat sejumlah data, diperoleh informasi ternyata Kerajaan Gowa sudah lama mengenal aksara. Namun belum menemukan media yang tepat untuk dijadikan tempat menorehkan aksara. Barulah terpikirkan memanfaatkan pelepah daun lontar untuk menulis fatwa-fatwa kerajaan. Dipilihnya daun lontar ketika itu (abad 14) karena kertas belum dikenal, sementara Pohon Lontar banyak tumbuh. Aksara tersebut mulanya ditulis pada batang Pohon Katangka, batu dan kulit hewan, hanya saja kualitas tulisan tersebut tidak awet.
Barulah daun lontar dianggap efektif dan cocok untuk menuliskan aksara ini. Selain sebagai tumbuhan khas Gowa, Pohon Lontar juga dijadikan lambang kejantanan bagi kaum laki-laki. Pohon Lontar atau Talak termasuk tanaman multi guna. Hampir semua bagian pohonnya bermanfaar bagi kehidupan manausia. Misalnya batang, bisa dijadikan tiang rumah atau alat bajak sawah. Sementara seratnya dibuat topi atau anyaman lainnya. Buahnya bisa dimakan langsung dan buah yang sudah matang bisa dijadikan penganan. Selain itu buahnya pun bisa dijadikan gula, termasuk minuman tuak khas Makassar “ballo”. Konon pada zaman dahulu kala, minuman tradisional ini dijadikan sebagai simbol kejantanan bagi para pejuang. Menurut pengakuan para pejuang, setelah minum ballo, akan timbul keberanian dalam dirinya dan siap menghadapi lawan tanpa memikirkan risikonya. (1)



Lontara dan Pemaknaanya
Dalam tinjauan etimologi –cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata- Pelras menjelaskan, frasa daun lontar sepadan dengan raung = daun dan tala’ = lontar menjadi rauttalak atau rontalak dalam Bahasa Makassar. Kata rontala’ lalu mengalami proses metatesis menjadi lontara’(2). Dengan kata lain, kata ‘lontara’ murni berasal dari Bahasa Makassar.
Sementara berdasarkan silsilah aksara dunia, lontarak berpangkal dari aksara Dewanagari. Pendapat ini merujuk pada buku peninggalan Prof Mattulada, seorang Guru Besar bidang Antropologi Lingustik Unhas. Buku ini sempat saya “amankan” demi kepentingan studi. Dalam buku itu menyebutkan (3) asal-asul Aksara Lontara sehingga beliau (Mattulada) merasa yakin Aksara Makassar berasal dan Aksara Dewanegari, sebuah aksara dari daratan India bagian Utara. Informasi ini cukup beralasan, karena Aksara Dewanagari berpangkal dari Aksara Brahmi, yaitu tulisan yang digunakan di India semasa pemerintahan Raja Asoka (270 SM - 232 SM). Huruf ini ditulis dari kiri ke kanan meskipun berdasarkan Huruf Arab atau Huruf Fenisia di Timur Tengah yang ditulis dari kanan ke kiri. Aksara Brahmi ini untuk perkembangan aksara di Asia sangatlah penting, sebab merupakan cikal bakal semua aksara di India dan juga di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara.
Tidak hanya berhenti pada informasi Mattulada, saya lalu berupaya mengorek sejumlah keterangan untuk membandingkan informasi yang sebelumnya diuatarakan oleh pakar antropologi itu. Hingga akhirnya keterangan serupa saya peroleh pada buku La Galigo Menelusuri Warisan Sastra Dunia yang disusun oleh peneliti Unhas DR Nurhayati. Dalam buku itu menyebutkan baik Mills, Noorduya dan Fachruddin tiga peneliti Aksara Makassar sepakat bahwa lontara berasal dari Huruf Pallawa, salah satu rumpun Aksara Negarawi yang masuk ke Nusantara seiring dengan penyebaran Agama Hindu melalui Huruf Kawi lalu menyebar ke Sumatara bagian Utara. Namun perlu diberi sedikit catatan di sini, Bahasa Sansekerta tidak mutlak ditulis menggunakan aksara ini tapi bisa juga ditulis dengan banyak aksara lainnya, antara lain aksara-aksara Nusantara termaksud lontara
Berdasarkan catatan tersebut besar kemungkinan aksara Lontara Makassar yang dibuat oleh Daeng Pamatte berpangkal dari Aksara Pallawa (Dewanegari). Sejalan dengan pendapat itu, Basang (1972: 11) mengemukakan beberapa persamaan Aksara Dewanegari dengan Aksara Makassar, yaitu keduanya huruf silabis (satu huruf melambangkan satu suku kata); keduanya menggunakan alat bantu untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke kanan. Adapun Yatim (1983: 5) memperhatikan susunan abjadnya. Dia mengakui bahwa pengaturan abjad lontara telah sampai kepada kesadaran linguistik yang amat maju dan amat mirip dengan pengaturan Abjad Sanskerta, yang membedakan hanya bentuknya.
Kecerdasan Daeng Pamatte memang harus diakui; lewat tangan “dinginnyalah” masyarakat Makassar bisa mengetahui asal usul leluhur mereka melalui Aksara Lontara. Namun sosok Pamatte yang dikenal cerdik itu tidak terlepas dari berbagai pengaruh budaya yang melekat pada zamannya. Salah satunya pengaruh Hinduisme. Untuk ukuran sebuah peradaban setua di Nusantara, peradaban Hindu sudah mengenal dan menjadi pengguna Aksara Dewanegari. Seperti dapat dijumpai pada aksara Batak, Jawa kuno, Bali dan Samosir.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Pelras (2006: 230) dan H. Kern beranggapan bahwa lontara di Sulawesi Selatan ada persamaan dengan aksara yang ada di Sumatera, seperti Aksara Batak. Informasi ini, saya telusuri dan akhirnya sedikit menemukan titik terangnya. Seperti tercantum pada sebuah situs kekerabatan Malayu-Makassar dikisahkan tentang peperangan Raja Gowa yang bernama Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna ke Malaka dan daerah jajahannya, termasuk Batak. Peristiwa ini diceriterakan berlangsung pada masa pemerintahan Kerajaan Melayu dibawah kekuasaan Sultan Mansur Shah sekitar tahun 1440. Walaupun ia dapat dipukul mundur oleh tentara Melayu, Raja Gowa tersebut berhasil membawa harta rampasan, baik berupa barang maupun tawanan perang.
Melalaui riwayat inilah kita dapat melacak sepak terjang penguasa Gowa kala itu sehingga tidak tertutup kemungkinan di antara para tawanan itu terdapat orang¬-orang Batak yang terampil menulis dan membaca tulisan Batak. Dari merekalah orang Makassar belajar tulisan Batak tersebut. Selanjutnya, mereka mengkombinasikan dan menyederhanakan huruf Batak itu sehingga berwujud tulisan Makassar sekarang. Namun tentunya kita dituntut objektif mengamati catatan sejarah, dengan demikian informasi ini bisa dijadikan rujukan meski keterangan tersebut sifatnya belum pasti. (4)*
Berdasarkan informasi ini dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan Aksara Makassar baru, merupakan hasil penyederhanaan atau modifikasi dari aksara tersebut yang dilakukan oleh Daeng Pamatte. Bila dilihat sepintas lalu, Aksara Batak dan Aksara Makassar memiliki kesamaan. Namun sprit dan filosofis keduanya memiliki akar yang berbeda. Lontara Makassar memiliki filosofi mikrokosmos sulappa’ appa’ yang mengandung simbol empat unsur. Sementara Aksara Batak (surat batak) filosfisnya lebih menekankan pada aspek etika warisan aksara seperti pada terjemahan surat ni tangan berbunyi: Tulisan yang dapat (boleh) berubah, tetapi tidak boleh berubah-ubah. Maksudnya: Bunyi (isi) tulisan boleh berubah-ubah, tetapi bentuk huruf tidak boleh berubah-ubah.
Dengan demikian meski Aksara Lontara memilki kesamaan dengan Aksara Batak yang keduanya perpangkal pada Huruf Pallawa, namun lontarak tetap memilik identitas tersendiri yang berasal filosofi dan Budaya Makassar. Keterangan ini didukung oleh pendapat yang bersumber dari Lontara Patturioloanga ri Tugowaya, seperti disinyalir berbunyi sebagai berikut *(5).

“...iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannara’na minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannara’, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontara’ Mangkasara’” (.. dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang. Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga Tumailalang, dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat Lontara Makassar).

Dalam lontarak di atas terdapat kata ‘ampareki’ yang dapat berarti `membuat atau menciptakan', `menjadikan atau menyederhanakan'. Jadi, apabila kata ampareki diartikan menciptakan/membuat, dapatlah diartikan membuat sesuatu dari yang belum ada menjadi ada. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa Aksara Makassar baru itu diciptakan oleh Daeng Pamatte yang diilhami oleh pandangan hidup orang Makassar sendiri, yaitu sulapa’ appa’.

Rahasia Lontara
Selanjutnya, Mattulada (1991a: 68-9) menjelaskan bahwa terdapat anggapan di kalangan orang Makassar berkaitan dengan penciptaan tanda-tanda bunyi yang kemudian disebut Aksara Lontara dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan yang berpangkal pada mitologis orang Makassar yang memandang alam semesta ini sebagai sulappa’ appa’ yang berarti `segi empat belah ketupat'. Sarwa alam ini merupakan satu kesatuan yang dinyatakan dalam simbol S = sa yang berarti seua (tunggal atau esa). Demikian pula segala tanda bunyi dalam aksara lontarak bersumber dari s = sa.
Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut Urupu Sulappa’ Appa’ seperti berikut.

Selain itu ternyata Tradisi literer dengan menggunakan huruf lontara mengalami perkembangan paling pesat pada abad ketujuh belas. Dengan pengaruh contoh-contoh Sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang setiap fakta (matter-of-fact) yang merinci pesatnya perkembangan Makassar. Tujuan penulisan ini adalah semata-mata agar raja-raja tidak dilupakan oleh anak-anak, cucu-cucu dan keturunannya, karena ada dua bahaya kebodohan yaitu kita merasa sebagai raja-raja besar atau orang lain menganggap kita orang-orang yang tidak berarti.
Tradisi yang sangat kokoh bagi pencatatan masa lampau ini didorong oleh bakat luar biasa dari Karaeng Patingngaloang (1600-1654), yang menyuruh seorang Ambon pelarian di Makassar agar menulis sejarah Maluku dalam Bahasa Melayu. Sebagai pemangku adat Kerajaan Makassar, Karaeng Patingngaloang membuat pembaruan-pembaruan istimewa dalam urusan pemetaan, letak istana, penerjemahan naskah-naskah kemiliteran dari Bangsa Portugis, Turki, dan Melayu ke dalam Bahasa Makassar. Di samping itu, kebiasaan menuliskan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal dan utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah dengan menggunakan sistem penanggalan ganda Masehi dan Hijriah merupakan kebiasaan Karaeng Patingngaloang yang tidak tertandingi oleh siapapun dalam hal kepadatan dan ketelitiannya.
Selain itu, penulisan dan penyalinan buku-buku Agama Islam dari Bahasa Melayu ke Bahasa Makassar (lontara) giat dilaksanakan. Berbagai lontara yang asalnya dari Bahasa Melayu diduga berasal dari zaman permulaan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan (abad ke-17 dan 18), sampai sekarang masih populer di kalangan orang tua-tua Makassar. Lontara yang dimaksud antara lain: (1) Lontara perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatima, putri Rasululullah, (2) Lontara Nabi Yusuf dan percintaan Laila dan Majnun, (3) Sura’ bukkuru yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara pau-paunna Sultanul Injilai,

Postingan populer dari blog ini

teks panjang Aru Tubaraniya Ri Gowa

SILSILAH RAJA-RAJA GOWA

RAJA-RAJA SANROBONE