PRINSIP PERKAWINAN SUKU MAKASSAR
pRINSIP PERKAWINAN SUKU MAKASSAR
Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Dalam kebudayaan suku manapun dapat ditemui bahwa perkawinan selalu mempunyai kajian yang rumit, baik dari latar belakang sosial, ekonomi ataupun dari adat istiadatnya. Tidak terkecuali pada suku Makassar.
Suku Makassar mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi bersama suku Bugis dan Toraja. Suku Makassar paling banyak terdapat di kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba dan tentu saja di kota Makassar yang sudah menjadi ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Sistem kekerabatan dalam suku Makassar memperhitungkan kerabat Ayah dan Ibu terhadap anak-anaknya sama, bilateral. Seluruh kerabat disebut bija pammanakang. Keluarga batih dalam bahasa Makassar disebutsipammanakang, terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak yang belum mekawin.
Berbicara tentang perkawinan, sebuah ungkapan dalam bahasa Makassar yang menyinggung tentang perkawinan berbunyi ” Tenapa na ganna se’re tau punna tenapa na situtu ulunna na salanggana” yang berarti : seseorang belum sempurna menjadi manusia jika kepala dan bahunya belum menyatu.
Ungkapan di atas bermakna bahwa perkawinan dalam suku Makassar dianggap sebagai sebuah proses menyatukan umat manusia menjadi sebuah bagian yang utuh. Suami dan istri dianggap sebagai sebuah bagian kepala dan bahu yang harus disatukan. Orang tua suku Makassar ketika mengawinkan anak-anaknya akan berkata “la nipajjari taumi” atau “la nipattaumi ulunna na salannganna” artinya akan dijadikan manusialah dia atau akan disatukan kepala dan bahunya.
Anak gadis atau perjaka jika belum mekawin belum dianggap sebagai tau atau manusia. Mereka belum punya hak untuk berbicara pada acara-acara tertentu. Perkawinan membuat mereka kemudian mempunyai hak dan tanggung jawab yang lebih.
Bila seseorang mengawinkan anaknya maka dia orang-orang akan menyebutnya“nisungkemi bongonna” atau telah dilepas selubungnya. Orang-orang yang belum mekawinkan anaknya dianggap sebagai orang yang masih tertutup selubung, menutupi sesuatu yang ia jaga dan khawatirkan berupa kehormatan keluarga. Karena itu acara perkawinan digelar meriah sebagai gambaran kegembiraan orang tua mempelai.
Mencari jodoh untuk anak bukan perkara mudah karena ini juga berarti menautkan hubungan antara dua keluarga. Dua keluarga yang tertaut karena perkawinan itu disebut ajjulu sirik yang maknanya adalah menyatukan dua keluarga untuk menjaga kehormatan bersama-sama. Orang-orang yang tidak berketurunan disebut sebagai tau puppusuk atau mereka yang keturunannya tidak bersambung lagi. Sementara orang-orang yang punya banyak anak disebut sebagai “tau kalumannyang ka jai anakna” atau orang yang kaya karena punya banyak anak. Pameo banyak anak banyak rejeki masih dipegang teguh oleh orang-orang suku Makassar.
Perkawinan ideal dan pembatasan jodoh
Perkawinan sejatinya adalah proses penyatuan dua keluarga besar, karena itu perkawinan juga selau melibatkan keluarga besar. Dalam memilih jodoh, orang suku Makassar jaman dulu mempertimbangkan banyak hal.
Pertimbangan terbesar dalam mencari jodoh adalah masalah kasiratangngangatau kesepadanan. Kasiratangngang adalah kesejajaran atau kesepadanan dalam tatanan sosial masyarakat. Sebagai gambaran suku Makassar juga mengenal kasta yaitu bangsawan (karaeng), rakyat jelata (tumaradeka) dan abdi (ata). Wanita (apalagi wanita bangsawan) tidak boleh menikah dengan pria dari kasta yang lebih rendah atau dia akan kehilangan haknya.
Perkawinan terbaik adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dengan derajat yang sama, apalagi jika mereka masih ada hubungan darah dan kekerabatan utamanya yang berada dalam garis horizontal sebagai berikut:
- Perkawinan antara sampo sikali (sepupu satu kali; anak dari saudara ayah/ibu) hubungan ini disebut sebagai sialleang baji’na (perjodohan terbaik)
- Pekawinan antara sampo pinruang (sepupu dua kai; anak dari sepupu ayah atau ibu) Hubungan ini disebut sebagai nipassikaluki (perjodohan yang menautkan)
- Perkawinan antara sampo pintallung (sepupu tiga kali; cucu dari sepupu kakek/nenek) Hubungan ini disebut sebagai nipakabani bellayya(perjodohan yang mendekatkan yang jauh).
Prinsip kasiratangngang atau kepantasan ini jaman sekarang mulai bergeser. Seorang wanita keturunan bangsawan boleh saja menikah dengan lelaki yang tidak berdarah bangsawan tapi dihormati dilingkungannya karena memiliki harta atau kedudukan sosial yang tinggi. Perjodohan yang dianggap tidak sepadan disebut tena na siratang, namun jaman sekarang ketidakpantasan ini sudah mulai kabur.
Hal yang paling tabu dalam pernikahan suku Makassar adalah salimarak atau dalam istilah antropologi disebut sebagai incest atau perkawinan sedarah. Pelaku perkawinan ini mendapat hukuman yang keras, dalam suku Makassar disebutniladung atau ditenggelamkan di laut dengan kedua kakinya diikat batu atau pemberat.
Bentuk Perkawinan dalam suku Makassar
Pada dasarnya ada dua jenis perkawinan dalam suku Makassar yaitu perkawinan dengan peminangan atau yang berlangsung mulus tanpa guncangan dan perkawinan dengan annyala atau kawin lari karena tidak beroleh restu atau karena penyebab lainnya.
Perkawinan dengan peminangan berlaku umum untuk semua golongan, kecuali golongan bangsawan yang mempunyai tata cara dan adat istiadat yang lebih panjang. Ketika kedua keluarga sudah sepakat untuk menikahkan anak mereka maka ini disebut abbayuang atau bertunangan. Jaman sekarang abbayuang ini sudah diartikan sebagai berpacaran tentu karena batas-batas sosial yang sudah semakin longgar.
Pernikahan dengan annyala adalah sebuah jalan terakhir ketika sepasang anak muda menemui jalan buntu dalam menyatukan cinta mereka. Annyala berarti berbuat salah, karena keduanya dianggap menyalahi adat perkawinan dan memilih untuk kawin lari.
Pihak keluarga yang anak gadisnya dibawa lari disebut tumasirik atau yang menderita sirik (malu) sehingga keluarga besar mereka mempunyai kewajibanappaenteng sirik (menegakkan rasa malu/kehormatan) dengan membunuh lelaki yang telah membawa lari anak gadis dalam keluarga mereka.
Sang lelaki akan terus dicari oleh keluarga gadis yang dia bawa lari, satu-satunya tempat aman adalah rumah kadi atau pemuka masyarakat. Di sana dia tidak boleh disentuh sama sekali oleh keluarga gadis yang dia bawa lari. Selanjutnya menjadi tugas sang kadi untuk menikahkan si tumannyala ini. Anak gadis yang dibawa lari dianggap nimatei atau dianggap sudah mati oleh keluarganya.
Meski pasangan ini telah dinikahkan oleh kadi secara resmi namun dendam dari keluarga si gadis tidak akan padam sebelum lelaki tersebut bersama istrinya datang mabbajik (berdamai) ke keluarga besar sang istri.
Annyala sendiri ada beberapa macam, yaitu:
- Silariang atau sama-sama sepakat untuk kawin lari. Ada banyak hal yang melatarbelakangi pilihan ini, entah karena cinta mereka tidak bisa disatukan karena derajat yang tak sama atau salah satunya sudah terlanjur dijodohkan dengan orang lain dan beragam sebab lainnya.
- Nilariang atau dibawa lari. Berbeda dengan silariang, nilariang adalah kondisi di mana pihak wanita tidak terlalu sepakat untuk kawin lari tapi kemudian dipaksa oleh pihak pria.
- Angngerang kale atau membawa diri. Kondisi ini adalah kondisi di mana pihak wanita yang menyerahkan diri kepada pihak pria dan meminta agar dibawa lari atau kawin lari.
Seperti disebut di atas, meski telah menikah secara resmi namun pasangan kawin lari ini akan tidak akan diterima begitu saja oleh keluarga pihak wanita sebelum datang berdamai. Mereka disebut sebagai tumate attalasa’ atau orang mati yang berjalan.
Agar bisa diterima oleh keluarga si wanita dan menegakkan kembali sirik(kehormatan) maka si tumannyala harus menggelar acara mabbajik atau berdamai dengan pihak keluarga si wanita. Pertama dia akan meminta seseorang yang dipercaya untuk menghubungi pihak keluarga si wanita agar mau menerimanya. Ketika pihak tumasirik menyatakan menerima maka upacaramabbajik akan digelar.
Si tumannyala akan harus menyediakan sunrang (mahar) dan pappasa atau denda karena telah berbuat salah. Keduanya dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang disebut kampu disertai leko sikampu (sirih pinang). Selain itu mereka juga harus menyediakan hidangan yang cukup untuk para hadirin yang datang.
Ketika hari yang disepakati tiba, maka si tumannyala beserta keluarganya akan datang menghadap kepada keluarga tumasirik. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan penyerahan kampu dari pihak tumannyala kepada pihak tumasirik. Prosesi ini menandai perdamaian kedua pihak, sejak saat itu tumannyala sudah diterima sebagai keluarga dan karenanya hilang juga kewajiban dari keluargatumasirik untuk menumpahkan darah dari si tumannyala. Kehormatan telah ditegakkan kembali.