Sejarah Kerajaan Tallo
Sejarah Kerajaan Tallo
Sebagian besar sejarah yang diajarkan di Indonesia
adalah sejarah orang-orang besar. Pemerintah Indonesia dengan konsep
pahlawan yang pantas menjadikan sebagai sudi tauladan perjuangan
kebangsaan bagi pengajaran di sekolah. Pendidikan Belanda menerapkan
kurikurumnya mengutamakan para pemimpin, sehingga para pahlawan yang
dikukuhkan merupakan para penentang gigih Belanda.
Para pahlawan tidak selamanya selalu
cocok sebagai model sejarah untuk tugas-tugas modern yang lebih rumit
dan mereka belum tentu dicintai oleh rakyat masanya. Hal ini cukup menarik untuk dikaji dan tidak pernah diketahui secara mendalam. Kasus yang mencolok seperti Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Sultan Iskandar Muda dari Aceh (1607-1683) dan Sultan Abdul Fatah dari Banten (1651-1683).
Dalam pembahasan makalah ini, kelompok
kami akan membahas tokoh kecil yang pribadinya menarik dan secara
historis kreatif. Mereka adalah anggota-anggota keluarga Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan,
khususnya Karaeng Matoaya dan anaknya yang bernama Pattingalloang.
Merekalah yang meletakan dasar kejayaan Makassar abad ke-17, bukan
dengan tangan besi tetapi dengan kombinasi luar biasa antara
intelektualitas, agama dan politik.
SEJARAH SINGKAT
Tradisi Gowa (Makasar) dianggap sebagai dinasti penguasa yang sangat kuat dan dipengaruhi oleh gagasan-gagasan luar
tentang keagungan sebuah kerajaan. Bangkitnya Gowa untuk meraih
kekuasaan tertinggi di Sulawesi Selatan dan sekitarnya tidak hanya
ditandai oleh serangkaian penaklukan yang dimungkinkan oleh penguasa
teknologi dan kemakmuran yang diperoleh dari perdagangan luar negeri,
tetapi disertai perjanjian yang diperkuat dengan ikatan sumpah bersama
komunitas-komunitas lokal lainnya.
Tunipasuru’ penguasa Tallo yang ketiga
mengadakan perjanjian sumpah setia dengan Tumapa’risi Kallonna
(1512-1548), penguasa Gowa yang ekspansionis. Sesudah itu, Tallo selalu
ikut serta dalam semua perang yang dilancarkan Gowa dan membawa dengan
cepat Gowa sebagai kekuatan dominan orang Makasar di Sulawesi Tenggara.
Tahun 1566, ketika Raja Gowa Tunipalangga
tewas di tahun ketiga dalam perang melawan Bone, pengaruh Tallo tidak
terdengar. Pada titik ini penguasa Tallo, setelah meninggal dunia
dikenal sebutan Tumenaga ri Makkoayang yang mengambil alih pimpinan. Dia
mengatur penggantian kekuasaan dan menyerahkan kepada Tunijallo’ yang
baru berusia 21 tahun, anak sulung raja yang terbunuh itu; mengigat
Tunijallo’ pernah dua tahun bersembunyi di istana Bone menghindar dari
kemurkaan ayahnya karena mengambil salah satu perempuan miliknya.
Perjanjian damai bisa tercapai antara Gowa dan Bone yang berjalan selama
sebelas tahun. Raja Tallo memasang Tunijallo’ muda secara resmi di
takhta Gowa, menikahkan raja baru ini dengan salah seorang anak
perempuannya, dan diangkat sebagai Baligau (perdana menteri) kerajaan Gowa. Peran ini sungguh menguntungkan dalam jangka panjang bagi keluarga Tallo.
Saat Tumenanga ri Makoayang meninggal,
keberadaan dinasti Tallo yang sudah terpisah itu menjadi terancam.
Pewarisnya adalah anak perempuan tertua yang juga istri Tunijallo
(penguasa Gowa), dan kronik Tallo mencatat bahwa mereka memerintah
bersama. Tunijallo dibunuh oleh salah satu pengikutnya dan diganti oleh
anak lelaki tertua dari perkawinan Gowa-Tallo yang dikenal dengan
Tunipasulu’. Kronik Tallo mencatat bahwa dia menjadi raja di Tallo dan
melarang rakyat menghormati dua tuan. Hal ini berpengaruh ke komunitas
Melayu sebagai kunci kemakmuran Makassar dan banyak orang-orang berdosa
dibunuh tanpa alasan.
Walau Tunipasulu’ tampak penuh dengan kekerasan, dia dihormati karena memaparkan lembaga Bate selapang,
Sembilan pemuka adat yang sejak awal membentuk inti negara Gowa,
memberikan mereka wewenang. Pada masa ini pula melahirkan sebuah monarki
yang hebat dan tersentralisasi yang menyadarkan sebagian besar ekonomi
di Maros.
Pemerintahannya digulingkan dan
Tunipasulu’ melarikan diri ke Luwu 1593. Orang yang mengulingkannya
adalah Karaeng Matoaya dari Tallo. Dengan demikian Matoaya muncul
sebagai tokoh Tallo kedua setelah ayahnya memainkan peran sejarah besar
dalam urusan-urusan Makassar. Tokoh yang lahir sekitar tahun 1573. Ini
adalah anak laki-laki Tumenanga ri Makoayang dari istri keempat, seorang
perempuan Bontomanai dari kelas social Gallarrang (kepala
kampung). Haknya sebagai pewaris takhta Tallo tidak terlalu kuat dan
tentu lebih kecil daripada I Sambo, kakak tirinya, anak perempuan
seorang puteri Gowa yang berhasil menduduki takhta Tallo dan menikah
dengan raja Tunijallo’ dari Gowa.
Kerajaan Makasar di bawah Matoaya dan Pattingalloang
Matoaya adalah anak muda cakap yang penuh
ambisi karena usia enam belas tahun sudah diberi tanggung jawab
mengatur system pelayanan wajib kerja untuk Raja Tunijallo’. Saat
Tunijallo’ wafat tahun 1590, dia sudah diberi tanggung jawab lebih jauh
sebagai perdana menteri Gowa. Dia aktif dalam banyak kebijakan yang
mengoyang landasan konstitusional negara pada masa Tunipasulu’. Dia
banyak mengambil keuntungan dari raja yang sewenang-wenang tersebut dan
menyingkirkannya.
Saat menggulingkan Tunipasulu’, Matoaya
menaruh I mangngarangi yang baru berusia tujuh tahun di taktha Gowa yang
kelak akan memerintah dan dikenal dengan nama muslim Ala’uddin. Bocah
ini adalah saudara laki-laki Tunipasulu’, hasil perkawinan Tunijallo
dengan ratu I Sambo, saudara tiri Matoaya yang juga mempunyai hak
istimewa yang setara. Menurut kronik Tallo, I Sambo “menyerahkan
kerajaan Tallo” kepada adik laki-lakinya itu sehingga Karaeng Matoaya
menjadi raja di Tallo. Sebagai penguasa Tallo, penasehat Gowa dan
pengasuh keponakan, Matoaya sepenuhnya memegang posisi dominan di
Makassar.
Matoaya berhasil meletakan dasar-dasar kejayaan Makassar abad
ke-17 saat menghadapi islamisasi dan orang-orang barat. Tujuannya bukan
mengejar keagungan pribadi melainkan membangun konvensi-konvensi yang
mengikat dan pengaruhnya bisa bertahan lama. Langkah kebijakannya
mengikuti ayahnya yang lebih suka menegakan kedamaian dan pencarian
sekutu daripada penaklukan.
Karaeng Matoaya berhasil menyatukan
kembali wilayah yang sebelumnya sempat terpecah-pecah dan tidak dapat
disatukan oleh Tunijallo’ seperti Wajo. Dia sangat dihormati Arungmatoa
(raja yang terpilih) daripada Tunipasulu’.