Seabad Berlalu, I Sangkilang Masih Seorang Budak
Sebuah perahu bercadik merayap menuju Kampung Sompu di hulu sungai yang menjulur di wilayah kerajaan Gowa. Seorang pria duduk membisu di atas sangkilang, palang penyangga kemudi di bagian belakang perahu. Ia mengenakan songkok,
topi dari anyaman daun palem berhias pita emas. Sebuah tanda
kebangsawanan. Pakaian kebesaran dan keris emasnya layak bagi seorang
aristokrat. Pengiringnya terus mendayung, menuju sebuah pesta yang
diadakan penguasa kampung.
Ketika perahunya merapat di tepi
pekarangan kampung yang sedang berpesta, orang-orang berpaling. Tak ada
yang mengenal bangasawan itu. Sang tuan rumah bertanya, “Kau siapa?” Dia
bergeming. Mulutnya katup. Dia tetap duduk di atas sangkilang. Ketika
akhirnya dia melayang sebelum menjejak bumi, sontak seluruh tamu dan
tuan rumah menahan napas. Mereka takjub sekaligus penasaran.
“Apakah di antara kalian yang hadir tidak ada yang mengenal saya?” Ia akhirnya buka mulut. Seluruh kampung senyap.
Sadar tak ada yang mengenalinya, Ia segera melantunkan syair perkenalan bernada sinis:
“Tidakkah kalian kenal lagi/ Emas bentukan Tallo/
Cindai dari Pattingalloang/ Kaca cermin dari Ujung Tanah/ Cahaya dari
Karawisi/ Yang mulia dari Sanrabone/ Penabur benih dari Lambaselo/ Yang
menanam di Lonjoboko/ Raja dari semua manusia/ Raja manusia dari seluruh
negeri”
Kampung itu gempar. Syair itu menyadarkan seluruh kampung siapa pria
yang sedang mereka hadapi. Bertahun-tahun sebelum hari itu, raja mereka,
Batara Gowa, yang baru berusia delapan belas tahun pergi meninggalkan
rakyatnya. Ada yang bilang ia telah dibuang Belanda ke Ceylon, Sri Lanka. Seluruh rakyat dan bangsawan yang hadir di pesta itu segera menyatakan tunduk dan taat kepadanya, sang sombaya—Dia yang disembah—sudah pulang.
Penggalan kisah di atas membuka sebuah narasi tentang salah satu gerakan bersenjata paling fenomenal di Sulawesi Selatan. Di bawah kendali I Sangkilang gerilya ini membuat pusing Fort Rotterdam selama belasan tahun di akhir abad ke 18.
Namun versi pembuka itu bukan satu-satunya. Versi lain mengatakan bahwaorang yang duduk di atas sangkilang
itu, dinamai Sangkilang karena ia tak menjawab ketika orang bertanya
siapa namanya. Bahwa di kampung itu awak perahu turun ke darat dan
Sangkilang turut bersama mereka—bukan melayang. Dan bahwa menurut
beberapa laporan, sebenarnya ia adalah budak pangeran dari Bone, Aru
Patempe, yang memerintahkan sang budak mewakilinya menghadiri pesta
tersebut. Karena itu, ia diminta membawa songko bersaput emas dan didandani dengan pakaian serta senjata tuannya.
Di pesta tersebut, ia segera menduduki tempat tertinggi dan tidak ada
orang yang mengenalnya. Saat ia mengaku sebagai Batara Gowa, kegemparan
segera merebak. Sebagian segera percaya, namun yang lain tidak. Ia
kemudian sanggup membuat sebagian dari mereka percaya dengan bertanya
tentang beragam ornamen dan anggota keluarga Batara Gowa—bukan langsung
mengucap syair. Caranya bertanya demikian canggih sehingga kerumunan itu
bisa ia perdaya. Dengan janji-janji dan muslihat ia berhasil
mendapatkan banyak pengikut.
***
Kedua versi di atas datang dari dua sumber berbeda. Yang pertama berasal dari buku Batara Gowa, Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar.[1]
Sebuah karya keroyokan tiga orang ahli sejarah: Mukhlis Paeni, Edward
Poelinggomang, dan Ina Mirawati. Dua nama pertama adalah dedengkot
sejarah Sulawesi Selatan. Karena saya tidak punya akses ke
tulisan-tulisan Ina Mirawati, dan dua penulis lainnya cukup penting
untuk menjelaskan historiografi Sulawesi Selatan, maka saya hanya akan
mengarahkan pisau analisis ke kedua penulis pertama. Versi ke dua adalah
kutipan dari terjemahan bebas buku Thomas Gibson, seorang ahli
antropologi berkebangsaan Amerika Serikat.[2]
Menariknya, mereka memanfaatkan sumber yang sama: artikel J. Tideman, seorang ilmuan Belanda yang menulis di tahun 1908.[3]
Bedanya, versi pertama juga menggunakan sumber lain, artikel
Abdulrazak Daeng Patunru yang juga banyak menyandarkan tulisannya pada
sumber lokal, lontara.[4]
Sejak di bagian awal buku, para penulis Batara Gowa sudah
melancarkan kritik terhadap tulisan Tideman yang katanya “terlalu
percaya sumber-sumber VOC”, sehingga melihat gerakan itu adalah sebagai
buatan seorang avonturir yang mengambil kesempatan dalam keadaan rakyat
yang tengah mendambakan kembalinya sang raja untuk memulihkan keadaan
mereka yang semakin sulit. Tak heran pada bagian yang berkisah tentang
identitas I Sangkilang, buku ini lebih memilih bersandar pada artikel
Patunru ketimbang Tideman. Akibatnya, di buku itu, pada halaman 17, para
penulis Batara Gowa tiba pada sebuah kesimpulan yang menutup
kemungkinan kebenaran teori Tideman bahwa I sangkilang adalah seorang
budak. “Masih sangat sulit untuk membuktikan dengan pasti siapa
sebenarnya Batara Gowa yang tampil di Sompu, yang kemudian lazim dikenal
dengan nama Batara Gowa I Sangkilang…”
Adapun Tideman—masih kutipan dari buku Gibson—melanjutkan laporannya
tentang identitas I Sangkilang dengan mencoba menimbang lebih banyak
versi cerita tentang sang tokoh. Ia menulis sebagai berikut:
“Sebagian memoles cerita ini menjadi lebih baik, dengan mengklaim
bahwa Sangkilang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, telah naik dari
sungai hanya dengan duduk di atas palang penyangga kemudi perahu, lalu
menambah keyakinan orang dengan membumbui cerita ini bahwa perahu
tersebut, yang telah membawanya ke pengasingan di Sri Lanka, telah
terbalik, tetapi dia, Batara Gowa, telah menyelamatkan diri dengan
berpegang pada sangkilang perahu, sebelum kemudian membalikkan perahu itu lalu berlayar sambil duduk di atas sangkilang menuju daratan. Sebenarnya masih banyak yang menganggap Sangkilang adalah Batara Gowa yang sebenarnya.”
Kalimat terakhir Tideman—yang sengaja saya miringkan—tentu bisa tertuju pada tiga ahli sejarah yang menulis buku mereka, Batara Gowa, nyaris seabad kemudian. Keraguan para penulis Batara Gowa,
bisa ditafsirkan sebagai keputusan yang membuka peluang bahwa I
Sangkilang memang benar adalah Batara Gowa yang pulang dari pembuangan.
Memang, dengan menggunakan sumber-sumber catatan VOC, secara meyakinkan
mereka membangun konstruksi sejarah yang membantah Tideman di bagian
lain, terutama tentang alasan timbulnya gerakan tersebut. Namun, di
bagian tentang identitas I Sangkilang, sepertinya mereka tidak rela
mengakui bila ia adalah seorang budak. Mengapa demikian, mengapa ketika
seorang pemimpin legendaris, seorang pahlawan, coba diidentifikasi, ia
tak boleh datang dari kelas bawah?
***
Dalam sebuah bukunya, William Cummings menganalisis siasat kalangan
istana Makassar mereproduksi dan memanfaatkan catatan sejarah. Untuk
menyusun buku ini, dengan tekun dia melahap nyaris seluruh sumber lokal
yang merujuk pada abad ke 16 dan 17. Dia melihat bagaimana penulisan sejarah itu digunakan pada masa kini.[5]
Di masa penelitiannya untuk buku ini, Cummings berjumpa Djohan,
seorang bangsawan yang punya akses terhadap naskah-naskah ‘istana’ di
wilayah berbahasa Makassar. Sebagai seorang asing, ia mengakui, hal
tersulit baginya dalam mempelajari naskah itu bukan pada membaca
aksara-aksara asing, juga bukan bagaimana menafsir teks-teks lama,
tetapi bagaimana mengakses teks-teks tua tersebut. Sebagian orang
Makassar menganggap teks-teks ini bisa membawa efek fisik kepada
pemilik, pembaca ataupun pendengarnya.
Demikianlah, bagi Cummings, bantuan seorang asisten Makassar tak bisa
ditawar-tawar lagi. Sebagian besar teks-teks buruannya mesti diperoleh
lewat Djohan: ia bisa dipinjami naskah untuk disalin atau fotokopi.
Cummings tak boleh melihat aslinya. Itulah yang banyak terjadi, terutama
versi cerita yang jarang diketahui umum.
Sebuah naskah tentang hubungan khusus Sanrabone dan Gowa, menurut
cerita sang pemilik yang disampaikan kepada Djohan, mengisahkan bahwa
raja Gowa sangat takut pada kematian. Untuk mengatasi kegundahannya, ia
bertandang ke penguasa Sanrabone. Setelah sesi konsultasi itu, sang tuan
rumah yang baik hati berjanji akan menemani sang raja Gowa apabila ia
kelak mangkat. Artinya, ia akan ikut mati bila sang raja wafat. Agar
sang penguasa atasannya tak perlu menghadapi akhirat seorang diri.
Ketika datang utusan yang mengabarkan raja Gowa sedang ditunggu maut,
penguasa Sanrabone mengumpulkan kerabatnya guna menyiapkan kepergian
abadinya. Benar saja. Ia meninggal menyusul kematian raja Gowa.
Menurut pemiliknya, naskah ini tak boleh diketahui orang dari luar
Sanrabone. Namun menurut Cummings, narasi semacam ini diketahuinya
banyak beredar di tempat lain dan nyaris menjadi pengetahuan umum bagi
orang yang punya perhatian terhadap sejarah kerajaan ini. Tapi mereka
sepakat bahwa kisah ini tak ada dalam kronik resmi kerajaan Gowa dan
Tallo.
Djohan kemudian membuka cerita lama bahwa ayahnya pernah diminta
ilmuan Belanda J. Noorduyn untuk mendapatkan salinan naskah itu.
Hasilnya sama dan alasannya tak beda. Pertama, naskah tua itu punya
kekuatan tersembunyi yang berbahaya namun berharga untuk dijaga. Kedua,
pengetahuan mistis Islam bersemayam di dalam naskah tersebut dan
sebagian warga muslim tradisional Makassar percaya bahwa pengetahuan
jenis ini hanya boleh dibagi kepada sesama muslim.
Pendeknya, seluruh kesulitan yang dihadapi para pemburu naskah
seperti Cummings dan Noorduyn, berakar pada kepercayaan bahwa naskah
sejarah itu punya efek fisik terhadap orang-orang yang bersentuhan
langsung dengannya di masa kini. Bagi mereka masa lalu bukanlah sesuatu
yang terpisah di belakang sana yang bisa dijadikan obyek penelitian dan
dituliskan untuk disajikan di masa kini sebagai “pelajaran sejarah.”
Pikiran bahwa sejarah bisa menimbulkan efek fisik di masa sekarang,
sebagaimana yang diceritakan Cummings di atas, rasanya sulit dianut oleh
ketiga penulis Batara Gowa. Mereka adalah produk sekaligus
penggerak reproduksi historiografi moderen. Edward dan Mukhlis adalah
jebolan Universitas Gajahmada—perguruan tinggi yang menerbitkan buku
mereka yang kita ceritakan di sini. Keduanya adalah dosen Jurusan
Sejarah Universitas Hasanuddin. Edward bahkan pernah berguru di
UniversitasGroningen, Belanda. Mereka juga adalah penulis-penulis yang
memanfaatkan teknik historiografi moderen yang datang dari Eropa.
Salah satu buku Edward yang paling sering disebut-sebut, misalnya, Makassar Abad XIX,
berkisah tentang perubahan politik ekonomi di Makassar pada abad ke
sembilan belas, yang menurutnya antara lain dipengaruhi oleh Adam Smith,
bapak aliran classic dalam ilmu ekonomi yang menyokong pasar
bebas ini—sehingga membuat Edward membuat penerapannya dalam buku
tersebut—sangat mengandalkan rasio di seluruh tubuh teorinya. Bahkan
salah satu yang paling terkenal dari aliran ini adalah teori rational choice.
Sementara Mukhlis, kita bisa melihat perilaku rasionalnya dari salah
tuturan tentang tindakannya yang sangat rasional pada sebuah proyek
pendokumentasian naskah-naskah asli Sulawesi Selatan. Dalam kerja besar
yang ia gagas itu, Mukhlis sering berjumpa dengan persepsi warga yang
mengeramatkan naskah-naskah buruannya.
“Dalam satu kasus, pemilik beberapa naskah La Galigo dirasuki roh
tokoh Sawerigading….Mereka berhati-hati membuka naskah ini, dengan
memberi sesembahan dan membaca doa selamat. Ketika seorang anggota tim,
Muhammad Salim, mulai membaca keras-keras episode La Galigo yang
tertulis pada dokumen itu, pemiliknya mengamuk kerasukan, seakan
dirasuki roh Sawerigading. Dia baru pulih dari kesurupan ketika Mukhlis
membisikkan ke telinganya bahwa dia akan membayar sejumlah uang untuk
mengamankan naskah itu.”[6]
Singkatnya, dalam membangun historiografi, mereka adalah mahluk rasional.
Kemungkinan yang jadi soal adalah, para penulis dan penyimpan naskah
tua yang diceritakan Cummings bukan berasal dari kalangan sejarawan
akademik. Meski telah menerima pendidikan sekolahan yang ditrasnplantasi
dari negeri Barat, kesadaran sejarah mereka masih berpegang teguh pada
konsepsi orang Makassar tentang masa lalu.
Soal ini Cummings punya dalil tambahan. Menurutnya, di masyarakat berpenutur Makassar, kata riolo,
bukan hanya berarti ‘di depan’ tetapi juga ‘di masa lalu’, yang berarti
orang Makassar bisa dianggap sebagai puak yang melihat masa lalu
sebagai sesuatu yang berada di hadapan mereka. Beda dengan konsepsi
orang berbahasa Inggris misalnya, yang melihat masa lalu berada di
belakang mereka: frasa ‘in back’ selain merujuk pada kata ‘di belakang’ juga dipakai untuk menandai kejadian ‘di masa lampau.’
Lalu apa yang terjadi pada para sejarawan ini sehingga mereka enggan mengakui I Sangkilang sebagai budak?
***
Asvi Warman Adam seperti ‘mengamuk’ menulis buku. Selepas reformasi,
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI ini menulis
banyak artikel yang kemudian terhimpun dalam beberapa buku. Salah satu
sasaran tembaknya, sejarah resmi Indonesia, Orde Lama maupun Orde Baru.
Dalam salah satu esai ilmiah ia menulis salah satu kritiknya.
Menurutnya, Indonesia di masa Orde Lama adalah negeri belia, negeri yang
babak belur oleh penjajahan. Dengan sokongan trauma ini, para petinggi
sepakat mempromosikan resep penulisan sejarah yang baru. Sejarah mesti
ditulis menurut perspektif orang Indonesia. Pembalikan penulisan sejarah
yang ekstrim ini mengharuskan Muhammad Yamin mengais-ngais mitos untuk
mencari entitas kekuasaan yang secara geografis mirip dengan
’Indonesia’. Ia kemudian menemukan mitos tentang kemaharajaan Sriwijaya
dan Majapahit yang bisa dijadikan representasi Indonesia di masa
pra-kolonial.[7]
Karena ditulis oleh penguasa, maka mitos ini menjelma sebagai narasi
resmi bahwa dulu, suatu wilayah yang kini bernama Indonesia, pernah ada
sebelum bangsa asing mengangkangi wilayah ini. Tentu pernyataan ini
lebih merupakan pernyataan ideologis ketimbang simpulan ilmiah. Sebab
’Indonesia’ secara etimologis adalah nama pemberian seorang ilmuan
berkebangsaan Jerman, dan nyaris seluruh tapal batasnya adalah bekas
tanah jajahan Belanda: Hindia Belanda. Jadi secara geografis Indonesia
tidak pernah ada sebelum masa kolonial. Dia adalah produk
pasca-kolonial, sesuatu yang disangkal oleh para sejarawan Orde Lama—dan
banyak sejarawan Orde Baru.
Katharine McGregor, seorang ahli sejarah Australia, menambahkan
analisis ini lewat bukunya yang menyorot militerisasi sejarah di
Indonesia. Tulisanya, di masa Orde Baru, militerisasi penulisan sejarah
terjadi secara sistematis, mulai dari produksi hingga diseminasinya
secara luas ke seluruh media pendidikan Indonesia, bahkan merasuk hingga
ke film-film, yang dikenal dengan nama ’film perjuangan’.[8]
Dalam repesentasi masa lalu ala Orde Baru, Indonesia digambarkan
sebagai ‘bayi’ yang diselamatkan oleh tentara rakyat yang kemudian
berkembang menjadi tentara nasional Indonesia. Peran para cendikiawan,
pedagang, agamawan, petani dan buruh, dibungkam atau dijajarkan di
barisan belakang pasukan militer. Pendeknya, militer adalah penyelamat
bangsa, baik dalam pertempuran maupun dalam perundingan. Karena itu para
suster harus merawat dan menghibur mereka, para petani dan nelayan
harus berkorban untuk memberi makan para mereka, para intelektual mesti
dihujat karena tidak berani berada di garis depan pertempuran. Seluruh
bangsa harus menghamba pada penyelemat bangsa ini. Begitulah garis besar
narasi historiografi a la Orde Baru.
Warisan dua model sejarah inilah—Indonesia sentris dan
militeristis—membuat distorsi besar-besaran pada informasi sejarah dan
memengaruhi pemikiran banyak orang Indonesia, tak terkecuali tentunya,
para sejarawan sendiri. Tapi bukan cuma tabiat berpikir seperti ini yang
mereka wariskan kepada kita. Kedua versi historiografi ini masih
menyimpan efek lain yang jauh lebih parah dari sekadar distorsi
informasi: mereka berwatak menunggalkan kebenaran.
Hasilnya, bagi sejarah resmi Orde Lama, sumber sejarah dari Belanda
mesti selalu dicurigai, sejarah di masa ini cenderung menarik garis
tegas antara kawan dan musuh di tapal batas negara. Sejarah jenis ini
buta akan peran para bangsawan dalam membantu langgengnya kolonialisme
di Hindia Belanda dan menutup mata terhadap peran orang-orang Belanda
radikal seperti Sneevliet dan Multatuli dalam mengangkat penderitaan dan
memperjuangkan nasib rakyat terjajah. Historigrafi ini meminta kita
secara totaliter membenci seluruh rakyat Belanda dan Jepang dan
mencintai seluruh orang Indonesia.
Demikianlah, sejarah resmi Orde Baru mengkombinasikan nasionalisme
sentris yang menarik garis kebangsaan sebagai penentu kebenaran:
luar-salah-dalam-benar, dengan watak militerisme yang bertangan besi.
Historiografi Orde Baru menganggap sumber selain, atau tidak senapas
dengan yang dipelajari di sekolah punya bibit makar. Sejarah alternatif
terlalu sering dianggap musuh yang harus ditumpas dengan kekuatan
militer, bukan sebagai bahan debat ilmiah yang bisa memperkaya
pengetahuan tentang masa lalu.
Selain itu, kedua tradisi historiografi ini cederung menggunakan
tangan kekuasaan sebagai penentu arah sejarah, menentukan bagaimana
sejarah dituturkan, dan tema apa yang layak dan tidak layak untuk
dimasukkan dalam tulisan sejarah formal. Oleh karena itu mereka menulis
sejarah dari atas, sehingga tak heran bila kisah-kisah sejarah yang kita
baca di sekolah adalah sejarah tentang penguasa, atau bagaimana
penguasa itu merebut kekuasaan dari penguasa sebelumnya. Sejarah
tokoh-tokoh yang membungkam aktor selain ’tokoh-tokoh sejarah’ resmi
yang berperan juga berperan penting. Akhirnya yang terbentuk adalah
sejarah tentang ’perjuangan (fisik)’ dalam proses menemukan kembali
Indonesia ’yang hilang’ selama masa kolonial. Sejarah jenis ini lupa
bahwa semua orang adalah tokoh sejarah, semua tempat adalah tempat
bersejarah, semua peristiwa adalah peristiwa bersejarah, dan seterusnya.
Kembali ke Cummings, di salah satu bagian bukunya, ia menyinggung
secara singkat pentingnya historiografi tentang Gowa untuk mengusulkan
Sultan Hasanuddin sebagai pahlawan nasional Indonesia. Padahal, Raja
Gowa yang satu ini justru yang membawa Gowa kalah perang dari VOC.
Pelabuhan Makassar telah lama diincar oleh kompeni dari Belanda
itu, namun kakek dan ayah Sultan Hasanuddin memerintah dengan sukses
kerajaan ini sehingga VOC yang sudah menyerang berkali-kali tidak mampu
menembus kekuatan militernya untuk memancangkan monopoli. Barulah di
masa Sultan Hasanuddin, yang menurut beberapa catatan yang banyak
disangkal sejarawan lokal, tidak terlalu cerdas dan suka
bersenang-senang, Kerajaan Gowa bertekuk lutut. Sejak saat itu, tulis
Cummings, penulisan sejarah di Kerajaan Gowa terhenti: sebab masa
keemasan kerajaan berpenutur Makassar itu telah runtuh dan masa suram
tak pantas masuk catatan.
Itu terjadi tahun 1667. Keputusan Presiden Nomor 87 menyatakan sang
Sultan sebagai Pahlawan Nasional, terbit tahun 1973. Sejak saat itu,
sultan yang hidup di abad ke tujuhbelas ini menjadi ‘orang Indonesia’,
negara yang baru terbentuk nyaris tiga abad kemudian. Tentu pengakuan
ini tak terlepas dari peran para sejarawan, seperti Patunru, yang
menyediakan bahan baku bagi upaya politis memasukkan sejarah lokal dalam
historiografi resmi Indonesia. Tentu (re)produksi sejarah versi
Indonesia pasca-kolinial ini juga bisa merasuki pikiran Edward dan
Mukhlis. Bukankah Indonesiadi masa itu—masa dimana Edward dan Mukhlis
hidup dan menulis historiografinya—dibangun di atas pondasi politik ala
moderen: Negara Bangsa?
Namun, lagi-lagi masih ada yang terasa kurang di sini. Memang I
Sangkilang harusnya adalah tokoh yang ada secara rasional-empirik, namun
secara bersamaan dia juga tak boleh berasal dari sumber seperti tulisan
Tideman. Ia mesti ada secara rasional namun asalnya harus tetap kabur
karena sumber tulisan orang Belanda menganggapnya seorang budak
avonturir, dan sumber naskah lokal, yang seharusnya memuat sesuatu yang
lebih benar, belum juga ditemukan.Tetapi mengingat Edward dan Mukhlis
cukup banyak menggunakan sumber-sumber VOC dalam Batara Gowa, tentu tidak dengan alasan yang mudah mereka menafikan teori Tideman.Tentu
mereka membiarkan identitas I Sangkilang berada dalam teka-teki setelah
menimbang sumber lain yang menantang Tideman yang mereka kritik di
sepanjang buku. Mungkinkah ini bukan cuma soal pertentangan sumber dan
hegemoni historiografi (traumatik) masa pasca-kolonial?
Untuk itu, lagi-lagi kita harus kembali ke pertanyaan semula, mengapa tidak boleh I Sangkilang berstatus budak?
***
Di sebuah toko bercahaya redup di dekat pasar Rantepao, Tana Toraja,
Kathlyn Adams tengah mencari peta. Baru tiga hari ia tiba disana. Kaset,
jam tangan, pisau lipat, gincu dan bando, memenuhi kios itu. Di tengah
barang jualan itu, dia dikejutkan oleh sang pemilik toko yang mengambil
bangku, mengundangnya duduk, berdiskusi tentang antropologi Tana Toraja,
bersama seorang kawan sang pemilik toko, seorang pria yang diberi nama
samaran Tammu oleh Kathlyn.
Pria berusia limapuluhan itu mulai bicara ketika sang pemilik toko
menghilang di balik pintu menuju bagian belakang tokonya untuk memesan
kopi bagi para tamunya. Ia minta maaf harus menyita waktunya, namun ia
menceritakan sesuatu yang sangat penting. Ia mengaku, sebenarnya mereka
berada dalam satu bis dalam perjalanan dari Makassar ke Toraja dua hari
sebelumnya. Dengan menanyakan kepada penjaga warung tempat mereka
singgah di tengah jalan ia jadi tahu Kathlyn bukanlah turis biasa. Ini
terjadi tahun 1984 ketika pariwisata di Tana Toraja sedang ramai.
Ia mulai:
“Sebagai seorang peneliti antropologi, kau mesti menulis buku tentang identitas dan sejarah yang real
Toraja, yang baik maupun yang buruk. Identitas maksud saya di sini
adalah yang asli dan benar. Saya tidak suka melihat identitas Toraja
disajikan dengan dandanan yang menutupi cacatnya. Sekarang ini,
orang-orang di sini, para ahli budaya lokal, menggunakan tulisannya
untuk menutupi hal-hal yang buruk, yang memalukan—misalnya tentang
adanya penghambaan—dan membesar-besarkan hal-hal yang positif.” Dia
melanjutkan keberatannya dengan berkisah tentang mobilitas dan
manipulasi dalam lapisan sosial masyarakat Toraja.
Kathlyn terkesiap. Ia tahu dari berbagai bacaan dan diskusi dengan
sejawatnya bahwa pembicaraan tentang pelapisan sosial adalah hal yang
sensitif untuk dibicarakan dan orang di hadapannya berbicara keras
tentang perlunya meninjau ulang soal hubungan tuan-hamba di Tana Toraja.[9]
Sekarang kita kembali ke Gowa, menuju Cummings yang sedang berburu
naskah berbahasa Makassar. Seorang pemilik naskah tak membolehkan Djohan
melihat sebuah naskah asli, dia mesti berulang-ulang datang berkunjung
sebelum sang pemilik mengizinkannya menyalin naskah itu. Naskah tersebut
tentang kerajaan Sanrabone, sebuah kerajaan kecil yang menjadi bagian
kerajaan Gowa. Sang pemilik baru mau membagi naskahnya setelah tahu
bahwa Djohan datang atas permintaan Cummings, seorang peneliti dari luar
Makassar, seorang Amerika, yang bermaksud menuliskan sejarah Makassar.
Sang pemilik punya kalkulasi, bila peneliti ini menulis sejarah
Makassar memanfaatkan naskah tersebut, maka kisah masa lalu Sanrabone
akan terpublikasi. Menurut timbangannya, ini bisa mengimbangi perhatian
ekslusif para sejarawan terhadap kerajaan Gowa, yang meredupkan kisah
dari kerajaan-kerajaan Makassar lain di sekitarnya. Sudut pandang inilah
yang menggerakkannya membuat salinan naskahnya untuk diberikan kepada
Cummings melalui Djohan.
Kisah Kathlyn dan Tammu serta Cummings dan Djohan menunjukkan dengan
jelas, kini sudah tercipta hierarki antar daerah yang dulunya
masing-masing berdaulat. Puncak hierarki sudah menjadi pusat: Jakarta.
Relasi ini berjenjang, turun hingga ke desa-desa terjauh dari Jakarta.
Penenggelaman puak yang kemudian harus berada di tepi bangsa ini
menyebabkan orang bisa bertindak dengan cara yang bisa mereka akses.
Tentu tak mungkin versi mereka masuk dalam sejarah resmi atau buku
sekolah yang menunggalkan kebenaran. Pemegang naskah yang ditemui DJohan
atau Tammu tahu hanya dengan membeberkan kisahnya kepada Cummings dan
Kathlyn, versinya bisa diapresiasi dalam buku yang akan tersebar secara
internasional. Sebuah senjata orang-orang kalah, menurut istilah James
Scott.
Kembali ke para penulis Batara Gowa, apakah tindakan menulis
buku sejarah ini bisa kita anggap sebagai senjatanya orang kalah? Saya
harus sangsi. Bersamaan dengan perlawanan terhadap historiografi luar
negeri, datanglah historiografi Indonesia yang mengharuskan seorang
pahlawan berasal dari kalangan elit, lebih banyak mereka adalah kaum
bangsawan yang berperang secara militer. Pencitraan pahlawan seperti ini
menjadi satu wacana tersendiri yang sedikit banyak memengaruhi cara
berpikir para penulis sejarah yang tumbuh di masa Orde Baru. Sehingga
mencurigai Batara Gowa sebagai buku yang membawa tradisi ‘senjata orang kalah’ masih harus dipertanyakan. Sebab Batara Gowa lebih mengikuti pencitraan pahlawan Orde Baru, meski memang kita tidak bisa mencukur habis pandangan bahwa penulisan Batara Gowa
adalah salah satu upaya mencuatkan identitas daerah pinggiran yang
tertekan oleh pusat—meski dengan mengikuti alur narasi pusat yang
manipulatif.
***
Hilmar Farid mengurai sepak terjang Orde Baru memberangus analisis
kelas dari bumi Indonesia, setelah membantai Partai Komunis Indonesia
dan ratusan ribu—bahkan mungkin jutaan—jiwa yang dituduh sebagai
pengikutnya. Dia memang mengakui, belum ada penelitian yang menghitung
jumlah ilmuan yang lenyap karena tak bisa atau tidak boleh pulang dari
luar negeri, tersingkir dari kursi kariernya, menjadi interniran di
pengasingan, mendekam di bui atau malah menjadi korban pembantaian.
Namun yang jelas, analisis kelas telah lenyap dari wacana keilmuan
Indonesia. Bah pemberangusan ‘unsur kiri’ yang dikirim dari Amerika ini
juga telah melumat bangunan-bangunan ilmu sosial kritis di Indonesia.
Imbasnya, dalil-dalil modernitas yang diusung aliran liberal—dan
tentu neo liberal—bukan lagi menjadi salah satu, namun sudah menjadi
satu-satunya paradigma dalam ilmu sosial di Indonesia, menjadi ilmu
sosial itu sendiri. Ini berlangsung dari hulu ke hilir, dari penggantian
istilah yang merujuk pada analisis kelas, hingga perubahan
epistemologis. Kata ‘buruh’ misalnya digantikan dengan ‘karyawan’ dan
‘kelas’ menjadi ‘golongan’. Kampanye penghapusan kelas ini menyebabkan
orang tak melihat adanya ketimpangan antar-kelas. Seruan yang sering
didengungkan adalah isu SARA, Suku-Agama-Ras. Segala konflik selalu
ditunjukkan sebagai konflik suku dan agama. Analisis kelas hilang di
dalam ruang ilmiah, meski banyak temuan para ilmuan sosial membuktikan
keberadaannya. Tak terhitung pula ilmuan yang melakukan sensor diri agar
tak mengalami nasib buruk yang menimpa kawan-kawannya yang bandel.[10]
Kathlyn Adams, menyitir Rita Kipp, menyebutkan bahwa “kebutaan akan
kelas” senantiasa dirawat oleh kebijakan pemerintah yang dengan antusias
mempromosikan identitas etnis dan religius, yang ujungnya mengaburkan
keberadaan kepentingan dan bias kelas di Indonesia. Gencarnya kerja
kementerian agama dan budaya adalah “untuk menjaga agar keberadaan kelas
tidak terlihat.” Demikian kutip Kathlyn.
Lantas apakah hal ini juga menimpa Edward dan Mukhlis? Bisa jadi.
Pengaburan identitas I Sangkilang boleh jadi punya kaitan dengan
hilangnya analisis kelas dalam ilmu sosial Indonesia, terutama di
kampus. Tanpa menyebutkan identitas I Sangkilang, buku Batara Gowa,
membiarkan pembaca awam Indonesia yang telah kehilangan kepercayaan
kepada budak dan analisis kelas untuk kembali ke kebiasaan lamanya;
membaca kekaburan identitas itu sebagai ‘bangsawan yang pulang’:
Messianisme.
Di sini soal lain menyeruak, meski mereka menjelaskan panjang lebar
tentang pelapisan sosial tradisional masyarakat Makassar di masa lalu,
namun sekali lagi, hierarki itu adalah bentukan sosio-kultural, yang
tidak persis sama dengan kelas. Mereka punya konstituen yang beda. Yang
pertama adalah ikatan darah, sementara yang kedua merujuk pada ikatan
ekonomi politik.
Tapi pertanyaan lebih spesifiknya, apakah Edward dan Mukhlis juga tak
begitu mengenal analisis kelas? Teori ini menjadi makin meragukan bila
mengingat buku ini terbit tahun 2002, masa ketika analisis kelas bukan
lagi barang haram. Tetapi dengan melihat teks-teks lain yang dihasilkan
kedua penulis buku Batara Gowa, dalil bahwa pertanyaan kelas telah lenyap dari analisis mereka masih bisa jadi betul.
Di bawah pengaruh Adam Smith, Edward menulis disertasinya tentang
perdagangan bebas di Makassar. Dengan nada menyayangkan ia mengkritik
pemerintah kolonial di abad ke sembilanbelas yang menerapkan aturan
penutupan pelabuhan yang menghambat arus niaga di bandar Makassar yang
berhasil—meski untuk sementara dan hanya bagi pelaku niaga
resmi—merontokkan pasar bebas di kawasan ini. Kota ini akhirnya kalah
bersaing dengan pelabuhan Singapura yang sedang tumbuh. Jelas, dalam
buku ini, dinamika pasar bebas, alur dagang, keuntungan kapitalis
menjadi sorotan utama Edward. Semuanya adalah ajaran Adam Smith.
Adam Smith, dalam The Wealth of Nation, mengarahkan
analisisnya lebih kepada aktor Eropa daripada para tuan rumah di tanah
jajahan. Sehingga, misalnya, ia kurang memperhatikan kondisi budak
(melainkan cuma nilai tukarnya), perubahan politik lokal (melainkan cuma
komoditas yang datang darinya). Ini membuat Edward kurang meninjau
keadaan politik lokal sebagai faktor inheren dalam dinamika perdagangan
internasional—pasar bebas. Ia melihatnya sebagai faktor penghambat ‘di
luar’ siklus ‘pasar bebas’ yang digambarkan sebagai entitas terpisah
dari tanah jajahan.
Sementara Mukhlis, ia banyak menulis analisis sejarah dan budaya yang
bersih dari pertanyaan kelas. Tesisnya berkisah tentang perubahan
struktur jabatan dalam pemerintahan kerajaan Gowa pada masa jayanya.
Sama sekali steril dari analisis historis yang Marxis. Dia cuma
menceritakan penambahan jumlah kursi kepemimpinan kerajaan dan
implikasinya, misalnya dengan masuknya pengaruh Islam. Hal yang cukup
aneh sebab di sebuah lembaga penelitian di lingkungan Universitas
Hasanuddin, ia cukup lama bekerjasama dengan Kathryn Robinson, seorang
peneliti antropologi berkebangsaan Australia yang menulis disertasinya
tentang masyarakat di sekitar tambang nikel Inco di Soroako, dengan
menggunakan kerangka analisis berperangai Marxis.[11]
***
Lenyapnya status I Sangkilang akhirnya bisa juga dikaitkan dengan
kebiasaan di banyak masyarakat tradisional yang gemar mengangkat
penguasa yang datang dari luar.
Mengambil sebagian besar contoh dari berbagai daerah di Sulawesi,
Caldwell dan Henley antara lain menunjukkan kemanjuran “penguasa orang
asing” terjadi karena mereka dianggap lebih tidak memihak dan sebaliknya
mudah digantikan karena tak terikat pada siapa-siapa. Mereka bisa
melakukan kontrak sosial yang diikuti dengan taat oleh kedua pihak
karena masing-masing saling bergantung. Penguasa butuh dihidupi, rakyat
butuh perlindungan hukum. Tradisi ini bahkan berpotensi menjadikan orang
biasa sebagai bangsawan penguasa. Bila ia bisa menjadi orang asing di
tempat lain, maka ia punya peluang menjadi penguasa. Di masyarakat Bugis
awal dikenal tomanurung yang datang mendamaikan masa kacau
tujuh generasi di mana orang saling ‘memakan’ seperti ikan besar
memangsa ikan kecil; dan di Sulawesi Utara, Belanda menjadi “penguasa
orang asing” yang sangat berguna mendamaikan kelompok-kelompok kerabat
yang mudah terlibat konflik. [12]
Dengan demikian, naskah sumber yang menjadi sandaran para penulis Batara Gowa,
bila ia berasal dari naskah lokal seperti yang dimanfaatkan Patunru,
memang berpotensi mengaburkan identitas penguasanya meskipun ia hanya
pemimpin sementara.
Nah, mari kita kembali ke pertanyaan awal, mengapa secara spesifik Batara Gowa
tidak merujuk pada Tideman dalam soal identitas I Sangkilang. Mengapa
terjadi seleksi ketika mereka melakukan ‘kritik sumber’ terhadap
Tideman, yaitu melewatkan bagian tentang identitas I Sangkilang? Lebih
spesifiknya, mengapa ketika Batara Gowa menyajikan versi cerita
tentang kedatangan I Sangkilang, ia tidak menimbang keberadaan versi
lain yang ditulis Tideman? Kecurigaan berlebih terhadap sumber sejarah
dari Belanda ditambah tabiat yang menuntun pemikiran bahwa tokoh
pahlawan selalu harus bangsawan, menunjukkan kedigdayaannya di sini.
Setelah menimbang berbagai kemungkinan di atas, saya ingin mengakhiri
bagian ini dengan cara realistis. Bila tak ada naskah tantangan yang
cukup kuat atau bantahan berupa tafsiran dengan informasi yang memadai
tentang status I Sangkilang, mengapa kita tak sisihkan dulu keengganan
Edward dan Mukhlis mengakui identitas tokoh historis kita. Kita gunakan
saja teori yang belum terbantahkan hingga kini—setelah satu abad Tideman
menulis artikelnya—bahwa I Sangkilang adalah budak.
***
Sepucuk surat tiba di Batavia pada 29 Mei 1807, dikirim dari Kolombo, Sri Lanka.[13]
Surat tiga puluh dua baris itu beraksara Arab gundul, berbahasa Melayu,
dengan kertas dan tinta Eropa, yang kelak tersimpan di rak,
Universiteitbibliotheek, perpustakaan Universitas Leiden. Surat ini
ditulis lebih lima bulan sebelumnya, 3 Januari, oleh Siti Hapipa, ibu
dua belas orang anak yang meminta VOC membayarkan utangnya yang semakin
menumpuk. Suaminya sudah meninggal tujuh tahun sebelumnya, 25 Januari
1795, pada sebuah siang di rumah Gubernur Johan Gerard van Angelbeek di
Kolombo. Suaminya meninggalkan banyak utang.
Siti Hapipa juga meminta agar, jika memungkinkan, ia dipulangkan oleh
kompeni ke Batavia, sebab pemerintahan kolonial Inggris yang berkuasa
di Kolombo saat itu setiap saat (sejak 1796) bisa menyita harta kemudian
memenjarakannya karena utang yang membengkak. Tunjangan yang hanya 50
riyal per bulan tidak mencukupi kebutuhan keluarga besar dengan dua
belas anak dan cucu-cucu, sehingga ia harus terus mengutang.
Siti Hapipa adalah isteri Sultan Fakhruddin Abdul Khair alias Amas
Madina, Batara Gowa—sultan Gowa ke-26 yang diasingkan VOC pada April
1767. Sebagai raja buangan ia tidak hanya mendapatkan tunjangan
keluarga, sebagaimana para bangsawan Nusantara lain yang dibuang ke Sri
Lanka. Selain itu, ia dan terutama putra-putranya terlibat dalam pusaran
politik dan perang kolonial di Ceylon. Lima atau enam orang putranya,
jika merujuk pada dua sumber, gugur dalam dua perang: Perang Polygar di
selatan India 1800 dan Perang Anglo-Kandyian di Sri Lanka 1803.
Empat sebagai kapten pasukan di pihak Inggris, seorang membelot
pemimpin pasukan di pihak kesultanan Kandy—sangat mungkin mereka semua
sudah mendaftar ke pasukan ‘Melayu’ yang dibentuk pemerintah kolonial
VOC pada tahun 1782. Akhirnya, fakta bahwa ia meninggal ketika tengah
berkunjung di rumah Gubernur VOC di Kolombo menunjukkan kedekatannya
dengan pemerintahan Belanda.
Surat ini menunjukkan dengan cukup kukuh bahwa sang Batara Gowa tidak
pernah pulang kampung, apa lagi mengobarkan perlawanan terhadap
Kompeni. Lantas apakah kita akan segera menuding Mukhlis dan koleganya,
para penulis Batara Gowa, sebagai sejarawan yang kurang
kompeten? Jawabannya, tentu saja, tidak. Sebab artikel ini baru muncul
tahun 2008, atau enam tahun setelah Batara Gowa dicetak. Mereka
mungkin menyimpan bias tertentu terhadap status I Sangkilang,
sebagaimana coba saya tunjukkan di atas, namun para sejarawan tak dapat
dituduh demikian hanya karena sebuah sumber yang baru ditemukan.
[1] Mukhlis Paeni dkk., 2002, Batara Gowa, Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar, Gajah Mada University Press.
[2] Thomas Gibson, 2005, And the Sun Pursue the Moon; Simbolic knowledge and traditional authority among the Makassar, University of Hawai’i Press.
[3] J. Tideman, 1908, “De Batara Gowa op Zuid-Celebes,” Bijdragen tot de Taal, Land, en –Volkenkunde.
[4] Abdulrazak Daeng Patunru, 1983, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
[5] William Cummings, 2002, Making Blood White, History Transformation in Early Moderen Makassar, University of Hawai’i Press.
[6] Mukhlis Paeni dan Kathryn Robinson,2005,Tapak-Tapak Waktu; kebudayaan, sejarah dan kehidupan social di Sulawesi Selatan(terj. Living Through Histories)
[7] Asvi Warman Adam, 2005, “History, Nationalism, and Power”, dalam Daniel Dhakidae dan Vedi Hadiz, Social Science and Power in Indonesia.
[8] Katharine McGregor, 2007, History in Uniform; military ideology and the construction of Indonesia’s past. ASAA-KITLV, Leiden.
[9] Kathlyn Adams, 2006, Art as Politics; re-crafting identities, tourism, and power in Tana Toraja, terbitan Hawai’i University Press
[10] Hilmar Faried, 2005, “The Class Question in Indonesia Social Sciences”, dalam Dhakidae dan Hadiz, Op. Cit.
[11] Hasil penelitian ini kemudian terbit menjadi buku, Kathryn Robinson, 1986, Stepchildren of Progress, the political economy of development in an Indonesian mining town, New York University Press.
[12] Ian Caldwell dan David Henley, ‘Kings and Convenants: Stranger-king and social contract in Sulawesi’, Indonesia and the Malay World, Juli 2008
[13]
Bagian ini sepenuhnya bergantung pada satu artikel: Suryadi, 2008,
“Sepucuk surat dari seorang bangsawan Gowa di tanah pembuangan
(Ceylon)”, Wacana, Vol.10 No. 2 (hlm 214-245)