asal usul kerajaan galesong
Proses penunjukan Kare melalui musyawarah orang-orang tua atau sejumlah
tokoh masyarakat. Beberapa tahun berlangsungnya pemerintahan Sombaya ri
Gowa atau Kerajaan di Gowa, terbentuklah Tabbala Pabundu yang dimaknai
sebagai kekuasaan pertahanan di perairan Gowa dan Galesong.
Mulai saat itu, tepatnya abad XVI, terbentuklah Kerajaan Galesong yang dinakhodai Mattinroa Ri Bobojangan. Galesong yang awalnya dirancang menjadi pelabuhan niaga di samping sebagai pelabuhan pemecah ombak dari Pulau Sanro Bengi, berperan sebagai basis pertahanan pantai dari pemerintahan Sombaya Ri Gowa.
Atas kekokohan pertahanan yang terbangun di Kerajaan Galesong, Sombaya Ri Gowa membina kesatuan dengan Karaeng Galesong untuk melawan kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulsel.
"Nama Raja Galesong, Mattinroa Ri Bobojangan, sebenarnya bukan nama yang sesungguhnya, tapi gelar. Sebab, kala itu nama asli raja dilarang untuk disebut atau dikenal khalayak. Yang jelas, beliau adalah keluarga dekat dari I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape atau Sultan Hasanuddin," papar Karaeng Tompo.
"Berdasarkan yang tercatat dalam lontara, gelar Mattinroa Ri Bobojangan disandangnya karena beliau mangkat dan dikebumikan di suatu tempat yang bernama Bobojangan. Nama itu pun terus melekat dan menjadi hal yang sangat sakral," lanjutnya.
Terkait berdirinya Kerajaan Galesong tersebut, Karaeng Tompo, menceritakan asal mula keberadaan gaukang Karaeng Galesong yang bermula dari temuan gaib salah seorang papekang (pemancing), pada masa kepemimpinan Karaeng Galesong III, Karaeng Bontomarannu yang diteruskan I Djakkalangi Daeng Magassing.
Suatu ketika, pappekang tersebut menghadap kepada salah seorang tokoh masyarakat, Daengta Lowa-Lowa, di kampung Ujung di sekitar pesisir Pantai Galesong bahwa dirinya telah dua kali diperlihatkan peristiwa gaib pada saat memancing di tengah laut. Peristiwa yang dialami pappekang tersebut, dua Jumat berturut-turut.
Temuan gaib pappekang itu berupa, bunyi-bunyian dari suara khas gendang, royong, pui-pui, lesung, dan berbagai suara lainnya. Suara itu pun terkadang dirasakannya sangat dekat dan adakalanya sayup-sayup.
Tanpa diketahuinya seiring matahari terbit, dari utara sebuah benda aneh semacam potongan bambu abu-abu tiba-tiba muncul dan kemudian hilang sekejap dari hadapannya.
Hilangnya benda tersebut, pappekang ini juga mengaku kalau bermacam-maca suara gaib yang didengarnya sontak menghilang. Dari laporan inilah, Daengta Lowa-Lowa, kemudian mengklaim bahwa peristiwa tersebut kemungkinan rahmat dari Allah SWT yang ditujukan untuk kemaslahatan Galesong dan masyarakatnya.
Menurut dia, peristiwa yang dialami pappekang juga dialami Daengta Lowa-Lowa, yang ikut memancing karena penasaran akan informasi tersebut. Kemudian, temuan itu juga disampaikan Daengta Lowa-Lowa kepada tokoh masyarakat lainnya yaitu, Boe Janggo, yang pada pekan depannya melaut untuk menelusuri asal muasal suara tersebut.
Mulai saat itu, tepatnya abad XVI, terbentuklah Kerajaan Galesong yang dinakhodai Mattinroa Ri Bobojangan. Galesong yang awalnya dirancang menjadi pelabuhan niaga di samping sebagai pelabuhan pemecah ombak dari Pulau Sanro Bengi, berperan sebagai basis pertahanan pantai dari pemerintahan Sombaya Ri Gowa.
Atas kekokohan pertahanan yang terbangun di Kerajaan Galesong, Sombaya Ri Gowa membina kesatuan dengan Karaeng Galesong untuk melawan kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulsel.
"Nama Raja Galesong, Mattinroa Ri Bobojangan, sebenarnya bukan nama yang sesungguhnya, tapi gelar. Sebab, kala itu nama asli raja dilarang untuk disebut atau dikenal khalayak. Yang jelas, beliau adalah keluarga dekat dari I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape atau Sultan Hasanuddin," papar Karaeng Tompo.
"Berdasarkan yang tercatat dalam lontara, gelar Mattinroa Ri Bobojangan disandangnya karena beliau mangkat dan dikebumikan di suatu tempat yang bernama Bobojangan. Nama itu pun terus melekat dan menjadi hal yang sangat sakral," lanjutnya.
Terkait berdirinya Kerajaan Galesong tersebut, Karaeng Tompo, menceritakan asal mula keberadaan gaukang Karaeng Galesong yang bermula dari temuan gaib salah seorang papekang (pemancing), pada masa kepemimpinan Karaeng Galesong III, Karaeng Bontomarannu yang diteruskan I Djakkalangi Daeng Magassing.
Suatu ketika, pappekang tersebut menghadap kepada salah seorang tokoh masyarakat, Daengta Lowa-Lowa, di kampung Ujung di sekitar pesisir Pantai Galesong bahwa dirinya telah dua kali diperlihatkan peristiwa gaib pada saat memancing di tengah laut. Peristiwa yang dialami pappekang tersebut, dua Jumat berturut-turut.
Temuan gaib pappekang itu berupa, bunyi-bunyian dari suara khas gendang, royong, pui-pui, lesung, dan berbagai suara lainnya. Suara itu pun terkadang dirasakannya sangat dekat dan adakalanya sayup-sayup.
Tanpa diketahuinya seiring matahari terbit, dari utara sebuah benda aneh semacam potongan bambu abu-abu tiba-tiba muncul dan kemudian hilang sekejap dari hadapannya.
Hilangnya benda tersebut, pappekang ini juga mengaku kalau bermacam-maca suara gaib yang didengarnya sontak menghilang. Dari laporan inilah, Daengta Lowa-Lowa, kemudian mengklaim bahwa peristiwa tersebut kemungkinan rahmat dari Allah SWT yang ditujukan untuk kemaslahatan Galesong dan masyarakatnya.
Menurut dia, peristiwa yang dialami pappekang juga dialami Daengta Lowa-Lowa, yang ikut memancing karena penasaran akan informasi tersebut. Kemudian, temuan itu juga disampaikan Daengta Lowa-Lowa kepada tokoh masyarakat lainnya yaitu, Boe Janggo, yang pada pekan depannya melaut untuk menelusuri asal muasal suara tersebut.