Makam Karaeng Galesong
Makam Karaeng Galesong di Jawa Timur-Ngantang
Sejarah menuturkan, perjuangan Karaeng Galesong berlanjut ke tanah Jawa.
Ia berlabuh di wilayah timur pulau Jawa dengan jumlah pasukan yang
besar. Belum ada data yang jelas namun ada yang mengatakan lebih dari
4.000 prajurit. Di masa itu di wilayah Jawa Timur terdapat dua penguasa
besar dan ditakuti, yakni Adipati Anom di Mataram dan Trunojoyo di
Madura. Kedua penguasa besar ini saling bermusuhan. Karaeng Galesong
diakrabi oleh Trunojoyo dan mendapat restu menikahi keponakan Trunojoyo.
Pelarian Karaeng Galesong ke tanah Jawa dikarenakan kekalahan kerajaan
Gowa oleh Belanda pada tahun 1669. Ia tidak ingin berada di bawah
jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama
beberapa kerabat kerajaan. Mereka antara lain Karaeng Tallo Sultan
Harunnarrasyid Tumenanga ri Lampana dan Daeng Mangappa, saudara kandung
Karaeng Tallo. Dua lainnya paling terkenal adalah Karaeng Galesong
Tumenanga Ritappana, dan Karaeng Bontomarannu Tumma Bicara Butta Gowa
Sebelum perkawinan Karaeng Galesong, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukannya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah Belanda, Degraff, Karaeng Galesong berhasil mengobrak-abrik pasukan Adipatai Anom yang kemudian lari ke jawa Tengah.
Menurut catatan sejarah, pada 21 November 1679 sang panglima wafat di daerah Ngantang Kabupaten Malang. Kisah kematiannya diperoleh sejarawan Leonard Andaya dari Kolonel Archief, yang catatannya sekarang masih tersimpan rapi di Denhaag.
Sebelum perkawinan Karaeng Galesong, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukannya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah Belanda, Degraff, Karaeng Galesong berhasil mengobrak-abrik pasukan Adipatai Anom yang kemudian lari ke jawa Tengah.
Menurut catatan sejarah, pada 21 November 1679 sang panglima wafat di daerah Ngantang Kabupaten Malang. Kisah kematiannya diperoleh sejarawan Leonard Andaya dari Kolonel Archief, yang catatannya sekarang masih tersimpan rapi di Denhaag.
Abadi di Ngantang
Adalah Ngantang, sebuah daerah di kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang karaeng. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman nampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.
Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang dijalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.
Bugis Makassar di Malang
Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS Malang Raya) dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi-Selatan (IKAMI Sul-Sel Cab. Malang) mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong.
Salah satu artikel di buletin Anging Mamiri yang diterbitkan oleh KKSS Malang raya, Salahauddin Basir menuliskan bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo, motor pergerakan Budi Utomo masih merupakan keturunan Galesong. Pada tahun 60-an, seorang guru besar di Universitas Gajah Mada bernama Prof. Mr.Djojodiguno, pakar hukum yang terkenal, sering bertutur kepada mahasiswanya bahwa ia berdarah Makassar, merupakan keturunan Karaeng Galesong. Tentu kita juga masih ingat, Setiawan Djodi, seniman dan budayawan yang dinobatkan sebagai keturunan Karaeng Galesong beberapa tahun lalu.
Tepatnya di Desa Kaumrejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang,Jawa Timur (kira-kira 50km arah barat laut kota Malang), Dan menurut catatan di koran tersebut (lupa bawa karena ketinggalan di kampung), Karaeng Galesong adalah putra dari Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur yang melarikan diri ketika kerajaan Gowa/Bone dikalahkan Belanda dan melarikan diri ke tanah Jawa. Keberadaannya baru diketahui ketika ada upaya menjadikan Karaeng Galesong ini sebagai pahlawan nasional. Sampai-sampai data tentang desa tempat dia mengasingkan diri dicari sampai di buku-buku peninggalan Belanda di Musium Leiden.
Disebut Karaeng Galesong menetap dan dimakamkan di desa Hantang (sekarang Ngantang), beliau oleh warga setempat dipanggil Mbah Raja/Rojo. Dan benar tidaknya dia ini berasal dari Sulawesi Selatan telah dibenarkan oleh cicit Raja Bone terakhir yang akhirnya makam itu direnovasi oleh Pemerintah Daerah Bone dan kepala desa Kaumrejopun mendapat berkah dari situ karena diundang terbang ke Bone, Sulawesi Selatan sebagai wujud penghormatan atas terpeliharanya makam Mbah Raja alias Karaeng Galesong ini.
Adalah Ngantang, sebuah daerah di kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang karaeng. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman nampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.
Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang dijalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.
Bugis Makassar di Malang
Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS Malang Raya) dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi-Selatan (IKAMI Sul-Sel Cab. Malang) mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong.
Salah satu artikel di buletin Anging Mamiri yang diterbitkan oleh KKSS Malang raya, Salahauddin Basir menuliskan bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo, motor pergerakan Budi Utomo masih merupakan keturunan Galesong. Pada tahun 60-an, seorang guru besar di Universitas Gajah Mada bernama Prof. Mr.Djojodiguno, pakar hukum yang terkenal, sering bertutur kepada mahasiswanya bahwa ia berdarah Makassar, merupakan keturunan Karaeng Galesong. Tentu kita juga masih ingat, Setiawan Djodi, seniman dan budayawan yang dinobatkan sebagai keturunan Karaeng Galesong beberapa tahun lalu.
Tepatnya di Desa Kaumrejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang,Jawa Timur (kira-kira 50km arah barat laut kota Malang), Dan menurut catatan di koran tersebut (lupa bawa karena ketinggalan di kampung), Karaeng Galesong adalah putra dari Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur yang melarikan diri ketika kerajaan Gowa/Bone dikalahkan Belanda dan melarikan diri ke tanah Jawa. Keberadaannya baru diketahui ketika ada upaya menjadikan Karaeng Galesong ini sebagai pahlawan nasional. Sampai-sampai data tentang desa tempat dia mengasingkan diri dicari sampai di buku-buku peninggalan Belanda di Musium Leiden.
Disebut Karaeng Galesong menetap dan dimakamkan di desa Hantang (sekarang Ngantang), beliau oleh warga setempat dipanggil Mbah Raja/Rojo. Dan benar tidaknya dia ini berasal dari Sulawesi Selatan telah dibenarkan oleh cicit Raja Bone terakhir yang akhirnya makam itu direnovasi oleh Pemerintah Daerah Bone dan kepala desa Kaumrejopun mendapat berkah dari situ karena diundang terbang ke Bone, Sulawesi Selatan sebagai wujud penghormatan atas terpeliharanya makam Mbah Raja alias Karaeng Galesong ini.