To Manurung di Maros


A.    To Manurung di Maros
Di Maros, pada masa “Sianre Bale”, kehidupan masyarakat sangat kacau, tanaman tidak ada yang membuahkan hasil, penyakit menular mewabah dimana-mana, yang kelihatan keadaan ini berlangsung dalam suasana yang runyam seabab tiada tanda-tanda kapan akan berakhir.
Suatu hari di suatu wilayah perkampungan bernama Pakere, Ketua Kaum yang bergelar Gallarang Pakere, yaitu pemimpin masyarakat di daerah tersebut memimpin orang-orang yang masih memiliki semangat hidup untuk memohon kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) agar mereka diberi seorang pemimpin yang dapat menghantar mereka keluar dari zaman kegelapan itu kepada zaman yang lebih baik. Tidak pernah bosan mereka bermunajat dengan tiada memilih waktu, pagi, siang, dan malam begitu seterusnya.
Hari berganti hari, bahkan minggu berganti minggu hingga pada suatu ketika turun hujan yang sangat lebat, kilat dan peitr meraung-raung membelah angkasa. Langit hitam kelam seakan tidak tertembus cahaya matahari. Keadaan seperti ini berlangsung selama sepekan. Paniklah penduduk Pakere, disangkanya adzab Dewata justru dating untuk memusnahkan kehidupan mereka. Mereka akhirnya jadi pasrah, seakan tak berdaya melihat kemurkaan alam pada saat itu.
Namun tanpa mereka duga, disaat mereka pasrah menerima apa yang akan terjadi, hujan justru tiba-tiba berhenti, langit berubah cerah dan terang benderang. Sinar matahari menyengat seakan tak pernah terjadi apa-apa, tanah kering dan tak ada genangan air atau tanah becek berlumpur akibat hujan. Dalam keheran-heranan, penduduk keluar dari rumahnya masing-masing dan pada saat seluruh penduduk keluar, tampak pula secara tiba-tiba dari kejauhan di tengah-tengah sebuah padang berdiri sebuah Saoraja (Istana) yang sangat indah dan besar. Entah siapa yang membangunnya dan sejak kapan berdirinya, sebab sebelumnya di tempat dimana Saoraja itu berdiri hanyalah sebuah padang yang ditumbuhi ilalang liar, tempat penduduk menggembalakan ternaknya.
Dengan dipimpin oleh Gallarang Pakere penduduk serentak bergerak menuju kesana. Betapa herannya mereka semua ketika melihat di depan Sapana (Tangga Istana/Saoraja) tersebut, seorang lelaki muda berwajah tampan bersih dan berwibawa duduk di atas sebuah kursi bamboo. Badannya keras berotot, di kepalanya bertengger sebuah Lingkayo (semacam Mahkota) terbuat dari emas, pakaiannya merah menyala berhias kalung garuda di dadanya. Di kedua tangannya melilit sepasang gelang berbentuk naga yang juga terbuat dari emas. Di pinggang bagian depan terselip sebilah keris berhulu emas dan berantakan permata aneka warna. Di pangkuannya tersandar sebilah alameng (kalewang) yang gagangnya terbuat dari kayu hitam mengkilat, warangkahnya terbuat dari kayu cendana berlurik kulit harimau. Tatapannya  tajam memancarkan kewibawaan, namun kelihatan bibirnya tersungging penuh kharisma melihat penduduk berdatangan mendekat di depannya.
Menyembahlah Gallarang Pakere diikuti oleh semua yang menyertainya. Setelah disuruh bangkit, Gallarang Pakere lalu bertanya tentang siapa dirinya, lalu dijawab bahwa dirinya adalah seorang To Manurung. Gallarang Pakere lalu kembali menyembah dan memohon perkeanaannya untuk menetap dan bersedia diangkat sebagai Raja yang memimpin mereka dalam bermasyarakat. Maka terjadilah dialog yang meripakan kontrak penjanjian antara Gallarang Pakere atas anama seluruh rakyatnya dengan To Manurung itu, disepakatilah bahwa To Manurung di Pakere diangkat menjadi Raja dengan gelar Karaeng LoE ri Pakere, gelar yang dipilihnya sendiri.
Sejak kedatangan Karaeng LoE ri Pakere kehidupan rakyat berubah total. Peraturan hidup kemasyarakatan mulai ditegakkan. Mereka diwajibkan saling menghormati hak asasi masing-masing, tidak lagi saling merampas seperti keadaan sebelumnya pertanian menjadi subur dan member hasil yang melimpah ruas.
Karaeng LoE ri Pakere sangat rajin memimpin rakyatnya mengolah sawah dan ladang. Diberinya petunjuk cara menanam dan memilih bibit tanaman yang baik. Karaeng LoE ri Pakere bebar-benar menciptakan tatanan hidup bermasyarakat secara teratur sehingga rakyat hidup sejahtera, aman, dan sentausa.
Pada awalnya wilayah kekuasaan Karaeng LoE ri Pakere hanyalah meliputi Kampung Pakere, Banyo, Rumbia dan sekitarnya. Selanjutnya setelah peran dan kemampusn Karaeng LoE ri Pakere memimpin rakyat dan memajukan kerajaannya, maka banyaklah Ketua-Ketua Kaum/ Kepala-Kepala Kampung (Gallarang/Matowa) yang dating untuk mangabdi kepadanya sekaligus memaklumkan wilayahnya sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Karaeng LoE ri Pakere, sehingga pada akhirnya menjadi luad dan berkembang pesat. Berita itu tentunya membias ke sekitar wilayah Kerajaan  Karaeng LoE ri Pakere, yaitu sampai kek Kerajaan Bone, Bone, dan Polongbangkeng. Akhirnya Karaeng LoE ri Pakere menjalin hubungan persahabatan dan tidak saling menyerang dalam bentuk traktat  perjanjian tertulis antara Karaeng LoE ri Pakere dengan I Daeng Manguntungi Karaeng Tumapa’risi Kallongna (Raja Gowa IX), La Olio Bite-e (Raja Bone), dan Karaeng LoE ri Bajeng (Raja Polongbangkeng I). Maka sejak kejadian itu terciptalah sebuah Kerajaan yang cukup ternama di Maros di bawah pemerintaha Karaeng LoE ri Pakere.
Naskah perjanjian yang dilakukan oleh Karaeng LoE ri Pakere dengan 3 orang Raja dari Kerajaan Gowa, Bone, dan Polongbangkeng, menurut Alm. H. A. Sirajoeddin dg.  Maggading Karaeng Simbang XII menjadi salah satu dari regalia/kalompoang Kerajaan Simbang.

Postingan populer dari blog ini

teks panjang Aru Tubaraniya Ri Gowa

SILSILAH RAJA-RAJA GOWA

KELONG TAU RIOLO (AGAMA)