Kare I Yuseng Daeng Mallingkai krturunan karaeng polong bangkeng
Sekitar tahun 1860, Kare I Yuseng Daeng Mallingkai menjabat sebagai
kepala pemerintahan Bontonompo dengan kalompoang dan atau benda pusaka
kerajaan yang berada padanya di sebut Jimaka. Kalompoang ini adalah
panji atau bendera kerajaan Bontonompo kain sutera berwarna biru yang
bertuliskan ayat kursi yang menurut riwayat berasal dari Arung Lemo
Apek, seorang penganjur agama Islam di Bone.
Dalam perjalanan pemerintahannya, Kare I Yuseng Daeng Mallingkai menilai
bahwa kepemimpinan Sombaya ri Gowa atau kaisar Gowa sudah tidak
berpihak kepada rakyat Gowa. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja
Gowa ke 32, I Kumala Karaeng Lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Mohammad
Aidit. Ia menilai, sang kaisar lebih memenuhi kepentingan kolonial
Belanda dalam setiap kebijakan politiknya dibanding terhadap rakyat
Gowa.
Kare I Yuseng pun mulai menjalin kekuatan dengan sesama raja bawahan dan
atau disebut Karaeng palili yang se ide dengannya. Seperti Gallarrang
Mangngasa Mannyereang Daeng Serang, Gallarrang Songkolo Garancing Daeng
Ma’lala, yang biasa disebut Bapak Peto’, dan Gallarrang Moncong Loe
“Apabang”. Para Karaeng Palili ini kemudian memproklamirkan perlawanan
terhadap kerajaan Gowa.
Di tahun 1868, di bawah panji Jimaka, Kare I Yuseng mengerahkan pasukan
atau Tu barani Bontonompo untuk melakukan perlawanan dengan tujuan
mengembalikan kepemimpinan Gowa agar dipimpin oleh pemimpin yang pro
terhadap rakyat dan tidak berpihak kepada kolonial Belanda. Bersama
dengan para tokoh terkemuka termasuk Calla karaeng Borong yang merupakan
Putera Batara Gowa Karaengta Data, yang saat itu menjadi Karaeng
(Regent) Tanralili saling bahu-membahu mengobarkan perlawanan.
Pihak Kerajaan Gowa, tetap bersikukuh tidak ingin berpaling dari
Belanda, maka perang pun tak terhindarkan, dan pecahlah perang yang
lazim disebut sebagai “Bundu ri Mangngasaya” atau perang Mangngasa,
dengan kekuatan penuh dari sejumlah pimpinan kerajaan bawahan, mereka
terus mengadakan perlawanan. Pihak Sombaya ri Gowa mulai kewalahan
menghadapi serangan para patriot anti Belanda ini.
Para pejuang selangkah demi selangkah terus mendekati pusat pertahanan
Gowa. Khawatir akan menerima kekalahan, dan untuk mempertahankan mahkota
dan posisisnya sebagai somba, pihak Gowa yang dibantu oleh pasukan
senjata api kolonial Belanda berusaha keras untuk meredam aksi heroisme
Kare I Yuseng dan kawan-kawan. Memang tidak dapat dipungkiri, setelah
kemenangan Belanda atas Sultan Hasanuddin yang di tandai dengan
perjanjian Bungaya. Pihak pemenang perang, yakni Belanda bersama Aru
Palakka beserta sekutunya, selalu terlibat dalam setiap kebijakan
pemerintah kerajaan Gowa, bahkan sampai kepada sistim pemilihan dan
pengangkatan seorang Somba yang menjadi Kaisar dalam kerajaan Gowa.
Meski pihak Gowa dan Belanda didukung persenjataan canggih di masa itu,
pihak pasukan perlawanan bukannya surut semangatnya. Mereka bahkan
semakin meningkatkan perlawanannya dan semakin termotivasi untuk
meruntuhkan kepemimpinan boneka Belanda. Mengetahui kondisi pasukan
lawannya yang dipelopori oleh Kare I Yuseng, pihak Belanda kemudian
menjadikan Kare I Yuseng Daeng Mallingkai sebagai target utama untuk
mengakhiri pertempuran ini. Dan ternyata Belanda benar, setelah
dilumpuhkan dengan peluru emas, perang Mangngasa kemudian surut.
Sejumlah rekannya sesama pemimpin pasukan seperti Gallarrang Mangngasa
dan Calla Karaeng Borong berhasil ditangkap dan dipenjarakan.
Tidak tanggung-tanggung, oleh pihak kerajaan Gowa, motor penggerak
perlawanan ini dikenai hukum pancung. Ini tentu saja dilakukan sebagai
upaya Sombaya menegaskan kekuasaannya sekaligus meruntuhkan moral
perjuangan para pengikut Kare Bontonompo ini, agar tidak melanjutkan
perlawanan. Kepala patriot sejati ini kemudian dibawa kembali oleh para
pengikutnya ke Bontonompo untuk dimakamkan di Buttu-Buttu dan dikenal
dengan sebutan kuburan patanna butta.
Selain pemenggalan kepala, pihak kerajaan Gowa juga menyita Gaukang atau
Kalompoang berupa panji yang disebut Jimaka dan Stamboom kerajaan serta
menghapuskan jabatan Kare untuk Bontonompo dan menggantinya dengan
jabatan Anrong Guru. Meski dikemudian hari panji Jimaka dikembalikan
lagi setelah pihak Gowa telah meyakini sudah tidak ada lagi perlawanan
dari para pengikut Kare I Yuseng.
Kare I Yuseng Daeng Mallingkai, telah mengorbankan jiwanya untuk
mewujudkan keyakinannya sebagai seorang patriot. Makamnya yang terletak
di Buttu – buttu Kec. Bontonompo Kabupaten Gowa, dikenal sebagai Jera
Patanna Butta atau Makam Penguasa Bontonompo. Hingga kini, makamnya
tetap dirawat dan dihormati oleh warga Bontonompo dan sekitarnya. Selain
itu, makam tokoh yang sejarahnya dikaburkan ini, menjadi monumen dan
lambang kekesatriaan putera Bontonompo.
Tokoh dalam perang Mangngasa ini diketahui adalah keturunan bangsawan
Polongbangkeng, yang silsilahnya masih bisa dilacak hingga I Mappaliku
Daeng Saleko, Karaeng Loe ri Malewang (Karaeng Polongbangkeng). Ini bisa
dilihat dalam Stamboom yang disahkan oleh Pajonga Daeng Ngalle, Karaeng
Polongbangkeng pada 28 Januari 1940 di Palleko. Saat ini wilayah
Polongbangkeng berada dalam daerah administratif Kabupaten Takalar.
Dalam silsilah tersebut, Kare I Yuseng adalah Putera Karaeng
Polongbangkeng, Coke Daeng Malliongi dan Baria Daeng Baine. Baria adalah
anak dari Karaeng Polongbangkeng Marewangang Daeng Bura’ne yang
merupakan anak dari Mangngambari Kare Gappa, putera I Mappaliku Daeng
Saleko. Di Bontonompo, putra bangsawan Polongbangkeng ini memperistrikan
Sabbe Daeng Lompo. Keturunan mereka berdua mewarisi karakter
kepemimpinan masyarakat dan pemerintahan serta patriot bangsa dari masa
ke masa. Seperti kepemimpinan dalam jabatan Anrong Guru di Bontonompo,
dan sejumlah jabatan pemerintahan dari zaman perang kemerdekaan, hingga
saat ini.
Bahkan beberapa keturunannya, telah mewarisi kepemimpinan patriotiknya
yakni antara lain Mayor (Purn) TNI AD Mannarima Daeng Situdju, Marsda H
Zainuddin Sikaddo Daeng Mattawang, Brigjen TNI AD. Hasanuddin Hanafi
Daeng Tinri. AKBP Kahar Muzakkir Daeng Mattawang dan Lettu Lahiya Daeng
Lallo. Selain itu, Donggeng Daeng Ngasa yang mewarisi kepemimpinannya
dalam bidang pemerintahan yakni menjadi Bupati pertama Kabupaten Takalar
sekaligus menjadi peletak dasar pemerintahan dan tata ruang di Takalar
pada tahun 1960. Hingga kini, keturunan Kare I Yuseng Daeng Mallingkai
masih berperan dalam struktur pemerintahan, baik di kabupaten di Gowa
maupun Takalar sampai ke tingkat nasional. Selain itu, rumpun
keluarganya tetap dijadikan sebagai pemimpin dikalangan masyarakat
khususnya Bontonompo dimana warisan Kalompoang dari Kare Bontonompo,
yakni Jimaka masih terjaga dengan baik dan disimpan di Balla lompoa ri
Bontonompo.