Epos Perang Gowa—Buton
i. Prolog
BAHKANPUN sejarah abai mencatatnya, kecuali hanya ada sedikit
informasi lisan lokal dan beberapa naskah anonim yang menggambarkan bagaimana
invasi armada Gowa ke Buton dalam tahun 1666 adalah sebuah awal mulai bencana dan
petaka besar yang memantik runtuhnya hegemoni kesultanan Gowa di timur
nusantara. Perang besar koalisi Gowa-Luwuk-Bima-Portugis VS
Belanda-Buton-Bugis-Ternate di teluk Baubau adalah perang dengan panggung
paling megah, melibatkan banyak tangan (negara) dan mengumbar angkara murka
paling dahsyat.
Tak ada yang menyangka bahwa laut di muka teluk Baubau pulau
Buton akan menjadi panggung dimana perang hebat dihamparkan tergelar di sana dengan
congkak sangat angkuhnya. Golak semangat histeria dan teriakan-teriakan
mendesis yang meraung, erangan kesakitan saat mencapai sekarat seusai ditebas
telah seperti melihatkan kawasan itu sebagai tempat pejagalan raksasa.
Sumber-sumber lisan lokal dan beberapa naskah anonim
mengisahkan bagaimana warna biru laut teluk Baubau telah berubah memerah karena
banyaknya darah yang tumpah dengan mayat banyak sekali bergelimpangan mengapung
di permukaan laut teronggok di sana sini
Teriakan-teriakan membaung, lolongan memanggil maut karena
tak kuat menahan sakit akibat hujaman tombak yang tandas dan tebasan pedang telah
mengalahkan gemuruh gulungan ombak musim barat yang datang menggunung
menghantam tebing-tebing cadas pinggir pantai tanah pulau Buton. Sisa jejak
keganasan perang itu bahkan masih dapat
dilihat hingga kini: Waara (sebuah tanjung di ujung selatan pulau Muna) sebagai
tempat mundur pasukan Gowa di utara dan Pulau Makassar (Puma)—tempat sebagian
pasukan Gowa ditahan (menurut Stapel berjumlah 5000 orang lebih) di sisi timur nya.
Sebuah naskah anonim menggambarkan detail sekali jalan
dahsyat kobar perang laut itu: “Perang
pada hari itu bagaikan percikan gempa bumi dahsyat di darat dan bagaikan
terjadinya badai gelap dengan guntur dan petir yang sambar menyambar di laut,
alam seakan sedih dan matahari lambat laun redup tertutup asap tebal senapan
dan meriam dan bau mesiu menerpa dari empat penjuru. Benteng keraton Buthuuni
yang terkena peluru bedil dan meriam menimbulkan percikan-percikan api yang
tiada henti, sedang setiap anggota pasukan terlihat kesetanan tidak memikirkan
matinya lagi.”
Misi penyerangan Gowa ke Buton telah seperti drama epos
paling sarkas yang membawa Gowa tidak pada pencapaian gemilangnya kemenangan sebagaimana
yang diharap dan diimpikan tetapi malah tersuruk jatuh dalam kubang gelap
kekalahan paling menyakitkan dengan dipaksa mereguk pahit racun dicundangi yang
mematikan. Tak pernah sebelumnya kesultanan Gowa mengeruk dana kas kesultanan
dan lalu menggelontorkannya dalam jumlah yang besar serta mengirim prajurit
dalam puluhan ribu jumlahnya dengan tujuh ratus buah kapal dilayarkan untuk
sebuah misi invasi penaklukan paling ambisius zaman itu.
Tapi alih-alih hendak menaklukan, Gowa justru tandas terkalah
dan ditekuk tertaklukkan. Ekspansi agresif mereka yang ambisius itu malah hanya
membawakan mereka petaka. Ribuan pasukan Bugis Bone dan Wajo bawaan mereka
malah kemudian menyempal berbalik menjadi musuh dan melawan menyerang mereka
ketika seluruh mata pasukan Bugis itu melihat dengan terang Arung Palakka
bersama La Tumparina Arung Atakka Arung Pattojo—Dua pemimpin mereka dengan
heroik berdiri memimpin dari atas
anjungan kapal VOC menyerukan perlawanan dan penyerangan kepada Gowa.
Maka seperti arus bah yang berbalik arah alirnya, mereka
semua pasukan Bugis Bone dan sebagian Wajo itu menarik ujung tombak mereka,
mengeluarkan keris badik pusaka mereka dari sarungnya dan dengan histeria
ditelanjangkan dituding-tudingkan ke udara dan ke muka hadapan mata pasukan
Gowa. Segera pasukan Gowa membaca gelagat buruk itu sebagai awal petaka,
pasukan kawan bawaan mereka justru berbalik kini menjadi lawan. Koalisi
Buton-Bugis-Ternate-Belanda sukses dengan cepat memukul mundur pasukan Gowa
yang terberai lari mencari selamat.
Dalam keadaan panik yang memuncak, panglima perang Gowa
Karaeng Bontomaranu dengan kesatria memerintahkah sisa pasukannya untuk memutar
haluan berbalik dan menarik langkah
mundur menjauhi teluk Baubau dan merapat menuju ke utara—daerah ujung selatang
pulau Muna untuk mengatur siasat dan mengupayakan perundingan. Dalam bahasa
Makassar utara adalah “Wara”. Beberapa orang menyebut dari sinilah muasal nama kampung
Waara sekarang.
Bersamaan dengan mundurnya pasukan Gowa itu, lima ribu lainnya
dari pasukan mereka berhasil ditawan oleh Speelman dan dengan kasar diseret ke
sebuah pulau kecil bernama Liwuto di muka teluk Baubau. Di sana mereka sebagiannya dijagal dengan bengalnya
tanpa ampun dan mendapat perlakuan yang tidak patut. Oleh karena pejagalan itu,
Belanda menyebut pulau Makassar di muka teluk Baubau itu sebagai “Makassarsch
Kerkhof” atau “Kuburan Makassar”
Sisa yang lolos dari pejagalan dibiarkan hidup dalam
kelaparan dan tidak diberi makan minum sampai ketika Speelman meninggalkan
Buton dan berlayar ke Amboina Maluku barulah sultan Buton berbaik hati memberi
makan minum dan pengampunan. Sejak dipakai sebagai tempat pejagalan tawanan
Gowa itu, pulau kecil Liwuto di muka Baubau itu bergantilah nama menjadi pulau
Makassar.
* *
*
TAK ada perang paling besar yang menyebabkan Gowa tersungkur
kalah dengan kerugian tenaga dan materi yang besar pula selain perang dan
kekalahan mereka di teluk Baubau pulau Buton dalam tahun 1666. Sejak kekalahan
di teluk Baubau itu, kesultanan Gowa mulai menuruni jalan tapak kemundurannya,
pada sisi yang lain VOC Belanda menapaki jalan naik memulai menghegemoni, cakar
jemari kolonialisasi mereka mencengkeram dengan semakin dalam kuatnya, dan
dalam padanya seorang yang dahulu diburu dan menjadi musuh kerajaan telah bertukar
kedudukan sebagai malah menjadi seorang yang disanjung terhormat, dipuja sebagai
penguasa baru, penguasa yang setelah satu dekade semenjak kenaikannya memikul
kuasa, ia telah mampu menggenggam dalam kuasanya seluruh tanah di semenanjung
selatan pulau Sulawesi. Dialah itu: Arung Palakka.
ii. Sebab Buton Menerima Arung Palakka
LA MAINDO Raja Tua Batauga adalah simpul muasal turunan Arung
Palakka di Buton. Dalam diri bangsawan Bone paling berpengaruh itu mengalir pula
darah bangsawan Buton yang menurun langsung dari salah seorang putera La Maindo
bernama La Kabaura dan seterusnya kepada seorang lelaki yang bertugas mengawasi
pelabuhan dan sekaligus kepala juru bahasa yang digelari “Sabandara I Bone”. Paling
tidak begitulah yang dituliskan Zahari II:76—77, juga Zuhdi, 2010:169.
Maka atas kaitan itu, sebenarnya kedatangan Arung Palakka di
Buton adalah kepulangannya di kampung leluhur sendiri. Sebagai yang sedarah seturunan,
maka bagi Buton tentu adalah menjadi keharusan melindungi dan melayaninya.
Selama dalam pelariannya di Buton, Arung Palakka tak hanya diberi perlindungan
tetapi juga diberi jabatan mengepalai Kadie
sebagai Lakina Holimombo daerah di timur pulau Buton.
Dari berbagai sumber lisan bahkan ia disebut sebagai seorang
perkasa tak tertandingi yang namanya “wajib” disebut ketika dalam perang telah
terdesak dan tanda-tanda kekalahan mulai tampak. Dalam keadaan gawat seperti
itu ada satu senjata pamungkas dikeluarkan yang oleh orang Buton dinamai senjata
itu sebagai “Baadilina La Toondu—Bedilnya La Toondu”.
Konon jika senjata bedil itu ditembakkan, musuh yang
disasarnya akan lari tungganglanggang mencari selamat karena besarnya takutnya
dan selalu pasti barikade musuh bisa ditembusnya seberapa kuat dan bagaimanapun
kebal tebal kokoh barisannya. Bahkanpun dari cerita lisan, sampai sekarang
keyakinan itu masih ada, kuat dipercaya sebagai kebanggaan kolektif klan
turunan La Toondu—Arung Palakka di Buton
* *
*
iii. Sebab-Sebab Pemantik Perang
KARAENG Gowa Sultan Hasanuddin murka. Ia memanggil panglima
angkatan laut nya: Karaeng Bontomarannu ke Istana dan memerintahkan penyiapan
armada laut yang besar untuk misi penyerangan ke Buton. Paling tidak ada dua
sebab murkanya Karaeng Gowa itu kepada Buton yakni berkongsinya diam-diam
antara Buton dengan VOC Belanda tanpa sepengetahuan karaeng Gowa dan
perlindungan yang diberikan oleh sultan Buton La Simbata kepada bangsawan Bone
buruan Gowa: Arung Palakka.
Tetapi jauh dari dua sebab itu, Gowa memang menganggap Buton
sebagai negeri Palili—bawahannya dan
menempatkannya sebagai sangat strategis dalam kerangka pelayaran ke negeri
muasal rempah di timur nusantara: Mamluk atau Maluku. Maka karena letaknya yang
sangat strategis itu, juga sekaitan dengan sumber daya tenaga manusianya yang
potensial, terus menguasai, menggenggam dan menundukannya adalah sebuah
keharusan. (Zuhdi, 2010:141).
Maka ketika kongsi kerja sama diam-diam Buton—VOC Belanda
terdengar diketahui sampai ke Gowa, bukan main murkanya Karaeng Gowa Sultan
Hasanuddin, apalagi ditambahi berita pula bahwa bangsawan Bone buruan mereka:
Arung Palakka, ternyata berlindung disembunyikan pula di sana. Langkah dan ulah
melindungi Buton terhadap musuh buruan Gowa itu dilihat oleh Gowa sebagai sikap
lancang yang lancung dan pembangkangan abdi terang-terangan yang ‘kurangajar’
pada tuannya. Dalam masa itu posisi Buton di mata Gowa sangat jelas, tegas
bahwa Gowa adalah negeri atasan yang menjadi “Tuan” bagi Buton.
Maka murka dilampiaskanlah sejadi-jadinya, pasak angkara
peperangan dikerek naik setingginya, dari bibir pantai Panakukkang hingga di
ujung tanjung Barombong kapal-kapal yang sebagiannya didatangkan dari Bira berjenis
Phinisi dengan lambung dipenuhi mesiu,
senjata dan serdadu berderet siaga dilabuhkan sebagai tengah bersiap menerima
perintah penyerangan.
Gelagat yang sangat gawat itu dibaca oleh VOC Belanda sebagai
tanda makin dekatnya perang besar terbuka di wilayah timur nusantara. Bangsa
kulit putih Eropa ini bergegas sigap dan mengambil langkah aman mendahului.
Pada 29 Maret 1666—Sembilan bulan
sebelum perang besar terbuka terjadi, mereka mengeluarkan “Resolutie” VOC untuk mengirimkan sejumlah amunisi, termasuk 20.000
ton dinamit dan perbekalan ke Ambon untuk mendukung perlawanan VOC dan
sekutunya (Buton dan Ternate) terhadap orang Gowa Makassar (Stapel, 1922:94).
Misi pengiriman amunisi itu dimaksudkan sebagai gertakan agar Gowa surut dalam
ambisinya terus mengganggu Buton dan Ternate, dua sekutu dekat VOC Belanda
Tapi Gowa memang bernyali besar dan kuat dalam berpendirian,
bagi mereka sekali layar terkembang pantang kapal surut ke pantai, sekali niat
terkerek pantang utas ditarik turun . Pagi sekali, 26 Desember 1666, saat
matahari baru menaik sejengkalan dari puncak gunung Lompobatang, pasak tiang
agung kapal-kapal mereka didirikan, mereka telah mengerek menaikan layar pula.
Tujuh ratus kapal dengan dua puluh ribu lebih prajurit bersiap untuk arakan berjalan
dalam iringan serupa parade, menggaris lautan di selatan Makassar menuju arah
naik matahari: di timur.
Kota pantai Jumpandang penuh sesak dengan orang-orang yang
datang berbondong menyaksikan pelepasan pasukan Gowa itu. Ujung tanah batas di
utara dan Panambungang batas di selatan. Sepanjang dari Ujung Tanah di utara
itu sampai Panambungang di selatan tak ada sela karena begitu dempet rapatnya
orang-orang. Laki-laki dan perempuan semuanya merasa sedih sambil meneteskan
air mata. Bagaikan bunyi lebah suara dengung tangis mereka, bagaikan hujan
lebat gemuruhnya suara orang yang meraung. Semua-mua orang seperti berkoor
dalam tangis, serentak meraung di pinggir pantai yang landai itu.
Belum benar terik matahari, mengembunglah kain layar
kapal-kapal mereka, mulai berjalan membelakangi pulau Lae-Lae, lewat di Tanjung
Bunga dan melintasi Barombong, setelah Barombong dibelakangi, moncong haluan
seluruh kapal mengarah ke Sampuluangan dan Soreang, terus menuju Sawakung,
melintas di Borikcekla, menghadapi Tamassongok menuju Galessong melintas di
Sanrobengi, lalu berganti-ganti dilewati: Tanrinnata, Popo, Kalulu Bodoa,
Mangindarak, Pammandongang, Kantingan, Sanrobone, Takalar di Selat Tanakeke,
Topejawa, Cikoang, Kassikbumbung, Punaga, Barugaya, Tamalakba, dan Ujung
Laikang.
Kapal-kapal layar yang lambungnya dipenuhi mesiu, senjata dan
prajurit itu terus berlayar menuju muasal naik matahari di timur tempat tanah
pulau Buton sasartujuan mereka. Mereka melewati pesisir Lembang Cina,
Pasorongi, Ujung Batu, Pallammassang, Danuang, Ujung Lemo-Lemo, Liukang Loe,
sampai di Selat Ujung Bira disaat terbenam matahari. Angin musim barat yang
bertiup dari buritan melajukan kapal-kapal mereka itu hingga membawa mereka mencapai
perairan tanah pulau Buton dalam hanya tigaharmal (tigahari tigamalam).
Arakan kapal-kapal pasukan Gowa itu dipimpin oleh Laksamana
Karaeng Bontomarannu bersama Datu Luwu bernama Sethiaraja Alimuddin dan mengikut
pula beserta mereka sekutu setia paling loyal, Sultan Bima (Lightvoet,
1880:125) juga (Patunru, 1993:43)
Banyak orang tidak mengetahui dan bahkanpun sejarah abai
mencatatnya bahwa serbuan Gowa ke Buton itu adalah sebuah epos perang dengan
panggung paling megah dan kobar amarah paling dahsyat dengan kesertaan prajurit
dan kapal terbesar paling canggih di masanya. Perang hebat itu melibatkan
banyak negara/kerajaan yang pada akhirnya hanya membawa Gowa ke dalam kekalahan
paling menyakitkan dan kerugian materi paling besar.
Lebih lima ribu dari sisa pasukan Gowa dalam perang itu takluk
ditawan dan lalu diseret dengan paksa ke sebuah pulau kecil di muka teluk
Baubau yang kelak kemudian pulau itu dinamai pulau Makassar. Sepulang dari
kekalahan perang di teluk Baubau pulau Buton itu, kekuatan pengaruh dan besar
luas kekuasaan kesultanan Gowa ikut melempem
ciut, meriut surut pelan-pelan sebelum kemudian pada akhirnya padam. Negeri-negeri
“Palili”—Bawahan Gowa di luar tanah selatan Sulawesi sejak perjanjian Bungaya
diteken telah lepas merdeka, bebas dari pengaruh kesultanan Gowa.
Ini dilihat oleh Belanda sebagai tanda baik untuk memulai
menguatkan cengkeraman dan mengeraskan tekanan atas Gowa. Benar saja, hanya
tiga tahun setelah kekalahan di teluk Baubau pulau Buton itu, benteng Somba Opu
dan Panakukang di Makassar jatuh dan Gowa sepenuhnya takluk. Legalitas runtuh takluknya
Gowa itu disahkan dalam apa yang kemudian dinamai sebagai perjanjian Bungaya. Hasanuddin
takluk dan berjalan turun menemui kejatuhannya disaat yang sama ketika Arung
Palakka dengan sokongan Belanda meniti jalan menaiki puncak kuasa.
* *
*
iv. Epos Pelarian Arung Palakka Dari Mata Orang Gowa
TANAH Lakiung Gowa—Makassar, awal Desember 1650. Langit di
udara berawan hitam, seperti seluruh tanah negeri Gowa sedang ditutupi hitam kepak
sayap besar burung rajawali raksasa. Tak tampak matahari, padahal telah siang
hari, pun angin bertiup malas-malas, biarpun awan gelap menggelantung menutupi
langit begitu, hujan enggan tak pula turun, dan hawa menyebar bukan main
panasnya.
Sang raja mulia yang digelari Karaeng Tunisombaya itu duduk di
pendapa dengan tak tenang hati, terlalu sering ia berdiri dan berjalan mondar
mandir, sembari ia hanya berbicara dalam jurusan pikirannya sendiri,
merenung-renung akan hal bakal terjadi, sesuatu hal buruk dirasainya telah
dekat terjadi: Seseorang dari dalam istananya sendiri akan datang menghunuskan badik menginginkan nyawanya dan naik merampas
kuasanya.
Datanglah kemudian si ahli nujum, menghambur sujud sembah di
kaki Karaeng yang mulia, Boto Lempangan nama ahli ramal itu. Ia adalah seorang
ahli ramal paling terkenal di Lempangan, sebuah kampung di Utara Gowa. Berkata
Karaeng Gowa: “Hai Boto (ahli nujum), masih adakah orang yang akan merebut
kekuasaanku, membobolkan tanah Gowa, dan meruntuhkan benteng ini?”. Dengan
tersenyum Boto Lempangan menjawab: “Ya Tuanku, ampun beribu ampun, Aku tidak
mau berdusta Tuanku, masih ada.”
Kaget terperanjatlah Tunisombaya, merah padamlah rupa
wajahnya karena sirapan darah yang naik ke muka. Di tatapnya baik-baik wajah
Boto Lempangan dan yang ditatap gugup gelagapan bukan main. lalu kemudian balik
bertanya Karaeng Tunisombaya: “Bagaimana tampan-tampannya orang yang akan
merebut kekuasaan dan meruntuhkan kerajaannku?”. Dengan tergagap karena gugup,
menjawablah Boto Lempangan: “Ibunya sekarang sementara mengidamkannya”.
Diumumkanlah kepada seluruh pembesar negara, bahwa siapapun
saja perempuan dengan perut bunting dan sedang mengidam atau muntah-muntah
harus dibunuh semuanya. Dengan perintah itu, dibunuhlah semuanya perempuan yang
sementara bunting mengidam. Tak ada bersisa.
Enam bulan berselang setelah itu, dipanggillah lagi Boto
Lempangan ke istana Karaeng Tunisombaya. Berkata karaeng Tunisombaya: “Hai
Boto, masih adakah orang yang akan merebut kekuasaanku?”. Menjawab Boto
Lempangan: “Beribu Ampun Tuanku, Masih ada. Sekarang ini sudah berumur enam
bulan di dalam perut kandungan ibunya”. Diperintahkan lagi kepada seluruh
pembesar kerajaan agar membunuh semua perempuan yang hamil mengandung enam
bulan. Habis semua perempuan yang hamil enam bulan dibunuhi.
Dari dalam istana, permaisuri Karaeng yang juga sedang hamil
mengandung datang bulan bersalinnya, tiba saat melahirkannya. Saat matahari baru
sejengkal merangkaki bukit Cempalagi, ketubannya pecah, besertanya pecah pula
tangis yang lengking. Ia melahirkan bayi lelaki dengan pipi kemerahan montok
sekali, kepalan tangannya kuat, rupa bayi mungil itu digambarkan tampan sekali.
Oleh Karaeng Tunisombaya dinamainya bayi dagingnya itu sebagai Andi Patunru.
* *
*
PELARIAN Arung Palakka di Buton digambarkan dramatis apik
sekali dalam epos Bugis Makassar berjudul “Sinrilikna
Kappalak Tallumbatua”. Dalam epos ini Arung Palakka disebut sebagai Andi
Patunru yang juga digelari Karaeng Tunicindea. Ia dikisahkan sebagai anak raja
Gowa Karaeng Tunisombaya yang bersama saudaranya terusir dari istana Karaeng
Gowa oleh sebab tuduhan bahwa mereka bersaudara itu akan membunuh Karaeng Gowa
Tunisombaya—Ayah mereka sendiri untuk kemudian naik menduduki kuasanya. Saya
mengutipkan dari epos itu beberapa paragrafnya
saja, hal yang sekaitan dengan ketibaannya di tanah Buton dan situasi
kejadian selama dua tahun masa pelariannya di Buton.
* *
*
PAGI-PAGI benar merapatlah perahu tiga buah itu di pelabuhan
Butung. Layar telah tergulung dan jangkar pun sudah dilabuhkan. Gendang pun
dipukullah (dibunyikan), bertepatan dengan bangunnya raja sultan Butung yang bernama I Kannyongkali. (hal.203)
Beliau bersabda: “Hai Tumakkajannanngangku, surobangkeng
bicaraku (penyambung lidahku) pergilah engkau menanyakan apa muatan perahu itu,
periksalah apa dagangannya, tanyakan pula negeri yang akan dilayarinya dan
teliti baik-baik negeri asalnya. Katakan perahu darimana ini, negeri mana yang
akan dituju sehingga engkau datang kemari ini ke pelabuhan kediaman Raja Sultan
Butung. Kalau engkau datang untuk membeli, di sini tidak ada penjual. Kalau
datang untuk menjual, di sini tidak ada pembeli. Kalau datang untuk tinggal
menetap, katakana sudah tidak ada lagi negeri yang mungkin ditinggali. Kalau
datang untuk bertamu, kita tak dapat menjamunya. Kalau datang sebagai kawan, kita
tak dapat membantu. Kalau datang untuk melihat perempuan, tidak ada orang
putih, karena kita ini di Butung melulu orang hitam semuanya. Katakana pula
padanya, Engkau datang berlabuh di pelabuhan Tunisombaya, lalu engkau tidak
membayar cukai pelabuhan. (hal.203)
Bangkitlah utusan Raja Sultan Butung langsung berjalan turun
menuju pohon dendedendea (nama pohon di pinggir laut) mendorong sampannya.
Kemudian naiklah dia di sampannya dan mengayuhnya dengan tergopoh-gopoh.
Beberapa saat kemudian sampailah dia ke perahu yang ditumpangi Karaeng
Tunicindea. Utusan itu disapa dengan hormat. Setelah duduk dengan baik di
belakang tempat kemudi, ditanyailah seperti berikut: “Utusan! Apa maksudmu
kemari, di perahu yang kutumpangi?” (hal.204)
Berkatalah utusan: “Ini adalah perintah Raja Sultan Butung.
Perahu darimana gerangan sampai berlabuh di pelabuhan raja Sutan Butung di pagi
buta ini? Apa muatannya, apapula dagangannya. Kalau Tuan datang untuk membeli,
kita kurang barang, kalau datang untuk menjual, kita kekurangan uang. Kalau
tuan datang sebagai tamu, kita tidak mampu menjamu. Kalau Tuan datang untuk
tinggal menetap, tidak ada negeri yang mungkin ditinggali. Kalau Tuan datang
untuk berperang, tidak mampu untuk dihalangi (dilawan). Kalau Tuan datang untuk
melamar perempuan katanya, tidak ada orang putih di sini, semuanya orang-orang
hitam. Tidak ada gerangan bea Tuan, tidak ada tempat berlabuh Tuan, sedangkan
ini teluk dan pelabuhan raja yang dipertuan!” (hal.204)
Menjawablah Karaeng Tunicindea, yang dikucilkan di Lakiung:
“Perahu ini datang dari Bira, putra Tunisombaya di Gowa yang menumpang ke
timur, ke sini karena aku mau menemui Sultan Butung. Kedatanganku kemari dengan
maksud yang baik saja, hati yang senang kubawa. Pulanglah ke darat dan
beritahukan rajamu bahwa keturunan Gowa ada di bawah, cucu Somba Barombong,
anak kandung Karaeng Tunisombaya, anak yang dilahirkan dari perkawinan bersama I Bajira Karaengta di
Paranggi” (hal. 204)
Pulanglah utusan turun di sampannya dengan tergopoh-gopoh
mengayuh. Tak lama kemudian sampailah ia ke istana di hadapan sultan Butung.
Setelah duduk dengan baik, ia segera ditegur oleh raja Sultan Butung: “Perahu
dari mana, Utusan?”
Menjawablah utusan: “Perahu dari Bira, ditumpangi oleh anak
Tunisombaya di Gowa, cucu kandung dari Karaeng Somba Barombong, anak yang
dilahirkan dari perkawinan bersama I Bajira Karaenta di Paranggi”.(hal.205)
Berkatalah Sultan Butung: “Kembali lagi engkau ke sana,
utusan. Bujuk dan katakana kepadanya, bagaika intan katanya disenangimu,
bagaikan zamrud disenangimu, bagaikan emas engkau disimpan di dalam hati. Sudah
lama sultan Butung mengharapkan kedatangan Tuan. Beliau sangat menginginkan
agar tuan sudi menginjak pekarangannya,
duduk di istananya!” Bangkitlah utusan menuju pinggir pantai lalu mendorong sampannya. (hal.205)
Berkatalah sultan Butung: “Hai sekalian penghuni istana,
pakailah semua pakaian kemuliaanmu. Perbaiki sisir rambutmu. Kira-kira begitu
empat puluh orang. Jika tiba ke mari anak Tunisombaya pergilah engkau semuanya
menghadap kepadanya. Hendaklah kalian menghormati dan membesarkanya. Jangan
engkau sepelekan aku (raja Butung) yang kebesaranku ada pada Gowa”(hal.205)
Berpakaianlah semua penghuni istana, tidak ada yang hitam,
semuanya dipilih yang putih dan cantik yang akan pergi menghadap untuk
menyabut. Sesampainya utusan sultan Butung di hadapan kemuliaan Karaeng
Tunicindea di Gowa, ia pun disambut dengan pertanyaan: “Utusan, apa hajatmu
sehingga dua kali engkau menghadap dalam waktu yang sesaat?”.
Menjawablah utusan sultan: “Penyampaian sultan Butung ialah
bagaikan intan, katanya disenangimu, zamrud dicintaimu, bagaikan emas
disimpanmu di dalam hati. Beliau sangat mengharapkan kedatangan Tuan. Beliau
ingin sekali diinjak pekarangannya, dan dimasuki istananya. Sudah lama katanya
Butung tidak diperhatikan oleh Gowa, dan baru kali ini ada orang Gowa datang ke
mari.”
Berkatalah Karaeng Andi Patundru: “Ya kembailah engkau ke
atas, aku berpakaian lebih dahulu baru aku naik. Baru saja aku meninggalkan
Gowa, memang Butunglah yang akan kudatangi.” Kembalilah utusan sultan Butung
dengan mendayung bergegas-gegas. Tidak lama kemudian sampailah di hadapan
sultan Butung. Diperiksalah utusan itu: “Bagaimana tanggapan raja yang baru
tiba itu?”
Menjawablah utusan: “Begitu katanya meninggalkan Gowa memang
Butunglah yang ditujunya.” Beberapa saat kemudian selesailah bersiap Karaeng
Andi Patundru dan juga Karaeng Petta Bello, Gallarang Bira, dan karaeng Bira.
Naiklah di sampannya, mendayunglah ke atas (di pinggir pantai). Di atas sudah
ada raja Sultan Butung menunggu di pohon dendedendea. Di sebelah kanannya
adalah para pembesarnya dan di sebelah kirinya adalah rakyatnya, diiringi oleh
abdinya yang setia, di belakangnya adalah raja-raja bawahan semua. (206)
Dijemputlah Karaeng Tunicindea, dipegang tangannya, dikawal
pula oleh panritaiya (guru agama atau ulama) di sebelah kirinya. Lalu dipeluk
lehernya dan dicium pipinya di kanan kirinya. Dituntunlah tangan kanannya oleh
sultan Butung, dan dituntun pula tangan kirinya oleh pengapit sultan Butung
terus masuk di kaki tangga istana.
Muncullah dari dalam rumah istri kesayangan sultan, keluarga
rumah tangga sultan Butung diiringi oleh kepala dayang-dayang dan pengiring
lainnya yang berjumlah tiga puluh orang. Sesampainya di bawah dipegangnyalah
tangan kiri karaeng Tunicindea di gowa oleh istri sultan Butung. Dituntunlah
naik (berjalan di tangga) diiringi hati gembira. Di atas (ruang tamu) sudah
dipasang (dihampar) tikar permadani. Setelah Karaeng Tunicindea, Karaeng Patta
Bello, dan semua temannya (rombongan) duduk dengan baik, diangkatlah sirih
pinang yang sudah berlipat ditarus di atas talam emas murni. (206)
Tak lama kemudian diangkatlah hidangan, dihadaplah bersantap
oleh sultan Butung, dikelilingi oleh abdi penghuni istananya. Sehabis bersantap
diangkatkan lagi air anas disertai dengan kue-kue yang bermacam-macam. Sesudah
makan kue, berkatalah Sultan Butung: “Hai Nak, apa gerangan maksudmu sehingga
engkau kemari?”
Menjawablah Karaeng Andi Patunru: “Tiada juga apa-apa, hanya
saja aku datang kemari hendak melihat negeri Butung, begitu juga sultan dengan
istananya sehingga ada yang bisa kujadikan bahan pembicaraan kalau kembali ke
Gowa.”
Ketika malam tiba ia pun bermalam bahkan diajak tinggal
menetap di Butung. Sultan Butung ini mempunyai dua orang gadis, yang seorang
bernama Sitti Bayang Rijeknek dan yang
seorangnya lagi bernama Sitti Bayang Rikilak. Keduanya juga ikut duduk menghadap Karaeng Tunicindea dari Gowa itu.
Berkatalah Sultan Butung: “Lebih baik engkau tinggal menetap
di sini, di Butung. Salah satu di antara anakku yang dua itu engkau senangi
(ingini) apakah Sitti Bayang Rijeknek ataukah Sitti Bayang Rikilak dapat engkau
persunting. Aku ingin juga mendapatkan emas yang berasal dari Gowa.
Mudah-mudahan ada keturunanmu menjadi “Pattola” dan menjadi raja di Butung
ini.”
Menjawablah Karaeng Andi Patunru: “Aku bersedia tinggal di
Butung dan mempersunting anak sultan Butung asal Tuan bersedia mengantarkan aku
kembali ke Gowa sebab aku pergi meninggalkan tanah Gowa dengan membawa hati
yang pedih. Kalau sampai kuingat dan kurenungkan di dalam hati terasa sangat
berat. Bagaikan Guntur yang menggelugut berputar di kepalaku, karena tidak ada
kesalahanku, tidak ada pelanggaran adat yang kuperbuat, tidak ada larangan yang
kulanggar, sampai aku diusir dari Gowa ditolak di Lakiung akibat ulah Karaeng
Boto Lempangang. Karena itu aku sangat mengharapkan bantuan sultan. Besar
Butung tetapi lebih besar lagi kegembiraanku kalau tuan bersedia mengantar aku
kembali ke Gowa membopong hidupku untuk berjumpa dengan ibu kandung yang
melahirkan aku dan juga adikku yang masil kecil-kecil; juga orang tua yang
memelihara aku; dan orang tua yang menyusukanku. Kalau sampai kuhitung jerih
payah ibuku yang empat itu dalam memelihara aku amatlah menderitanya. Ibuku
sangat menderita sewaktu aku dalam kandungan, begitu juga sewaktu dia
melahirkan aku. Demikian juga ibu piaraku yang selalu berdoa demi kebaikanku
sehingga aku bertambah besar. Aku digendongnya ke mana-mana naik turun. Begitu
pula ibu yang menyusukanku meskipun di saat tengah malam kalau aku sedang menangis, mereka bangun dan
duduk walaupun dalam keadaan sangat mengantuk. Dijadikannya sandaran bulu
matanya, penghujung subuh, dia jadikan waktu tidur. Itulah yang selalu kuingat,
itulah yang kubawa dari Gowa, Moncong-Moncong, Mamampang, dan Bisei.”
Menjawablah Sultan Butung: “Aku terharu mendengar tutur
katamu, Nak. Namun apa hendak dikata, aku hanya berkemauan tetapi tidak
berkemampuan. Lagi pula bukan semacam Butung yang bisa melangkahi tanah Gowa.
Pertama karena tidak ada senjataku, kedua aku kekurangan rakyat di Butung,
ketiga tidak ada pemberani yang bisa menghadapi Gowa, keempat tidak
perongkosanku, kelima durhaka bagi orang Buton untuk menyebut-nyebut Gowa,
lebih-lebih kalau berupa tindakan kekerasan sebab Butung bertuan kepada Gowa.”
Tiba-tiba berkatalah Karaeng Andi Patunru: “Kira-kira di mana
ada yang dapat memerangi Gowa, yang bisa menggulingkan Barombong, dan yang bisa
menggulingkan Mamampang?”
Berkatalah Sultan Butung: “Ada baiknya kalau engkau pergi ke
negeri Bima, mudah-mudahan ada kemampuannya.”
Tinggallah Karaeng Andi Patunru di Butung tiga hari tiga
malam. Hadirlah semua anak keturunan raja Butung, hadirlah juga sekalian
raja-raja bawahan, berkumpul pulalah Gallarrang Bate Batea, pemangku adat, dan
orang pemutus bicara (pengambil keputusan). Berkumpul pula guru agama (ulama)
dan para pegawai syara untuk menghormati Karaeng Tunicindea bersama Sultan
Butung.
Setelah cukup tujuh hari tujuh malam pamitlah untuk kembali
Karaeng Bira dan Gallarrang Bira, Berkata: “Kami sudah mau kembali sebab Tuan
sudah jauh kutitipkan, sudah tidak ketahuan ini oleh Karaeng Tunisombaya.
Tinggallah tuan di sini untuk menenangkan hati satu bulan atau dua bulan,
setahun atau dua tahun, mudah-mudahan Tuan dapat melupakan Gowa.”
Berangkatlah Karaeng Bira, diiringi oleh Karaeng Tunicindea
di Gowa bersama saudaranya Patta Bello. Teruslah turun di pinggir pantai
menaiki sampan menuju ke perahu yang akan ditumpanginya. Memanggillah dua kali
karaeng Bira, berkata: “Hati-hatilah Nak di Butung karena aku sudah mau
kembali.”
Karaeng Andi Patunru dua bersaudara menghempaskan dirinya di
tempat menjalarnya “Lekleria”—sejenis pohon di pinggir laut. Barulah mereka
sadar dan mengucapkan kalimah syahadat bahwa mereka terusir dari negerinya.
Sejak dari nenek moyangnya tidak ada yang diperlakukan demikian, tiba-tiba
mereka harus menerima kenyataan yang demikian.
Berkatalah Sultan Butung: “Aku tahu kesusahanmu Nak, tapi apa
mau dikata, serahkan kepada yang punya dan janganlah sekali-kali engkau lupa
kepada Allah Taala. Mudah-mudahan dikemudian hari ada keturunanmu muncul dan
berkuasa di tanah Gowa, di Moncong-Moncong.”
Berkatalah karaeng Tunicindea di Gowa: “Hai Sultan Butung!,
mudah-mudahan benar ucapanmu dan dikabulkan doamu agar pada suatu saat nanti
engkau akan kembali ke Gowa, ke Moncong-Moncong, guna mempertaruhkan hayatku.
“Kukawarui kotaya” kerbau hitam “ammassukanga patompok”, “camara”, bertanduk
emas murni. Rantai “manila” yang dijadikan tali pengikat yang dipegang, emas
“nipeppek bayang” dililit di kepalanya. Emas murni nanti dibikinkan baginya
“kakkalu”, “passikkik” sajalah mengikutinya dari belakang. Dia nanti membikin
terbangun pagaduk, dan aku mengelilingi tujuh kali berturut-turut, sambil
bersenang-senang hati. Aku akan berjaga juga di gunung Lonjokboko. Aku akan
berpesta pora tujuh hari tujuh malam dan membangun tenda tujuh buah untuk
bersenang-senang hati. Kemudian kukumpulkan familiku yang tidak senang kepadaku
“sangrangkakna”—sebaya, sederajat tanah Gowa begitu juga Bate Salapanna Gowa.”
Berkatalah Sultan Butung: “Mudah-mudahan diterima doamu Nak,
oleh Allah Taala dan dikabulkan kesungguhan hatimu.”
Kini mereka sudah cukup satu tahun tinggal di Butung.
Duduklah anak Tunisombaya diadat disanjung, dihadap duduk oleh seorang
terhormat. Sampai cukup dua tiga tahun dihormati di Butung. Mendengarlah berita
Karaeng Tunisombaya tentang kehadiran Karaeng Tunicindea di Butung, bahkan
sudah bertahun-tahun mendapat lindungan di sana.
Pedagang Rampegading ini ke Butung membeli “karokok”—kain
layar dan rotan untuk diperdagangkan. Disitulah dilihat karaeng Andi Patunru.
Dan memang ada penyampaian Karaeng Andi Patunru yang mengatakan: “Wahai
pedagang, kalau engkau nanti kembali ke Gowa jangan sekali-kali engkau
membicarakan aku, jangan sampai aku ketahuan oleh Sombaya begitu juga Bate
Sallapanna Gowa sehingga ia mendatangi aku di sini.”
Menjawablah pedagang Rampegading: “Walaupun dua kepalaku
Karaeng, aku tidak berani bercerita tentang kehadiran Karaengku di tanah
Butung.”
Selanjutnya pesan Karaeng Andi Patunru: “Hai pedagang,
peliharalah keselamatanku, dan aku juga memelihara keselamatanmu. Mudah-mudahan
pada suatu saat aku dapat kembali ke tempat kelahiranku, pulang ke kampung
halamanku.”
Berkatalah pedagang Rampegading: “Ya, Karaeng satu kali
berkata, maka aku sepuluh kali.”
Nahkodanya bernama I nyanggak, jurumudinya bernama I Luklung,
jurubatunya bernama I Manynyambeang. Kemudian berangkatlah pedagang Rampegading
itu sesudah minta permisi pulang.
Dalam perjalanan pulang ke Gowa terjadilah pembicaraan serius
antara nahkoda, jurumudi, dan jurubatu tentang kehadiran Karaeng Andi Patunru
dan sudaranya di Butung. Ada yang mau menyembunyikan berita itu, tetapi I
Nyanggak (nahkoda) ingin membongkar rahasia itu.
Kemudian berkata Karaeng Tunisombaya: “Apa betul pengetahuanmu
tentang Karaeng Andi Patunru?”
Menjawablah I Nyanggak: “Ya Karaeng, baik sekali
pengetahuanku karena akulah yang ditemani bercakapcakap.”
Berkatalah Sombaya: “Baiklah, kalau dia tidak ada di Butung
aku akan membunuhmu. Kuhancurkan rumahmu, kurampas barang-barangmu, dan akan
kubunuh sekalian familimu kalau dia tidak ada di Butung.”
“Potonglah aku dengan parang sampai hancur, seperti pasir
kecilnya kalau memang dia tidak ada di Butung sebab dia bercakap-cakap
denganku. Mulutnya berkata kepadaku Karaeng.”
Berkatalah karaeng Tunisombaya: “Bagaimana dengan kakaknya
apakah engkau melihatnya juga?”
I Nyanggak menjawab: “Ada juga aku lihat Sombangku.”
Kembalilah I Nyanggak kemudian dipukullah gendang kebesaran
Gowa, sebagai tanda supaya masyarakat berkumpul. Dibunyikan jugalah lesung
kembarnya untuk memanggil masyarakat.
Berdatanganlah masyarakat dari semua penjuru Gowa. Sudah
hadir Karaeng Bate-Batea yang teguh pada kebenaran, sudah hadir juga Bate
Sallapanna Gowa, orang yang kuat pada adat, yang berdiri pada kebenaran.
Kemudian berkatalah Bate Sallapanna Gowa: “Sombangku, apa
gerangan sebabnya sampai dikumpulkan orang banyak?”
Berkatalah Karaeng Tunisombaya: “Hai engkau sekalian Bate
Sallapanna Gowa yang teguh pada kebenaran, begitu juga Karaeng bate-Batea. Ada
Andi Patunru bersama Petta Bello sekarang di Butung. Berpakaianlah dan datangi
mereka di timur. Bumi hanguskan Butung kalau betul ada di timur dan ikat dengan
rantai besi rajanya. Jangan engkau membunuhnya tapi ikatlah bersama dengan istrinya,
anaknya bawalah ke mari. Rampas barang-barangnya kalau memang dia ada di sana.
Kalau dia tidak ada maka janganlah bertindak apa-apa.”
Setelah genap dua hari bersiaplah Bate Sallapanna Gowa,
Karaengta Pattunga, Karaenta di Burakne, panglima perang Gowa. Sudah siaplah
Karaenta di Pattekne, “Kalimalolo”—lalat di Gowa. Diambilkanlah orang
terhormat, pemimpin adat empat puluh. Semua pemberani dicari, pertama tobo
Leklenna Barombong, kedua Cambang toana paropo, ketiga Cambang toa di manngasa,
keempat Batu Naparaknya Songkolok, kelima Cambang Tinggi di Mamuju, keenam
Cambang Raulo, ketujuh Cambang Tinggi di Sapaya, kedelapan Cambang Bissolorok.
Begitu lengkap persiapannya tersedia pulalah perahunya. Empat
puluh dua perahu memuat orang banyak, seratus limapuluh orang dimuat oleh
sebuah perahu. Palu palu, “kanjaiya”, keris, tombak, “salaka”, “pammuluka”, “sorobaya”, masing-masing sama
banyaknya. (212)
Tiga hari tiga malam sesudah meninggalkan Bira, merapatlah
masuk di pelabuhan Raja Butung pada saat menjelang terbit matahari. Berkatalah
Raja Butung kepada Karaeng Tunicindea: “Ada perahu empat puluh dua buah
jumlahnya. Bagaimana penglihatanmu, perahu darimana gerangan?”
Berkatalah Karaeng Tunicindea: “Menurut penglihatanku, perahu
itu dari Gowa. Sudah pasti aku yang dicari. Pukullah gendang agar semua orang
berkumpul kemudian kita berperang dengan orang Gowa, sebab aku sudah jauh,
namun tetap mereka mencari-cari aku.”
Berkatalah Raja Butung: “Lebih baik engkau disembunyikan,
engkau dimasukan saja ke dalam sumur kemudian ditimbuni tanah lalu diberi lagi
sampah di atasnya.” Menjawablah Karaeng Andi Patunru: “Apa yang dianggap baik
itulah yang kami turuti.”
Diratakanlah tanah bagian atas pada sumur itu dan ditimbuni
dengan sampah. Setelah perahu yang empat puluh dua itu merapat di tempat
kediaman Raja Butung, layarnya digulung dan jangkar diturunkan. Mendaratlah
prajurit Karaenta di Burakne, Karaenta di Pattekne, Karaenta Pattung, Karaenta
Jarannika, Karaenta Lekokbokdong, Karaenta di Mamampang, dan Bate Salapang
Gowa, lalu dikepung tempat kediaman Raja Butung.
Berkatalah penjaga pintu istana yang dua puluh empat orang:
“Orang dari mana gerangan yang sedang mengepung istana rajaku di Butung ini?”
Berkatalah mereka yang sementara mengepung itu: “Cepat panggil rajamu.” Naiklah
penjaga pintu istana mencari Raja Butung, namun tidak diketemukan karena dia
ketika itu berada di dalam biliknya. Berkatalah permaisuri raja: “Hai penjaga
pintu, perahu dari mana memuat orang banyak sekali lengkap dengan
persenjataannya?” Berkatalah penjaga pintu: “Perahu dari Gowa, perahu Karaeng
Tunisombaya di Gowa untuk menemui Raja Butung.”
Masuklah permaisuri ke dalam bilik membangunkan suaminya
sambil berkata: “Bangunlah! Sudah ada Sombaya di Gowa dan istana kita sudah
dikepung.” Bangunlah Raja Butung memakai songkok kerajaannya, memakai celana
kekuasaannya, baju singgasananya, keris kerajaannya. Pendek kata lengkaplah
pakaiannya. Turunlah di kaki tangga istana menyambut tangan Karaenta di Burakne
dan berkata: “Apa maksud kedatangan Tuan, begitu bersusah payah ke tempat yang
begini jauh dan lengkap dengan senjata?”
Berkatalah Karaenta di Burakne: “Ini perintah Karaeng
Tunisombaya di Gowa. Karena ada katanya di sini Karaeng Andi Patunru. Dialah
yang disuruh diambil. Berbicaralah dengan sebenar-benarnya untuk kubawa pulang.
Menurut penyampaian Karaeng Tunisombaya, dia ada di sini. Dia akan dinobatkan.
Mengapa ia enggan menduduki kedudukannya padahal dia sudah menjadi
“Patimatarang”—Pangeran, bapaknya nisomba (dipertuan) dan kalau dia mangkat,
harus dia yang menggantikannya. Mengapa dia bertindak sebodoh itu, pergi ke
mana-mana. Katakanlah sejujurnya, di mana dia sekarang. Kalau engkau mengatakan
dia tidak ada, maka aku akan membumihanguskan negeri Butung. Kurampas
barang-barangmu, engkau kubunuh, kucincang bagaikan pasir di pantai. Kuambil
pula anak istrimu, kalau engkau tidak berkata sejujurnya.”
Menjawablah Raja Butung: “Aku tidak mau mengaku karena memang
dia tidak ada di sini. Walaupun engkau tidak memotong leherku, kalau dia tidak
ada di Butung aku akan memberitahu juga, karena takutku kepada Raja Gowa dan
aku tidak mau dikotori oleh kerbau yang bermandi lumpur.”
Berkatalah Karaenta di Burakne: “Lebih baik ita cari
jejaknya, dicari sampai didapat.” Maka pergilah orang mencarinya di mana-mana.
Tiga hari tiga malam dicari ke mana-mana hingga sampai lima hari mencari jejak
orang-orang yang pemberani. Sudah sampai tujuh hari berkeliling mencari jejak
secara bersungguh-sungguh. Semua hutan telah dimasukinya, hutan besar hutan
kecil, tidak ada lagi yang tidak dirambah.
Dicarinya lagi di gunung Butung, di sela-sela batu, namun
tetap tidak diketemukan. Kembalilah sekalian orang pemberani itu. Berkatalah
Bate Salapang bersama pemberani: “Tidak ada hutan yang tidak kita jejaki, besar
ataupun kecil. Tidak ada juga gunung yang tidak kita daki, tinggi ataupu
rendah. Tidak ada liang batu yang tidak kita masuki, yang dalam ataupun yang
dangkal namun tetap tidak diketemukan.”
Dicarilah nahkoda I Nyanggak yang pernah mengemukakan hal
ini. Setelah nahoda itu hadir maka
ditanyailah oleh Karaenta di Mamampang: “Omong kosong saja yang engkau
katakana, karena dia tidak ada di Butung padahal engkau mengatakan dia ada.”
“Bagaimana mungkin tidak ada Karaenta, aku sendiri yang
bicara dengannya.” Ditunjukan tempat duduk yang pernah diduduki Patta Bello dan
tempat yang pernah diduduki Raja Butung. Berkatalah karaneta di Mamampang:
“Omong kosong saja yang engkau katakana, karena dia tidak ada di Butung.”
Kemudian berkatalah Raja Butung: “Aku rela diruntuhi gunung kalau Karaeng Andi
Patunru ada di atas tanah Butung ini.”
Berkatalah Karaenta di Mamampang: “Lebih baik kalau engkau
bersumpah.” Maka disumpahlah Raja Butung seperti berikut: “Aku akan ditimpa
purujawa (penyakit kulit), akan bengkak dan luka leherku, dan aku berjalan
pincang kalau dia ada di atas tanah Butung.” Maka berkatalah Karaenta di
Mamampang: “Apa lagi?” Berkatalah Raja Butung: “Aku akan ditimpa penyakit
“pogek”—penyakit bengkak pada mulut, akan robek mulutku sampai ke telinga kalau
dia ada di atas tanah Butung.”
Berkatalah Karaenta di Mamampang, Karaenta di Bisei: “Engkau
semua pemberaniku, engkau semua sederajatku, anak Pattolaya semua, dan engkau
semua Bate Salapang Gowa marilah kita pulang ke Gowa.”
Kembalilah mereka pada hari yang kedelapan. Tiga hari setelah
rombongan orang Gowa itu pergi, barulah Karaeng Andi Patunru diangkat dari
dalam sumur beserta saudaranya. Karaeng Tunicindea berkata kepada Raja Butung:
“Kira-kira kapan engkau bawa aku pergi?” Berkatalah Raja Butung: “Hari Jumat
subuh. Begitu tiga hari kemudian di pagi hari Jumat berangkatlah Karaeng Andi
Patunru bersama Raja Butung.
Ketika hendak meninggalkan Butung, menyanyilah Karaeng
Tunicindea di Gowa: “Kalau nanti kita berpisah jangan engkau membicarakan aku
dengan tidak baik tetapi bicarakanlah aku bagaikan gula dan aku membicarakan
engkau bagaikan kelapa.” Bersiaplah perahu yang akan ditumpanginya dua buah
beriringan. Berlayarlah keluar, meninggalkan tanah Butung bersama Karaeng
disertai dengan Gallarang Bate-Batea, pemangku adat dan hakimnya. Lajulah
perahunya dibawa angin timur laut.
* *
*
v. Epilog
TAK ada kedamaian sebelum perang datang menghampar
sebagaimana lautan yang teduh setelah badai datang mengiriminya gelumbang.
Segala-gala peperangan sebenarnya adalah pangkal jalan mula-mula menuju ke
kedamaian. Semakin ganas perang, semakin lapang jalan damai karena dalam apapun
keburukan yang ganas sebenarnya di baliknya tersembunyi kebaikan yang besar
pula. Dan kita yang manusia, memiliki keduanya sisi berian Tuhan itu: baik dan buruk
Dan perang, dari mana-mana pun dilihat adalah tentu hal yang buruk
sekalipun dalam padanya ada terkandung hal yang baik: kedamaian—tetapi itu baru
bisa direguk setelah usainya perang itu. Seperti laut yang tenang setelah badai
datang melewati, hubungan Gowa—Buton nyaris tak lagi pernah berseteru secara
frontal sejak usai perang itu. Kedamaian menghampar tercipta di sana dengan
sangat mahalnya karena harus ditumbalkan ribuan orang korban dari kedua belah
pihak.
Sebuah kutipan sastra klasik Wolio dari Kabanti “Bunga Malati”
karya La Ode Kobu Yarona Labuandiri menutup catatan ini:
mincuanapo
isarongi amasega
ne sabutuna
atalo sabara lipu
tabeana
isarongi amasega
atalomea
hawa nafusuuna
belum
disebut pemberani
bila hanya mengalahkan segala negeri
kecuali yang disebut pemberani
telah bisa mengalahkan hawa nafsunya.