~ Menelusuri Jejak Opu Daeng Manambung di Negeri Mempawah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kedatangan
Opu Daeng Manambung bersama saudaranya masing-masing Opu Daeng Parani, Opu
Daeng Cellak, Opu Daeng Marewa dan Opu Daeng Kamase, sungguh sangat besar
artinya bagi masyarakat di negeri Mempawah
Kalimantan Barat. Betapa tidak, kedatangan kelima pendekar dari Sulawesi
Selatan ini telah mampu menyelesaikan perang saudara di Kerajaan Matang yang saat itu dipimpin oleh Sultan
Zainuddin. Dari keberhasilan itu pula, Opu Daeng Manambung diambil sebagai menantu oleh Sultan dengan
mempersunting putrinya bernama Putri
Kasumba. Hingga kini awal mula
kedatangan Opu Daeng Manambung pada abad ke 17 silam di negeri itu menjadi
tonggak sejarah terbentuknya Negeri Mempawah.
Sebelum
terbentuknya Kerajaan Mempawah, maka Kerajaan itu semula bernama Bangkule
Rejakng, dimana Raja pertamanya bernama Nek Rumaga (dari suku Dayak) dengan Ibukota berkedudukan di Bahana
(sekitar 94 KM dari Mempawah). Salah seorang putra Ne’ Rumaga bernama Patih Gumantar yang kelak
menggantikannya setelah Ne; Rumaga turun
tahta.
Patih
Gumantrar beristrikan Dara Iran dan membuahkan tiga orang anak, masing-masing
bernama Patih Nyakbakng (lk) dan Patih Janakng (lk) dan Dara Itam (pr). Tak
lama setelah melahirkan anak ketiganya,
istrinya Dara Iran wafat dan dimakamkan
di Bahana. Sepeninggal istrinya membuat Raja Patih Gumantar hatinya tidak
tenang. Ia selalu mengembara kesana kemari, hingga suatu saat menemukan sebuah tempat di Gunung
Kandang. Karena beliau merasa senang tinggal di daerah itu, sehigga rakyatnya
kemudian membangunkan sebuah istana di puncak bukit itu. Istananya
kemudian bernama Sebukit Rama.
Setelah
sekian lama tinggal di istana Sebukit Rama,
Patih Gumantar menjadi korban pengayauan (pemenggalan kepala) oleh suku Dayak
Biaju dekat Sukung berbatasan dengan Serawak. Kepala Patih diambil oleh suku dayak Bijau untuk
persembahan, sedangkan badannya diambil oleh keluarganya dan dimakamkan di
Sebukit Rama secara islami. Patih
Gumantar kemudian digantikan oleh putra sulungnya Patih Nyakbakng.
Patih
Nyakbakng kemudian kawin dengan putri Dayak,
dan membuahkan seorang putra (tak diketahui namanya). Namun putranya
kemudian dipercayakan untuk menjadi Panembahan (Raja) di Senggaok) sebagai
salah satu wilayah kerajaan di Bangkule Rejakng. Putranya kemudian lebih dikenal dengan nama
Panembahan Senggaok. Pada masa pemerintahan Panembahan Senggaok inilah,
mengalami kemajuan,. Karena beliau banyak melakukan hubungan dengan raja-raja
lainnya di nusantara ini, diantaranya Kerajaan Batu Rija;Indragiri di
Palembang, Kerajaan Matam di Sukadana, Kerajaan Luwu dan Kerajaan Gowa di
Sulawesi Selatan. Dimasa pemerintahan Panembahan Senggaok inilah yang merupakan
cikal bakal terbentuknya Kerajaan Mempawah yang diperingati setiap tahunnya.
Ketika
Raja Qahar dari Kerajaan Batu Rijal Indragiiri dikudeta oleh saudaranya, maka beliau bersama putrinya
bernama Putri Cermin dan 7 gadis
dayang-dayang beserta 30 awak kapal mencari
negeri yang aman. Dalam perjalanan
hingga akhirnya masuk ke Sambas dan melanjutkan perjalanan menuju
Sebukit Rama. Sesampainya di Sebukit Rama, Patih Nyakbakng memberikan
perlindungan pada rombogan Raja Batu Rijal Indragiri .
Pada
saat itu, Putra Patih Nyakbakng Panembahan Senggaok masih lajang. Untuk lebih
memperkokoh persahabatan dan tali
kekeluargaan, maka, Panembahan Senggaok kemudian dikawinkan dengan putri Cermin (anak dari Raja Kahar, Raja Batu
Rijal Palembang), Setelah kawin, maka
Putri Cermin mendapat gelar Ratu Penembahan Putri Cermin). Beberapa bulan kemudian, putri cermin hamil.
Sebelum melahirkan anak pertamanya, ada
ramalan dari ahli nujung yang mengatakan, kalau anak pertamanya perempuan, maka
Kerajaan Bangkule Rejakng yang selama ini diperintah dari suku Dayak akan berakhir
dan digantikan oleh suku lainnya, tapi kalau anaknya laki-laki, maka Dinasti
Kerajaan Bangkule Rejakng tetap pada suku dayak. Ternyata, anak yang dilahirkan
oleh Putri Cermin adalah perempuan yang diberi nama Mas Indrawati , maka itu
pertanda pemerintahann suku dayak akan berakhir di Bangkule Rejakng, dan
pemerintahannya akan diambil oeh suku lainnya.
Singkat
cerita, anak kesayangan Mas Indrawati tak terasa sudah dewasa. Suatu saat, Raja
dari Kerajaan Matan, Sultan Muhammad
Zainuddin yang masih lajang itu sangat tertarik dengan putri Panembahan
Senggaok Mas Indrawati. Lamaran Sultan ternyata diterima baik oleh Panembahan
Senggaok. Tak lama kemudiuan, kawinlah Sultan Zainuddin dengan Mas Indrawati.
Dari hasil perkawinan kedua anak bangsawan ini, maka lahirlah seorang putri
bernama Putri Kesumba.
Dimasa
pemerintahan Sultan Zainuddin, terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh
adiknya sendiri Pangeran Agung. Bala tentara yang sangat kuat mengakibatkan
Sultan Zainuddin harus lengser dari singgasananya. Sultan sempat terkepung di
dalam masjid, sedangkan istri dan
mertuanya Mas Indrawati maupun pengikutnya mengungsi ke Kotawaringin.
Di
dalam Masjid, Sultan Zainuddin mendapat nasehat dari salah seorang pengikutnya,
agar minta bantuan dari putra Raja Luwu La Tenri Borong Daeng Ri Lekka yang
saat ini mengembara ke berbagai daerah kerajaan Melayu. Surat yang ditulis oleh
Sultan kemudian dikirim ke Opu dimana mereka berada. Saat tu Opu berada di
Kerajaan Siantan.
Seterimanya
surat Sultan, Opu kemudian bersama kakak dan
adik beserta prajuritnya bergegas menuju negeri Matan Sukadana untuk
membebaskan SultanZainuddin yang telah terkurun di dalam masjid selama lima
bulan. Opu Daeng Manambung yang merantau dengan falsafah tiga ujung yakni ujung
lidah (diplomasi), ujung burung (perkawinan) dan ujung Badik (pertempuran),
mereka sudah siap mati demi membela kaum yang tertindas. Ia membawa sebuah
badik kecil dari negerinya bernama Taji Karami yang sangat berbisa, juga
dua buah meriam sakti namanya Sigonda yang ada diatas perahunya.
Ketika
Opu Daeng Manambung memasuki Kertajaan
Matan Sukadana, yang
pertama-tama yang ia ingin lakukan
adalah membebaskan Sultan Zainuddin yang terkurun selama lima bulan.
Opu bersama prajuritnya siap berperang, akan
tetapi Opu Daeng Manambung masih sangat
bijaksana. Dari tiga jenis senjata yang dimiliki, mereka tidak akan
menggunakan senjata ‘Ujung Badik’
untuk menumpas pemberontakan di Sukadana. Di depan prajurit Pangeran
Agung, Opu
Daeng Manambung mengajaknya mereka untuk berbicara (berdiplomasi).
Dengan tutur
kata yang sopan dan baik, akhirnya terjadi kata sepakat. Sultan
kemudian berhasil dibebaskan tanpa ada pertumpahan darah. Sultan
kemudian dibawa ke Kota Waringin tempat keluarganya
mengungsi.
Setelah
itu, Opu lima bersaudara ini melakukan misi kedua, yakni ingin menemui Pangeran
Agung di istana Kerajaan Matan Sukadana. Dari berita itu, Pangeran Agung kemudian memerintahkan kedua
menantunya juga berasal dari Sulawesi
Selatan, yakni Daeng Mataku dan Daeng
Haji Hafid beserta indra gurunya dan prajuritnya untuk menghadang pasukan Opu
Daeng Lima bersaudara itu.
Kedatangan
Opu Daeng Manambung ke Istana Kerajaan Matan, tantu tak ingin ada
pertumpahan darah. Kalaupun itu terjadi,
maka pasukan Opu sudah siap
menghadapinya.
Sesampainya
di depan pintu gerbang, Opu langsung
disambut oleh salah seorang menantu Pangeran, yakni Daeng Mataku. Ternyata antara Opu Daeng
Manambung dengan Daeng Mataku masih
sepupu dua kali. Dari situlah suasana tegang berubah menjadi riang gembira.
Ternyata, saudara yang telah lama ingin ditemui, bisa ketemu kembali dalam suasana tegang. Demikian pula H. Hafid,
juga ikut mendukung pertemuan dengan Opu lima bersaudara.
Karena kedatangan Opu ini sudah diterima dengan
baik, maka kedua menantu Pangeran Agung
menemui ayahandanya di istana, agar bisa bertemu dengan Opu. Dengan tutur kata
yang baik, akhirnya Opu Lima
bersaudara dipersilahkan masuk istana.
Dari sanalah terjadi pembicaraan antara
Opu Lima bersaudara dengan Pangeran Agung. Setelah sekian lama mereka bersidang, akhirnya terjadi kata sepakat.
Pangeran Agung secara sukarela siap meninggalkan istana tanpa perlawanan
apapun. Dengan keluarnya pangeran Agung dari istana, maka Sultan Zainuddin bisa
didudukkan kembali untuk menjadi Raja di negeri Matan Sukadana.
Untuk
mempererat tali hubungan persahabatan, Sultan Zainuddin minta pada Opu Daeng
Manambung yang masih lajang itu untuk sudi kiranya menetap di negeri Mempawah.
Sultan memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kesumba. Sultan
minta pada Opu agar bersedia menjadi menantunya dengan mengawini putrinya. Hati
berdebar bagaikan mendapat durian jatuh, tawaran Sultanpun disambut baik oleh
Opu Daeng Manambung. Putri Kesumba juga menyukai Opu Daeng Manambung karena ia
seorang pemberani yang berwajah tampan
dan gagah perkasa. Karena kedua anak ini saling mencintai, akhirnya, mereka
melangsungkan perkawinan di depan penghulu.
Setelah
kawin, maka Putri Kesumba mendapat gelar kebangsawanan “Ratu Agung Sinuhun”.
Sedangkan Opu Daeng Manambung juga mendapat gelar bangsawan “Pangeran Mas Surya
Negara”..
Setelah
tiga tahun Sultan Zainuddin memegang
tahta pasca pemberontakan adiknya Pangeran Agung, maka belau mau turun tahta
dan minta digantikan oleh putranya. Hasil musyawarah para pembesar di Kerajaan
Matan, maka ditunjuklah ditunjuklah Pangeran Mangkurat, putra Sultan dari istri
yang lain
Di
Kerajaan Bangkule Rejakng yang berpusat
di Pinang Sikayu terjadi kekosongan pemerintahan, untuk sementara dijabat oleh
Pangeran Adipati sepupu dari Putri Kesumba.
karena nenek Putri Kesumba yakni Panembahan Senggaok wafat tiga tahun
sebelumnya. Kepergian Opu Daeng
Manambung bersama permaisurinya Putri Kesumba disertai ibunya Ratu Mas
Indrawati dan neneknya Ratu Panembahan Putri Cermin ke Pinang Sikayu
di Bangkule Rejakng dengan maksud minta pada Pangeran Adipati untuk menyerahkan
benda pusaka berupa pedang yang dibawa oleh neneknya dari Kerajaan Batu Rijal Indragiri Palembang, sekaligus
minta kekuasaan yang nantinya akan dipimpin oleh Putri Kesumba. Dari permintaan
itu, Pangeran Adipati hanya menyerahkan dua daerah kekuasaan, yakni Senggaok dan Malinsan . Putri kesumba yang
diserahi tugas untuk menjadi Ratu pada
dua perkampungan itu, tak ingin melaksanakan pemerintahan, tetapi ia
menyerahkan pada suaminya Opu Daeng Manambung untuk menjadi Pelaksana tugas
Raja di Kerajaan Bangkule Rejakng yang
kembali beristana di Sebukit Rama yang pernah didirikan oleh Patih Gumantar
dulu.
Disaat
Opu Daeng Manambung menjadi Plt Raja di Bangkule Rejakng, terjadi perombakan
besar-besaran dalam manajemen kerajaan. Sistem pemerintahan yang salama itu dilaksanakan sesuai hukum adat Dayak,
maka ketika Opu berkuasa, sistem pemerintahan
didasarkan pada Syariat Islam dan hukum adat Siri’ dari Sulawesi
Selatan. Disamping itu, diangkat pula beberapa pejabat dalam lingkungan
kerajaan, yakni menteri-mentri yang bergelar datuk, seperti Datuk Laksamana
(Angatan Laut), Datuk Kiayi Dalam, Datuk
Malem, Datuk Pembekal, Datuk Petinggi,
Datuk Bendahara..
Kerajaan
Bangkule Rejakng saat itu terbagi dua, yakni
Kampung Senggaok dan Malinsan berpusat di Sebukit Rama. Penggabungan
dari dua Kampung ini menjadi
sebuah Kerajaan, bernama Kerajaan Mempawah. Mempawah diambil dari nama
sebuah kampung di daerah itu, yakni di Mempawah hulu dan
Mempawa Hilir. Sedangkan Bangkule Reajkng
asli tetap berkedudukan di Pinang Sikayu. Ketika Opu Daeng Manambung
turun tahta, maka beliau digantikan oleh putra sulungnya Gusti Jamril
Pangeran
Adi Jaya untuk menjadi Panembahan di negeri Mempawah (1761 – 1787 M).
Dan
seterusnya pemerintahan Kerajaan Mempawah dipegang oleh anak cucu dari
turunan Opu Daeng Manambung
hingga saat ini. Bekas istana kerajaan
beserta makam Opu Daeng Manambung di
Sebukit kini masih bisa
disaksikan dan setiap harinya banyak
disiarahi orang.* (z.tika)
adat gowa
budaya makassar
gowa
gowa tallo
KARAENG
KEBUDAYAAN GOWA
kerajaan gowa
kerajaan gowa tello
makassar
SEJARAH GOWA
SEJARAH GOWA TALLO
SOMBAYYA RI GOWA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya