Malino berdarah



Penulis         : Zainuddin TikaM. Ridwan Syam
Penerbit        : Pustaka Refleksi, 2006

          Hari itu, 18 Desember 1946, pasukan belanda memuntahkan peluru, jerit tangis menggema dimana-mana. Bagi para pemuda di Malino, perbuatan biadab Belanda, paling tidak harus dibayar dengan darah. Mereka bersatu mengangkat senjata dan membuat strategi di empat penjuru untuk mengepung markas belanda, mulai dari Limbua,  B uluttana, Gantarang dan Tombolopao. Akhirnya markas belanda di Malino berhasil diporak-porandakan, termasuk markas KNIL di kota Malino. 
          Sebelum terjadi peristiwa yang mengerikan  itu,  Belanda yang berniat untuk menjajah kembali  bangsa Indonesia, mengambil hati rakyat Indonesia. Mereka mendatangi  seluruh rakryat dipelosok desa, seperti halnya yang dilakukan oleh  Mr Westof yang saat itu menjadi Tuan Petoro atau residen di Malino. Kedatangannya ke Tombolo Pao untuk membagi-bagikan pakaian kepada  warga desa, agar mereka lebih simpatik pada belanda. Namun para pejuang sudah tidak percaya lagi pada belanda, mereka ingin merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan.
Sikap pemuda demikian, ingin mengenyahkan  orang-orang belanda di bumi Sulawesi. Ketika Tuan Wes Stof dalam perjalanan  pulang dari Tombolo Pao menuju  Makassar, ketika sampai di sebuah lokasi yang tidak berpenghuni yang disebut kampung Kanre Apia,, para pejuang menghadang di tengah jalan. Rombongan pemuda itu dipimpin oleh Karaeng Pado, langsung menghadang Tuan Wesstof dan menancapkan keris pusakanya ditubuh  Mr Wes stof berkali-kali hingga  akhirnya Tuan Petoro menemui ajalnya.


          H. Abd Rauf Daeng Nompo Karaen Parigi, salah seorang saksi sejarah mengatakan,  setelah pengepungan markas KNIL di Malino, datanglah bantuan tentara belanda dari Makassar dan Sungguminasa. Mereka lalu mencari pemuda di sekitar kota Malino. Setiap pemuda yang dijumpai, mereka langsung digiring ke suatu tempat, lalu disirami peluruh, hingga mereka menemui ajalnya. Dalam peristiwa itu, lebih 100 orang  pejuang dan rakyat yang tidak berdosa menjadi korban keganasan Belanda. Para pejuang yang jadi korban, adalah ayah  Abd Rauf Dg Nompo bernama Sulaeman Daeng Jarung, Mappatangka Daeng Rani, Andi Mangeurangi, R. Endang, Karaeng Pado, Andi Baso Makkumpella , Colleng Dg Ngalle dan masih banyak lainnya.*

Postingan populer dari blog ini

teks panjang Aru Tubaraniya Ri Gowa

SILSILAH RAJA-RAJA GOWA

RAJA-RAJA SANROBONE