Karaeng Ta Data, Ratu Adil dari Makassar
Karaeng Ta Data, atau Abubakar Karaeng
Ta Data Bin Amas Madina Batara Gowa, raja Gowa yang ke XXVl (26), oleh
masyarakat umum dikenal dengan nama Karaeng Sayangnga ri Beba (Raja yang
gaib di Beba). Sewaktu berumur 8 tahun, ayahnya wafat dalam keadaan
bergerilya menentang kekuasaan VOC dan pasukan raja Gowa yang ditunjuk
VOC.
Mendengar wafatnya Batara Gowa, sebagian
besar rakyat Gowa memilih Karaen Ta Data sebagai pemimpin perjuangan
melawan VOC, walaupun dia masih belia. Karena banyaknya orang yang
berjuang mengatas-namakan titisan Batara Gowa, Karaeng Ta Data tampil di
kerajaan Gowa tahun 1798. Dan memaklumatkan dirinya sebagai Sombayya ri
Gowa menggantikan ayahnya, Batara Gowa, atas desakan sebagian besar
rakyat Gowa.
I Mannawari Kr. Bontolangkasa Sultan
Abdul Hadi sebagai Raja Gowa pada waktu itu, dan dibantu oleh pasukan
VOC, kemudian memerangi Karaeng Ta Data.
Karena mendapat tantangan dari VOC, maka dia berangkat ke Ambon dan Flores untuk berlindung kepada pejuang-pejuang Gowa yang terlebih dahulu berada disana.
Pada tahun 1812, Karaeng Ta Data meminta izin kepada Resident Inggris, Richart Philips, yang kebetulan berlabuh di pulau Ambon untuk bersurat kepada pimpinan VOC, agar dia diberi tempat untuk menetap di salah satu negeri di kerajaan Gowa. Karaeng Ta Data kemudian menetap di Beba, Galesong.
Karena mendapat tantangan dari VOC, maka dia berangkat ke Ambon dan Flores untuk berlindung kepada pejuang-pejuang Gowa yang terlebih dahulu berada disana.
Pada tahun 1812, Karaeng Ta Data meminta izin kepada Resident Inggris, Richart Philips, yang kebetulan berlabuh di pulau Ambon untuk bersurat kepada pimpinan VOC, agar dia diberi tempat untuk menetap di salah satu negeri di kerajaan Gowa. Karaeng Ta Data kemudian menetap di Beba, Galesong.
Di Beba, Karaeng Ta Data mengajarkan
ajaran agama Islam dari kitab-kitab yang diwariskan dari buyutnya, yaitu
Syekh Yusuf. Dia sering melakukan bacaan Ratib (a’rate) setiap malam
Senin dan malam Jumat di kediaman Karaeng Galesong. Setiap pengajian
yang dilakukannya, dihadiri oleh seluruh rakyat Galesong dan
daerah-daerah lain di kerajaan Gowa. Rupanya, VOC dan para sekutunya
tidak senang akan tindak-tanduk yang dilakukan oleh Karaeng Ta Data,
yang sering mengumpulkan massa. Mereka khawatir Karaeng Ta Data akan
melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan raja Gowa yang diangkat oleh
VOC Belanda. Popularitas I Mappatunru Karaeng Lembangparang sebagai raja
Gowa yang menggantikan Karaeng Bontolangkasa, kalah berkilau
dibandingkan Karaeng Ta Data yang merupakan anak dari Batara Gowa, raja
Gowa yang saat ini masih dianggap belum mati dan merupakan raja yang sah
pilihan rakyat Gowa, bukan pilihan Belanda.
Karaeng Ta Data sendiri tidak tinggal
diam, dia mengetahui rencana licik VOC dan sekutunya itu. Dia kemudian
menghimpun kekuatan dengan merekrut tiga orang pallapa barambang
(pengawal), yakni Gunturu’na I Da Depo, Kila’na I Sanro Nanda, Bosi
Sarrona Garanci Dg. Malala. Selain itu, Karaeng Ta Data dilindungi oleh
orang-orang yang siap mati untuknya, yang bergelar Cambang. Diantaranya :
Cambang Manggarai, Cambang Raulo, Cambang Bissoloro, Cambang Mangga,
Cambang Buki’ Tanah, Cambang Mammesu, Cambang Moncongang, Cambang Rubia.
Ternyata dugaan Karaeng Ta Data benar,
karena pada tanggal 20 Agustus 1819 komandan VOC, La Fontaine, beserta
pasukannya dibantu oleh Karaeng Bonto Lebang dan Karaeng Polong
Bangkeng, mengepung Karaeng Ta Data yang hanya dibantu oleh Fran
Kombatari (Karaeng Manggarai) bersama pengawal dan para Cambang yang
siap mati untuknya.
Pada mulanya, Karaeng Ta Data tidak
melakukan perlawanan dan menerima untuk dibawa oleh La Fontaine
menghadap raja Gowa. Di kediamannya sebelum mengikuti kemauan VOC,
Karaeng Ta Data meminta siapa di antara pengikutnya yang siap mati
untuknya. Semua orang pada waktu itu mengajukan diri untuk menggantikan
posisinya untuk ditawan bahkan dibunuh oleh VOC. Mendengar kesetiaan
mereka, Karaeng Ta Data begitu terharu dan sempat mendoakan seluruh
pengikutnya kepada Tuhan.
Pada waktu itu Cambang Raulo yang terpilih menggantikan posisi Karaeng Ta Data berdasarkan munajatnya kepada Tuhan. Dia kemudian memakaikan jubahnya kepada Cambang Raulo. Ajaibnya, seketika itu pula wajah Cambang Raulo berubah sangat mirip dengan Karaeng Ta Data, sehingga tak satupun orang yang mengenal Karaeng Ta Data yang menyangsikan kemiripan tersebut.
Pada waktu itu Cambang Raulo yang terpilih menggantikan posisi Karaeng Ta Data berdasarkan munajatnya kepada Tuhan. Dia kemudian memakaikan jubahnya kepada Cambang Raulo. Ajaibnya, seketika itu pula wajah Cambang Raulo berubah sangat mirip dengan Karaeng Ta Data, sehingga tak satupun orang yang mengenal Karaeng Ta Data yang menyangsikan kemiripan tersebut.
Cambang Raulo yang wajahnya telah
berubah seperti Karaeng Ta Data kemudian ikut kepada komandan La
Fontaine. Pengikut Karaeng Ta Data berada ditengah-tengah antara pasukan
VOC di depan dan pasukan karaeng Bontolebang serta pasukan Karaeng
Polongbangkeng berada pada bagian belakang. Mereka dibawa hingga ke
daerah Passimbungan, Galesong. Disanalah mereka melakukan serangan
secara tiba-tiba yang sangat tidak di sangka oleh pasukan VOC dan
sekutunya. Pada peristiwa itu Cambang Raulo tewas terbunuh oleh VOC.
Setelah tewasnya Cambang Raulo pasukan VOC menganggap bahwa Karaeng Ta
Data telah mati.Pada peristiwa perang di Passimbungang itu kejadiannya
sangat heroik sehingga ada syair yang terkenal untuk memperingati
kejadian itu :
“ Jai pale tonjong ri mawang, jaiang ri
Bissei, jaiangngang pole capiona sarani” Artinya ; Banyak teratai di
danau Mawang, banyak lagi di Bissei, namun lebih banyak lagi topi serani
(VOC) ; artinya lebih banyak lagi Belanda yang mati.
Jasad yang dianggap Karaeng Ta Data
kemudian dibawa ke markas VOC. Ketika di identifikasi, ternyata ada yang
mengenali jasad tersebut, sehingga diketahuilah bahwa yang wafat bukan
Karaeng Ta Data, karena jasad yang menggunakan jubah Karaeng Ta Data,
orangnya memiliki cambang, sedangkan dia tak memiliki cambang. Komandan
La Fontaine beserta sekutunya kemudian kembali ke Galesong untuk mencari
Karaeng Ta Data.
Karaeng Ta Data kemudian menampakkan
dirinya di daerah Kalongkong, Galesong. Sebagai tanda keberadaanya. Dia
menancapkan bendera kebesarannya di samping pohon asam kecil, lalu dia
berikrar :
“Bila kelak tiba masanya aku akan pergi, kelak akan kembali bila batang dahan dan ranting pohon asam kecil ini jadi kuat”.
Kemudian Karaeng Ta Data mengunjungi
kediaman Karaeng Galesong untuk berpamitan. Setelah makan bersama
Karaeng Galesong dengan hidangan ayam aduan karaeng, dia menanggalkan
jubahnya dan diberikan ke Karaeng Galesong untuk kenang-kenangan. Dia
kemudian memakai baju Karaeng Galesong dan pergi bersama I Sonra Dg.
Malo Karaeng Belobambaya ke Poppolok dan Barammate. Setelah itu, dia
kemudian menghilang secara gaib di hadapan orang-orang . Bersama dengan
gaib dirinya di pesisir pantai Beba samar-samar terdengar suara Karaeng
Ta Data yang merupakan pesannya yaitu :
“Boya ka ri taenaku, assengnga ri
mania’ku, naiaja antu namannassa taenaku. la pa nappakarammula punna la
tappu’mo” (Artinya : Carilah aku dalam ketiadaan, kenallah dalam
keberadaanku, aku sesungguhnya ada, namun yang jelas aku tiada, baru aku
kembali bila telah dilupakan orang”
Sampai saat ini di pesisir pantai Beba,
tanda kegaiban tubuh Karaeng Ta Data masih dikenang dengan sebuah pondok
sederhana yang terbuat dari kayu, yang di dalamnya ada sebuah nisan
seperti kuburan. Padahal sesungguhnya di situ hanyalah bekas telapak
kakinya saja. Pondok itu dibangun oleh para peziarah yang setia
mengunjungi tempat itu untuk mendapatkan berkah.
Peristiwa-Peristiwa Spritual
Berkenaan dengan Karaeng Ta Data
Berkenaan dengan Karaeng Ta Data
Peristiwa pertama :
Peristiwa ini dialami oleh H. Muhammad
Saing Dg. Talli (60 thn), warga Takalar : “Ketika itu saya berangkat
beribadah haji di tanah suci Mekkah. Saat akan melakukan tawaf dan
mencium Hajar Aswad, saya sangat kewalahan karena begitu banyaknya
jamaah yang akan melakukan ritual tersebut. Ketika saya mulai kewalahan,
tiba-tiba entah dari mana datangnya seorang tua renta yang memegang
tongkat, kemudian memegang tanganku dengan isyarat memerintahkan aku
untuk mengikutinya. Secara logika tentu tak masuk akal karena tubuhnya
yang tua renta dan sudah bungkuk, dapat menembus kerumunan jamaah yang
bertubuh besar-besar. Selain itu saya tidak sendiri tapi ada beberapa
orang yang dapat saya jadikan sebagai saksi hidup untuk membuktikan
ucapanku ini.
Setelah Kami selesai mencium Hajar
Aswad, orang tua itu pamit kepadaku sembari memperkenalkan diri sebagai
Karaeng Ta Data, dengan menggunakan bahasa Inggris dan Arab agar, yang
lain tak mengetahuinya”. beber Haji Talli mengenang peristiwa di Mekkah
tersebut.
Sebagai perbandingan dengan kisah di atas, menurut sejarah yang tertulis, Karaeng Ta Data memang terkenal sangat fasih berbahasa Inggris. Ini dapat dibuktikan dengan surat-suratnya kepada Resident Inggris Richart Philips yang sampai saat ini masih tersimpan.
Sebagai perbandingan dengan kisah di atas, menurut sejarah yang tertulis, Karaeng Ta Data memang terkenal sangat fasih berbahasa Inggris. Ini dapat dibuktikan dengan surat-suratnya kepada Resident Inggris Richart Philips yang sampai saat ini masih tersimpan.
Peristiwa Kedua :
Beberapa tahun yang silam di daerah
Bunga Ejayya, Jl.Kandea Makassar, terjadi kebakaran hebat akibat adanya
kompor milik warga yang meledak. Sebelum peristiwa itu terjadi, menurut
keterangan warga di sekitar tempat kejadian, ada seorang tua yang
memegang tongkat dan berbungkuk-bungkuk berkeliling di daerah itu
meminta air minum, tetapi sebagian warga di situ tak memberinya karena
tubuhnya sangat bau. Cuma ada salah seorang warga yang memberi minum dan
makan, yang pada saat kebaran rumah orang tersebut dilompati api
sehingga tidak terbakar. Padahal logikanya, rumahnya mestinya terbakar
karena berada ditengah-tengah area kebakaran itu. Menurut pemahaman
orang pada waktu itu, orang tua yang datang itu adalah Nabi Khidir. Ada
pula yang berkata Syekh Yusuf. Padahal sejatinya dia adalah Abubakar
Karaeng Ta Data, berdasarkan lontara yang dia tinggalkan sebagai pesan.
(Baca: Pesan Lontara’na Karaeng Ta Data).
Peristiwa Ketiga :
Ini sebenarnya tak seberapa penting
karena dialami sendiri oleh Wartawan MITOS, tapi ada desakan yang sangat
besar dari dalam untuk ikut menyampaikan peristiwa itu. Sewaktu berita
ini ditulis pada malam Kamis tanggal 13 Januari 2010, di samping penulis
berdiri seorang tua yang berpakaian putih bersih, wajahnya bersinar
terang sehingga mata penulis jadi silau melihatnya. Kemudian setelah
diberi salam, dia menjawab salam tersebut tapi setelah itu dia
menghilang, karena ada orang yang melintas. Setelah orang itu pergi,
orang tua itu tadi kemudian kembali muncul di samping penulis. Tubuh
orang itu terbilang kecil dan agak membungkuk-bungkuk. Setelah penulis
melakukan kroscek ke tempat gaibnya Karaeng Ta Data di daerah Beba
Galesong Utara. Warga yang pernah melihat penampakan itu umumnya sama
dengan yang dilihat oleh penulis (MITOS/awing/dar)
*****
Mitos Lontara’na Karaeng Ta Data Menyebut-nyebut Karebosi
Mitos ini berkembang setelah peristiwa
kegaiban yang dialami Abubakar Karaeng Ta Data. Ada yang mempercayai
bahwa ini bukan mitos akan tetapi merupakan fakta bakal kembalinya
Karaeng Ta Data, yang disampaikan oleh para pengikut Karaeng Ta Data
yang menyaksikan langsung peristiwa kegaiban Karaeng Ta Data.
Adapun pesan ini ditulis dalam bahasa
Makassar yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, agar dapat
dimengerti oleh pembaca. Isinya antara lain sebagai berikut :
Karaeng Ta Data, tuanku yang punya
negeri, bila tiba saatnya kamu kembali nanti, maka akan baiklah
kehidupan manusia. Dia yang pergi sewaktu runtuhnya Gowa dan bila
kembali kelak maka akan utuhlah Gowa kembali. Sekarang ini dia sudah
berjalan berkeliling tetapi tak tampak oleh manusia. Kalau dia akan
menampilkan dirinya, dia akan tampak di Karebosi.
Sekarang ini Karaeng Ta Data ada di
pasar-pasar, hanya orang tidak mengetahuinya, dan dia saja yang melihat
kita. Kalau dia menampakkan dirinya kelak di Karebosi, maka akan
disuruhlah orang untuk menjemput rajanya itu, dan disuruhnya untuk
menyembah rajanya itu.
Katanya: “Hai rakyat Gowa, sembahlah
rajamu”, maka hadirlah orang banyak, akan tetapi tak ada yang
mengenalnya, sehingga kalau mereka disuruh memilih, mereka akan
memilih-milih rajanya sendiri yang berpakaian indah-indah itu. Akan
tetapi orang-orang yang mengetahui tentang pesan (wasiat), mereka tak
akan memilih orang-orang yang berpakaian indah-indah, karena mereka itu
bukanlah Karaeng Ta Data. Sebab menurut isi pesan (wasiat), bahwa
Karaeng Ta Data berpakaian robek-robek dan kotor, kalau ia berada kelak
di tengah-tengah lapangan Karebosi.
Dengan demikian banyaklah orang yang membuat kesalahan karena ia tak mengenali rajanya (Karaeng Ta Data).
Barang siapa kelak melihat sorang berteduh payung Saloko dan di punggungnya terselip Sudanga dan melilitkan Cindea
(cindai), dialah itu raja Gowa. Orang banyak akan memilih menurut
selera mereka masing-masing. Akan tetapi orang-orang yang mengetahui
pesan (wasiat) tak akan berbuat demikian. Mereka akan memilh yang
berpakaian robek-robek dan kotor karena dialah yang bernama Karaeng Ta
Data. Sebab dimanapun dia berada, ia dapat dikenali karena ada tanda
pengenalnya. Adapun alamat (tanda) akan terjadinya hal-hal yang pernah
diperhatikan diatas ini, ialah bahwa kelak akan ada kapal atau perahu
yang berlabuh di sungai Tallo.
Adapun hal ini bermula di Maros menuju
kota Tolotan ke negeri Bulote dan seterusnya ke Tallo. Apabila hal yang
demikian telah terjadi, maka akan menyusul suatu pesan lagi, bahwa :
Kalau ada panggilan untuk berkumpul di Karebosi, katakanlah padanya :
“Pergilah engkau lebih dulu, karena saya akan makan sebentar”. Bekal
makanan sudah ada di serambi rumahku (paladang) di dalam bakul makanan
(tepa). Jadi kalau engkau sebentar telah tiba disana (Karebosi)
perangpun telah selesai. Adapun kerusuhan yang terjadi itu ialah anjing
dan kuda akan berlaga tendang-menendang, dan orang akan
parang-memarangi, bertikam-tikam antara satu dengan yang lain, sehingga
di Karebosi akan mengalirlah darah sedalam sampai melewati tumit dan
mata kaki.
Di tempat itu akan berdiri tujuh buah
rumah besar, dan raja-raja akan duduk di dalamnya. Kebesarannya beraneka
ragam dan indah-indah. Dikerahkanlah rakyat membanjiri Karebosi untuk
berkumpul disana. Pada saat itu akan terwujudlah ucapan dalam bahasa
Makassar mengatakan : “Lammotere’mi ada’ kabiasaanna” (adat kebiasaan
masa kejayaan kerajaan Gowa).
Selanjutnya dipesankan apabila kejadian
itu telah terjadi, kalau ada seorang tua memasuki rumahmu atau bertemu
denganmu di tengah jalan dan meminta air minum, berusahalah
memberikannya, lebih baik lagi engkau beri makan padanya. Karena
kesemuanya itu adalah pertanda dari Karaeng Ta Data. Satu lagi
kebiasaan Karaeng Ta Data yang harus diketahui, ialah bahwa dia
meninggikan dirinya terhadap orang yang angkuh dan tinggi hati, serta
kebalikannya bersifat rendah diri terhadap orang-orang yang merendah.
Inilah mitos yang berkembang di
masyarakat Gowa, berkenaan bakal kembalinya Karaeng Ta Data setelah masa
kegaibannya. Adapun mengenai kebenaran kegaiban Karaeng Ta Data, masih
diselidiki, karena berita mengenai wafatnya tidak ada sumber yang
didapatkan. Semua sumber yang diwawancarai oleh MITOS menceritakan
tentang peristiwa kegaibannya. Bahkan salah satu sumber yang mendalami
ilmu Tassawwuf membenarkan adanya ilmu agama yang memungkinkan seorang
manusia, apabila telah diangkat sebagai wali, mendapat karomah berupa
kegaiban. Dia ada di sekitar kita, tapi tidak terlihat. Dia Cuma
sewaktu-waktu memperlihatkan dirinya. Bisa jadi dia muncul, sebagai
tanda akan terjadi suatu peristiwa