Datuk Ri Paggentungang
Sembahyang di Bawah Daun Pisang
Desa
Tamarunang Kec. Somba Opu, Gowa. Poros Malino 4 km dari Sungguminasa,
terdapat makam ulama besar Sulawesi Selatan yang hidup pada abad ke 16.
Para peziarah yang datang ke makam ini, cukup banyak berasal dari
berbagai daerah. Itulah makam Datuk Ri Paggetungang.
Makam
Datuk dikelilingi sejumlah makam lainnya yang merupakan makam
keturunannya. Bangunan permanen yang menaungi makam Datuk berwarna putih
beratap genteng merah, luas bangunan berukuran 5 x 7 m2.
Datuk
bernama asli Srinaradireja bin Abd. Makmur. Tapi lebih terkenal dengan I
Dato (Datuk) Ri Paggentungang. Sang Wali hidup di zaman raja Gowa ke
14. I Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin, yang merupakan Raja
Gowa yang pertama memeluk agama Islam pada hari Jumat 22 September 1660,
dan diislamkan oleh Khatib Tunggal Abdul Makmur (Datuk Ribandang),
ulama yang berasal dari Kota Kahu, Minangkabau.
Di dalam Makam terdapat pula dua makam yag bersebelahan, makam tersebut merupakan ajudannya bernama Karaeng Bau. Dan makam yang satunya lagi adalah makam Karaeng Subhan, surona atau pelayan Datuk.
H.Majja
(69) juru kunci makam yang masih keturunan Datuk, dia meneruskan tugas
ayahnya, H.Genda yang menjadi juru kunci makam Datuk. Selain itu ada
pula pengurus makam lainnya, Dg. Pa’go (79), Imam Lingkungan Tamarunang,
Dg. Unjung dan Dg Ramma, petugas kebersihan makam dan Dg.Lili pembaca
doa.
Mereka
inilah orang-orang yang tulus dan ikhlas mengurus makam Datuk. Mereka
pantang meminta sedekah dari para peziarah. Kalaupun terkumpul hasil
sedekah, disisihkan sebagian untuk pemeliharaan makam. Tujuannya agar
para peziarah dapat merasa tenang berziarah. Mereka juga menerima baik
Wartawan MITOS dengan sukacita yang bertandang ke makam Datuk.
H.Majja
meyakini, selama 25 tahun menjadi juru kunci makam, tidak pernah
sedikitpun mendapat bantuan dari pemerintah setempat untuk pemeliharaan
makam. Padahal makam ini termasuk situs sejarah yang pantas diperhatikan
dan dipertahankan keberadaannya.
Para
peziarah datang dengan berbagai tujuan dan niat. Bahkan banyak juga
yang sampai bernazar. Jika tujuannya berhasil mereka akan kembali dengan
menyembelih kambing bahkan sampai menyembelih sapi. Yang datangpun
bukan cuma masyarakat awam, tapi para caleg-caleg, pejabat
pemerintah dan bahkan sampai calon bupati atau walikota. Ini juga
mungkin ada kaitannya dengan pesan Datuk kepada anak-cucunya. “Jika
suatu waktu kalian menemui kesusahan, maka ingatlah aya” Pesan inipun
pernah dikatakan kepada muridnya, Syekh Yusuf yang masih usia 18 tahun,
sewaktu akan berangkat ke Mekah, ujar sang juru kunci makam.
Datuk
datang ke Sulsel, untuk mencari ayahnya, Datuk Ribandang. Lalu dia
diajak sahabatnya, Lo’mo Ri Antang untuk menetap di daerah ini, agar
bisa bersama-sama melanjutkan tugas Datuk Ribandang yang telah meninggal
Guru Syekh Yusuf
Sebelum Syekh Yusuf berangkat ke Mekah, lebih dulu memperdalam ilmunya pada Datuk dan Lo’mo. Dia belajar ilmu hakiki pada dua ulama besar tersebut.
Sekali
waktu, Datuk sepakat dengan Lo’mo bertemu Syekh Yusuf, untuk
merencanakan perjalanan memperdalam ilmu pada wali-wali yang ada di
Mangkasarak (Makassar).
Datuk
berkata ; “Cucunda Yusuf, saya sudah dengar kesempurnaan ilmumu. Tapi
biarpun begitu, baiknya kita bertiga mengunjungi dan menuntut ilmu pada
wali-wali di tanah Mangkasarak” jawab Yusuf, baiklah kalau nenek menghendakinya.
Setelah
persediaan sudah cukup, dan ditetapkan waktu yang baik, perjalanan pun
dimulai. Pertama mereka menuju gunung Bulusaraung. Dari sana mereka
lanjut ke gunung Latimojong, kemudian langsung menuju ke gunung
Bawakaraeng. Di gunung Bawakaraeng, mereka bertemu dengan wali-wali. Lalu
Yusuf wali-wali ; “Hai, Yusuf, sudahkah engkau dari gunung Bulusaraung
dan Latimojong, lalu engkau tiba disini ?” Yusuf menjawab “Benarlah
demikian sudah semua saya kunjungi. Sekarang saya berharap dianugrahi
ilmu barang sedikit”.
Dan
belajarlah ketiga ulama itu kepada wali-wali tersebut. Tiada berapa
lama, maka sepakatlah wali-wali dan berkata : “Cukuplah sudah ilmu
pengetahuanmu di tanah Mangkasarak, dan sebaiknya kamu berkunjung ke
tanah suci, naik haji untuk menguji tentang kecukupan ilmumu itu dan
menguji pendapatmu”. Selesai wali-wali itu berkata, maka ketiganya mohon
diri pulang ke negeri Gowa.
Ada
cerita yang melegenda di masyarakat tentang ketinggian ilmu I Datuk
Paggentungang. Menurut H.Majja, pernah suatu waktu seorang ulama datang
menemui Datuk, setelah keduanya selesai mengobrol tibalah waktu shalat.
Saat itulah ada kejadian yang tak lazim saat keduanya
melaksanakan shalat. Ulama itu sembahyang di atas daun pisang, sedangkan
Datuk justeru sembahyang di bawah daun pisang.