Gerakan Batara Gowa I Sangkilang (1776 M)
Pada masa kekuasaan Amas Madina
(1753–1767 M) timbul usaha untuk bersatu menentang VOC. Baik Gowa maupun
Bone menganggap VOC telah terlalu banyak campur tangan dalam hidup
dan kehidupan kerajaan-kerajaan yang ada. Hal itu tampak ketika Raja
Bone, La Temmassonge Datu Baringeng (1742-1775), mengusulkan untuk
memberikan gelar “Batara” kepada Amas Madina. Akhirnya, pejabat
tinggi Kerajaan Gowa dan Bate Salapang (Dewan Kerajaan) mengukuhkan
gelar “Batara” kepada Amas Madina”, pada bulan Juni 1758. Pemberian
gelar itu diharapkan dapat mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Gowa di
masa lalu, karena gelar Batara mengandung arti Tuhan atau Dewa.
Pada tanggal 2 Agustus 1766, Batara Gowa
Amas Madina meninggalkan Gowa menuju Bima, Sumbawa. Kepergian Amas
Madina tanpa pemberitahuan sama sekali, sehingga menimbulkan pertanyaan
besar bagi pembesar Kerajaan Gowa. Dilakukan upaya untuk mencari dan
membujuknya kembali, namun semuanya gagal. Tanpa diduga, pada bulan
April 1767, pihak Kompeni Belanda mengumumkan bahwa Batara Gowa bersama
Cella Bengkulu, telah ditangkap karena telah melakukan perampokan di
perairan Salaparang, Lombok. Diputuskan bahwa Amas Madina diasingkan ke
Ceylon.
Atas kabar tersebut, pada tanggal 23
April 1767, I Mallisudjawa Daeng ri Boko lebih dikenal dengan Arung
Mampu, saudara Batara Gowa Amas Madina, dilantik menjadi Raja Gowa
ke-27. Namun, setelah berkuasa kurangl ebih 2 tahun, ia memutuskan untuk
meninggalkan istananya dan menetap di Barombong. Hal ini dilakukan
karena beredar desas-desus bahwa ia merampas tahta Kerajaan Gowa dari
saudaranya sendiri. Mangkubumi Kerajaan Gowa ketika itu, I Temassongeng
Karaeng Katangka menggantikannya sebagai pejabat raja, hingga pada
tanggal 20 Agustus 1770, dinobatkan oleh Bate Salapang (Dewan Kerajaan) menjadi Raja Gowa ke-28 dengan gelar Sultan Zainuddin.
Pada tahun 1776, timbul satu masalah
besar dalam Kerajaan Gowa. Pada waktu itu muncul satu gerakan
pemberontakan yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama I
Sangkilang. Gerakan Pemberontakan berawal dengan munculnya sebuah
perahu layar di muara sungai Sanrabone. Perahu itu berlabuh pada satu
tempat yang sedang melangsungkan pesta. Di atas “Sangkilang” (balok
melintang di buritan perahu) duduk seseorang yang berperangai aneh.Ia
tidak mau menyebut siapa namanya, seperti layaknya orang bisu.
Masyarakat menamainya I Sangkilang.
I Sangkilang bersama pengikutnya, turun
menghadiri pesta itu. Dengan pakaian ala seorang penguasa besar (raja),
ia tampil ke depan memperkenalkan bahwa dirinya adalah Batara Gowa yang
pernah diasingkan ke Ceylon. Pernyataan itu menggemparkan mereka yang
hadir. Berita itu menyebar dan menggemparkan Kerajaan Gowa. Pro dan
kontra tentang hal ini meluas. Ada kerajaan-kerajaan yang terletak di
pedalaman mengakui hal itu dan menunjukkan kesetian pada I Sangkilang.
Berita tentang kembalinya Batara Gowa
dan berpihaknya sebagian raja-raja di pedalaman Gowa kepada tokoh yang
menyatakan diri sebagai Batara Gowa akhirnya terdengar oleh Raja Gowa,
Sultan Zainuddin. Sultan Zainuddin mengutus Karaeng Pattung untuk
menyelidiki kebenaran berita itu. Karaeng Pattung segera menemui tokoh
yang menyatakan diri Batara Gowa itu. Setelah pertemuan itu, Karaeng
Pattung juga mengakui dan meyakini bahwa tokoh itu benar adalah Batara
Gowa Amas Madina. Atas kejadian tersebut, Sultan Zainuddin merasa
kedudukannya terancam dan memerintahkan membunuh Karaeng Pattung.
Terbunuhnya Karaeng Pattung justru semakin memperluas pengaruh dan
memperbanyak pengikut I Sangkilang. Bahkan muncul pengakuan dari
keluarga Batara Gowa, seperti Karaeng Ballsari, Arung Mampu, Karaeng
Kanjilo, dan Karaeng Sapanang, bahwaI Sangkilang tidak lain adalah
Batara Gowa Amas Madina.
I Sangkilang yang telah berhasil
memperluas pengaruh dan memperbanyak pengikut, tidak segera melakukan
gerakan pemberontakan secara besar-besaran. Ia lebih cenderung
mendahulukan usaha mempersatukan kekuatan dan memperluas wilayah
pengaruhnya ke daerah-daerah di bagian Selatan (Zuider Provincie),
seperti Bangkala, Binamu, Laikang, dan Polongbangkeng. Daerah-daerah
ini statusnya sebagai kerajaan-kerajaan yang dipinjamkan Kompeni Belanda
kepada Bone.
Pada bulan Mei 1779, I Sangkilang dan
pasukannya menyerang Belanda di Maros. Mereka berhasil menguasai pos
pertahanan Kompeni Belanda dan beberapa distrik lainnya. Namun
demikian, keberhasilan I Sangkilang menguasai Maros berlangsung
singkat, karena beberapa hari kemudian pasukan Bone di bawah pimpinan
Datu Baringeng berhasil mengambil alih. Ketika itulah, pasukan I
Sangkilang bergerak ke arah Tallo. Ratu Tallo Sitti Saleha, menyambut
baik kedatangan I Sangkilang, bahkan menyatakan bahwa Tallo terlepas
dari Kerajaan Gowa dan untuk penyelenggaraan pemerintahannya diserahkan
kepada I Sangkilang. Penguasaannya terhadap Tallo tidak berlangsung
lama, karena Tallo kemudian diambil alih dan dikuasai oleh sekutu
Kompeni Belanda yaitu Datu Tanete Arung Pancana.