Tala’ Salapang: Ihwal Sembilan Pokok Lontar Pungunjuk Damai di Makassar

Tala’ Salapang: Ihwal Sembilan Pokok Lontar Pungunjuk Damai di Makassar


Tala’ Salapang (dikutip dari majalahversi.com)
Sebagian orang luar mengidentikkan kekasaran orang Makassar pada nama kota dan entitas suku yang melekat pada mereka, MAKASSAR. Merujuk kepada umumnya pola bentukan kata dalam bahasa Indonesia, mereka kemudian mengeja Makassar sebagai kata “Kasar” yang diberi imbuhan me- yang menjadikannnya kata kerja aktif. Maka muncullah pemahaman bahwa Makassar secara historis dibentuk dan dihuni oleh orang-orang yang gemar melakukan kekasaran.
Kecenderungan pemahaman berbau linguistik ini dapat dipahami sesaat meski cacat sejarah. Melekatnya generalisasi bahwa orang-orang Makassar cenderung kasar dan keras, dengan mengambil sampel pengalaman-pengalaman buruk berkenaan dengan orang Makassar tentu menjadi pembenaran. Ditambah lagi dengan eksploitasi kekerasan yang disiarkan rutin oleh media massa terutama TV nasional yang ‘rajin’ meliput drama kekerasan di Makassar menjadi penguat pemahaman sesat ini.
Ketika berada di linikala sejarah, sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri. Sebuah teks selalu terikat pada tafsir peristiwa yang mengukuhkan. Tafsir itu kita sebut saja konteks. Konteks selalu membubuhkan pendalaman akan musabab munculnya teks tersebut. Walaupun tak jarang sebuah teks memiliki konteks yang beragam. Konteks-konteks yang beragam ini bisa saja muncul karena banyaknya penutur yang menempelkan kisah pada teks berdasarkan perspektif subyektifnya, kemudian dengan caranya sendiri sampai ke ruang baca kita.
Kebenaran konteks bisa kita saring dengan telaah historis dengan mencocokkan silsilah dan juga pemaknaan yang ada di dalamnya. Kedua hal ini, dalam agama Islam sering diaplikasikan pada telaah hadist dan disebut sebagai telaah sanad dan matan. Dalam ilmu umum kita mengenal heremeneutika, cabang ilmu yang mempelajari tentang tafsir atas teks-teks suci.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba membaca ulang tafsir-historis kekerasan di Makassar dan semoga menjadi semacam petunjuk jalan yang benar dan terang benderang bagi yang masih memiliki pemahaman stereotyp atau generalis tentang kekerasan yang dihubungkan dengan masyarakat kota Makassar, termasuk juga entitas suku-budayanya.

Riwayat Bate Salapang, Sembilan Negeri Yang Tersumpah
Sejarah peradaban Makassar dimulai pada abad 13 Masehi dengan munculnya sembilan negeri berdaulat yang menghuni wilayah yang kini menjadi habitat suku Makassar, yakni di ujung selatan pesisir Barat semenanjung Sulawesi. Sembilan negeri kecil itu yakni Tomboloq, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Dataq, Agang Jeqneq, Bissei, Kalling, dan Serroq. Masing-masing Bate’ ini dipimpin oleh raja lokal dengan struktur sosial dan adat istiadat tersendiri.
Catatan mengenai keberadaan Bate Salapang mulai ditulis oleh Mr Rolph Block, dalam buku History of the islands of Celebes, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Makassar tahun 1808,
Pada awal berdirinya, masyarakat sembilan negeri itu hidup rukun berdampingan dengan damai. Mereka hidup dari pertanian dan perikanan, mengingat wilayah kediaman mereka berada di hamparan dataran subur bermula di lereng Gunung Bawakaraeng hingga ke barat menghadap bibir Selat Makassar, diapit Sungai Tallo di utara dan Sungai Jeneberang di selatan. Tidak mustahil bahwa antar masyarakat negeri-negeri kecil itu memilki keterikatan dan kekerabatan, baik oleh hubungan darah maupun persaudaraan karena perkawinan.
Sembilan negeri berdaulat ini kemungkinan juga menjalin komunikasi dan hubungan dagang dengan negeri-negeri tetangga, terutama yang masih dalam satu pulau seperti kerajaan-kerajaan awal di utara: kerajaan Luwu (masa La Galigo), kerajaan Cina (Pammana, Wajo), Mario (Soppeng) dan Siang (Pangkajene). Kerajaan-kerajaan ini merupakan kerajaan-kerajaan awal yang pernah berdiri di Sulawesi Selatan sebelum abad 13M yang kesemuanya didapat dari sumber tunggal epos La Galigo. Hubungan antar sembilan negeri Makassar dan kerajaan lainnya diperoleh dari ‘tafsir’ atas teks yang termaktub di epos La Galigo, ketika menceritakan utusan raja-raja negeri tetangga yang menghadiri upacara peresmian istana baru Luwu di Wareq: WEWANRIU, GIMA, SAWAMMEQGA, TOMPOQTIKKA, WADENG, MALOKU, SAMANG, TESSILILU, METTOANGING, TARANATI, MARAPETTANG, MARUPAPA, MALLATUNRUNG, KELLING, SUNRA RI LAU, SUNRA RI AJANG, MARENCAWA, SABURI, MEKKA RI AJANG.
Beberapa pengamat sejarah Makassar menafsirkan bahwa daerah-daerah yang disebut dalam teks La Galigo merujuk ke negeri-negeri purba Makassar: Sawammeqga (Saumata), Kelling (Kalling), dan penyebutan Mekka ri Ajang (Mekka di Barat) yang ditengarai merujuk ke Makassar yang memang letaknya di sebelah barat kerajaan Luwu. Bukan tak mungkin, nama Mettoanging yang pernah menjadi nama stadion markas tim sepakbola PSM juga merupakan nama yang merujuk ke negeri di Makassar dahulu. Meski demikian, Fachruddin Ambo Enre dalam disertasinya yang dibukukan “Ritumpana Welengrenge” (Yayasan Obor, 1999) menyatakan dugaannya bahwa Mekka adalah nama Mekkah yang dikenal sekarang sebagai tanah suci umat Islam, dan Kelling adalah nama untuk daerah Coromandel di India Selatan. Meskipun dalam

Postingan populer dari blog ini

teks panjang Aru Tubaraniya Ri Gowa

SILSILAH RAJA-RAJA GOWA

KELONG TAU RIOLO (AGAMA)