Jejak Kristen di Tanah Bugis Abad 16
Jejak Kristen di Tanah Bugis Abad 16

Peta Sulawesi buatan Protugis tahun 1633 – yg dilingkari wilayah Siang dan Ajatappareng (Dari Buku Stephen Druce)
Masyarakat Bugis dikenal sebagai
penganut Islam yang taat. Saking fanatiknya, bagi sesiapa yang keluar
dari agama Islam konon akan mendapat hukuman sosial; disingkirkan dari
hubungan kekerabatan dan terusir dari lingkungan. Meski mungkin saat ini
tak begitu berlaku lagi, namun integrasi Islam ke dalam pranata sosial
masyarakat Bugis masih terasa lekat.
Namun sebelum mengalami Islamisasi,
mereka pernah mula-mula memeluk agama Kristen Katholik yang didakwahkan
oleh pedagang Portugis. Meski diduga berlatarbelakang kepentingan
politis, nyatanya raja-raja di kerajaan Siang (kini Bungoro, Pangkep)
dan kawasan Ajatappareng pernah dibaptis dalam tradisi Katholik. Proses
peralihan kepercayaan patturioloang Bugis ke iman Kristen
memang berlangsung singkat dari tahun 1544-1547, namun sebaran agama
Kristen mencakup jumlah penduduk yang cukup banyak saat itu, tak kurang
dari 340,000 jiwa.
Kerajaan Siang dan Konfederasi Ajatappareng
Ketika gelora petualangan menghinggapi
benak bangsa Eropa untuk mencari sumber emas dan rempah-rempah, seorang
Portugis bernama Antonio de Paiva singgah di Kerajaan Siang pada tahun
1544. Setelah melakukan diskusi teologis yang hangat, de Pavia kemudian
membaptis Datu Suppa La Putebulu beserta anggota keluarganya, berikut
Raja Siang beberapa hari setelahnya. Hubungan dua bangsa berbeda ini
juga menghasilkan pengiriman empat pangeran Bugis menyertai Antonio de
Paiva untuk dididik di Sekolah Jesuit di India, di samping permintaan
raja Siang dan Suppa agar Gubernur Portugis di Malaka mengirim pendeta
dan bantuan militer. Kisah ini dicatatkan oleh de Pavia sebagaimana
dituliskan oleh Stephen C Druce dalam bukunya The Lands West of The Lakes – History of Ajatappareng, (Penerbit KITLV-2009).
Yang disebut Ajatappareng adalah konfederasi kerajaan-kerajaan Bugis
yang berdiam di tanah subur sebelah barat danau Sidenreng yang terdiri
dari Sidenreng, Rappang, Suppa, Bacukiki, Alitta, dan Sawitto.
Portugis rupanya hanya mengindahkan
permintaan pertama. Setahun setelah kedatangan de Paiva, sebuah misi
khusus kekristenan dipimpin pendeta Vicente Viegas berhasil membaptis
penguasa Alitta dan Bacukiki. Kronik lainnya dicatat oleh
Manuel Godinho de Eredia, cucu La Putebulu dari ayah seorang Portugis,
menyebutkan bahwa turut serta dalam pembaptisan ini adalah raja Sawitto
dan Sidenreng. Manuel Godinho de Eredia sendiri, sempat mengenyam
pendidikan seminari katholik di Goa dan kemudian menjadi petualang dan
ahli geografi terkenal. Lelaki portugis keturunan bugis ini juga dikenal
sebagai penulis sejarah dan orang pertama yang mengindikasikan adanya
benua Australia di selatan kepulauan Hindia, yang mana mungkin diperoleh
dari cerita-cerita leluhurnya.
Mengingat kekerabatan antara penguasa
kawasan Ajatappareng yang saling berkelindan baik dari hubungan darah
maupun politis menguatkan dugaan bahwa seluruh raja-raja di Ajatappareng
telah memeluk agama Katholik pada tahun 1545, sementara agama Islam
baru diproklamirkan sebagai agama resmi Gowa-Tallo pada tahun 1605.
Nalar stratifikasi sosial orang Bugis yang cenderung menganut sistem
patron-klien memungkinkan peralihan massal keyakinan masyarakat Siang
dan Ajatappareng ke dalam pelukan agama baru ini mengikuti rajanya.
Inilah persentuhan awal yang terjadi antara Saoraja
(istana) Bugis dengan kepercayaan luar. Meski Islam sudah dikenal di
kawasan ini sejak terbukanya hubungan dagang antara Siang dengan Malaka
tahun 1490, namun peralihan resmi dari kepercayaan kuno ke agama formal
asing masih belum menemukan momentumnya hingga tahun 1544 tersebut.
Apalagi pola patron-klien yang sangat kental mensyaratkan pengakuan
politis dari pihak istana agar kepercayaan luar itu diterima secara
terbuka oleh masyarakatnya.
Kristenisasi Kepercayaan Patturioloang
Druce maupun Christian Pelras (Manusia
Bugis, 2006) menuliskan bahwa tak mudah menaklukkan hati para bangsawan
Bugis yang masih memeluk kepercayaan patturioloang berdasar
mitologi Tomanurung yang merekat kuat sebagaimana bisa ditemukan dalam
epos La Galigo. Namun, diskusi teologis yang berlangsung antara de Paiva
dengan Datu Suppa La Putebulu dan Raja Siang (tak disebutkan namanya)
menyiratkan adanya “penyesuaian” antara dua kepercayaan itu.
Perbandingan peristiwa diangkatnya
Kristus ke langit dengan persitiwa yang mirip dialami oleh Batara Guru
ketika meninggalkan dunia tengah menuju Botting Langi’ di bagian akhir
epos La Galigo menjadi salah satu bentuk penyesuaian itu. Juga peran
para orang suci (the cult of saints) termasuk Nabi Hermes
sebagai perantara komunikasi manusia dengan Tuhan, menyiratkan peran
yang sama yang diemban oleh para dewata dalam kepercayaan patturioloang Bugis yang menghubungkan Dewata Sisine – konsep Tuhan dalam mitologi Galigo, dengan manusia. Demikian juga konsep tomanurung
yang menurunkan darah dan kuasa perlindungan simbolik terhadap
raja-raja Bugis dipersamakan perannya dengan Nabi Adam atau Santo Yacob.
Juga perihidup pendeta Katholik yang hidup selibat dimirip-miripkan
dengan pendeta bugis: Bissu, penafsir Lontara dan penjaga pusaka kerajaan (arajangeng) yang juga tak menikah.
Penyesuaian-penyesuaian ajaran itu
memungkinkan para raja Bugis untuk mencerna ajaran Katholik tanpa perlu
meninggalkan mitos-mitos patturioloang yang sudah mendarah daging dalam kepercayaan mereka. Selain itu, “kristenisasi” mitologi patturioloang nyatanya tak
mengancam posisi politis para bangsawan tersebut sehingga mereka tetap
memiliki peran dominan yang disimbolkan sebagai turunan tomanurung sebagaimana kepercayaan yang dipelihara dalam pengetahuan simbolik masyarakat Bugis.
Perlu dicatat bahwa kala itu Datu Suppa
dan Raja Siang sebenarnya sudah mengenal keberadaan agama Islam yang
dianut oleh masyarakat Melayu yang sudah menetap di Siang sejak
ditaklukkannya Malaka oleh Portugis tahun 1511. Sebelum dibaptis secara
Katholik, Datu Suppa bahkan sempat mempertanyakan alasan bangsa Portugis
memerangi orang Islam di Malaka yang menyiratkan bahwa beliau sudah
memiliki informasi yang cukup mengenai dua agama langit ini sebelumnya.
Motif Politik dan Dukungan Militer
Penerimaan penguasa Suppa dan Siang
terhadap ajaran Katholik kemungkinan juga dipengaruhi oleh kepentingan
politis selain adanya irisan ajaran keduanya. Pada pertengahan abad 16,
Suppa dan Siang sedang dalam masa genting karena memburuknya keamanan di
kawasan itu. Keduanya sedang membutuhkan aliansi militer yang kokoh
untuk memperkuat dominasinya di pantai barat Sulawesi, sehingga Portugis
– yang menaklukkan Malaka pada beberapa tahun sebelumnya, menjadi
pilihan yang strategis untuk dijadikan mitra militer di kawasan ini.
Kerajaan Siang dan Suppa beserta konfederasi Ajatappareng lainnya
diketahui merupakan kerajaan yang saling bersahabat. Berdasarkan
pertimbangan politis inilah, peralihan iman ke Kristen mengundang
dukungan Portugis untuk memperkuat kedudukan mereka di kawasan Sulawesi
Selatan dan sekitarnya.
Menurut kronik de Paiva, Kerajaan Siang
saat itu baru saja usai memadamkan pemberontakan sejumlah kerajaan
bawahannya dan mempertahankan hegemoninya di pantai Mandar dan sepanjang
Selat Makassar hingga teluk Kaili di utara yang kaya akan kayu cendana
dan emas. Sedang kawasan Ajatappareng juga menghadapi ancaman kerajaan
Wajo dari arah timur. Belum lagi bertumbuhnya kerajaan Gowa di bagian
selatan yang sedang berupaya melakukan ekspansi militer menguasai
wilayah pantai selatan semenanjung ini. Kekuatan militer Kerajaan Islam
Ternate juga menjadi bahan pertimbangan mengingat mereka sudah menguasai
Buton di tenggara pada tahun 1542. Karenanya Stephen Druce menengarai
bahwa motif Datu Suppa dan Raja Siang memeluk Kristen bukanlah murni
berlatar religiusitas, tapi lebih karena kepentingan politis.
Nasib Akhir Kristen Siang dan Ajatappareng
Meski Siang dan kawasan Ajatappareng
cukup menjanjikan sebagai lahan penyebaran agama bagi pendeta Portugis,
tampaknya Bugis tak menjadi prioritas yang penting bagi mereka. Perang
yang berkepanjangan antara kerajaan-kerajaan kecil di kawasan itu
memperbesar resiko bagi Portugis dibandingkan Maluku yang lebih kaya
komoditas rempah-rempah. Apalagi tak lama berselang, sebuah peristiwa
menegangkan membuat hubungan keduanya terganggu, yakni dilarikannya
seorang putri Datu Suppa oleh perwira Portugis yang kemudian dinikahi
secara resmi di Malaka. Dari pernikahan ini lahir Manuel Godinho de
Eredia, penulis dan ahli geografi yang disebutkan sebelumnya. Setelah
peristiwa itu, para pendeta Portugis segera angkat kaki dan tak pernah
lagi kembali hingga tahun 1584 yang juga tak begitu lama. Meski
demikian, Datu Suppa tetap memeluk agama Kristen hingga mangkatnya,
menurut penuturan Manuel Godinho de Eredia, peranakan yang lahir dari
pasangan perwira Portugis dengan putri Datu Suppa tersebut.
Sebaran agama Kristen kemudian terhenti
total di kawasan Ajatappareng seiring memudarnya kekuasaan mereka. Juga
tak ada kabar mengenai kepulangan para pemuda Bugis yang dititipkan
untuk dididik secara Katholik di Sekolah Jesuit di India kala itu.
Apalagi Portugis rupanya tidak sungguh-sungguh mengirimkan bantuan
militer kepada Suppa dan Siang hingga kemudian ditaklukkan Karaeng
Lakiyung Tunipalangga, raja Gowa Tallo yang naik tahta tahun 1546-1565.
Islam Kemudian
Selepas masa yang singkat kurang dari
tiga tahun itu, tak ada lagi kronik yang menegaskan keberlanjutan agama
Kristen di Konfederasi Ajatappareng. Kemungkinan besar bahwa kawasan itu
kembali lagi ke kepercayaan awal patturioloang hingga kemudian
mengalami Islamisasi melalui ekspansi militer kedua kalinya oleh Sultan
Alauddin, raja muslim pertama di kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1608.
Islam sendiri menjadi agama resmi kerajaan Gowa-Tallo setelah Karaeng
Matoayya mengikrarkan diri sebagai muslim dengan bimbingan Datuk Ri
Bandang pada tahun 1605.
Kerajaan Siang sendiri kemudian memudar
atau melebur ke dalam kerajaan Gowa-Tallo pada periode yang sama. Bahkan
dalam peta Sulwesi yang dibuat oleh orang Portugis tahun 1633, Kerajaan
Siang sudah tak lagi tampak. Setelahnya, orang Bugis termasuk Siang dan
Ajatappareng memeluk agama islam secara massif. Hingga kini, jejak
Kristen tak ditemukan lagi dalam peradaban mereka kecuali termaktub
dalam catatan perjalanan orang-orang Portugis di abad 16M. Jumlah orang
Bugis yang menganut agama Kristen hingga kini boleh dibilang sangat
sedikit, karena sepertinya Islam sudah merasuk menjadi identitas
kultural orang Bugis itu sendiri.
Referensi Tulisan:
- Stephen C Druce, The Lands West of The Lakes – History of Ajatappareng Kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE, (Penerbit KITLV-2009)
- Christian Pelras, Manusia Bugis (Penerbit Lontar, 2006)- Ian Caldwell, Power, State and Society among The Pre-Islamic Bugis, KITLV 151 (1995), no: 3, Leiden, 394-421
Referensi Foto:
- Stephen C Druce, The Lands West of The Lakes - (Penerbit KITLV-2009) – halaman 328 & 330 : Peta Sulawesi Buatan Portugis tahun 1611 dan 1633.