Raja Gowa XIV
I MANGA’RANGI DAENG MANRABBIA
SULTAN ALAUDDIN
Penobatan I Manga’rangi Daeng Manrabbia
sebagai Raja Gowa XIV masih tergolong muda. Usianya saat itu baru
memasuki 17 tahun. Pengangkatannya itu dilakukan atas keputusan Bate
Salapanga.
Karena belum Dewasa, maka Raja Gowa I
Manga’rangi mempercayakan pada pamannya I Mallingkaang Daeng Nyonri
Karaeng Katang atau Karaeng Matowaya selaku Raja Tallo juga Mangkubumi
Kerajaan Gowa saat itu untuk menjalankan roda pemerintahan.
Ibunda Daeng Manrabbia bernama I Sambo
Daeng Niasseng, adalah saudara kandung dari Mangkubumi Kerajaan Gowa I
Mallingkaang Daeng Nyonri.
Kedatangan tiga Dato dari Minangkabau,
masing-masing Dato ri Bandang, Dato Pattimang dan Dato Tiro untuk
menyebarkan Islam di Kerajaan Gowa dan beberapa kerajaan di wilayah
timur Nusantara ini. Gayung bersambut misi tiga Dato diterima baik di
Gowa. Dato ri Bandang menyebar agama Islam di Gowa, Dato Pattimang di
Luwu dan Dato ri Tiro di Bulukumba.
Raja Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia
bersama Mangkubuminya saat itu menerima baik misi Abdul Makmur Khatib
Tunggal Dati ri Bandang ini untuk menjadikan agama Islam sebagai agama
Kerajaan di Butta Gowa. Sebagai kecintaan terhadap Islam, Raja Tallo I
Mallingkaang pertama-tama mengucapkan kalimat Syahadat kemudian disusul
oleh Raja Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia dan secepat itu pula, Islam
menyebar di seluruh pelosok kerajaan. Sebagai bukti bahwa Islam sudah
menjadi agama kerajaan di Gowa, ditandai dengan Sembahyang Jum’at
pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 atau 19 Rajab 1016 H.
Setelah memeluk Islam, I Manga’rangi
Daeng Manrabbia mendapat gelar Islam yakni Sultan Alauddin dan
Mangkubuminya I Mallingkaang Daeng Nyonri mendapat gelar Islam Sultan
Abdullah Awwalul Islam.
Sebelum Islam masuk, para raja di
Sulawesi Selatan pernah membuat perjanjian yang isinya : Siapa yang
menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahukan
tentang jalan itu kepada Raja-raja lainnya.
Namun perjanjian seperti itu banyak yang
disepelekan oleh sebagian Raja-Raja di Sulsel. Sultan Alauddin yang
menjadikan Gowa sebagai pusat penyebaran Agama Islam di wilayah timur
nusantara ini, terus mengembangkan Islam baik secara damai maupun
perang.
Beberapa Kerajaan di daerah Bugis,
seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lainnya menolak keras ajakan
Raja Gowa. Akibat penolakan itu, Raja Gowa terpaksa angkat senjata dan
mengirim Bala Tentaranya ke daerah itu. Tahun 1608 beberapa pasukan
gabungan Kerajaan Bugis itu mengalahkan Gowa, namun pada tahun
berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam
sebagai agama Kerajaannya. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo
tahun 1610, Bone tahun 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu
disebut Musu Assalengeng (Perang Islam).
Raja yang pertama memeluk Islam di Tanah
Bugis adalah Arung Matowa Wajo ke-XV La Sangkuru Patau dengan gelar
Sultan Abdul Rahman, Datu Soppeng XI BeowE, Raja Bone XI Latenriruwa
MatinroE ri Bantaeng yang bergelar Sultan Adam. Penerimaan Islam dari
para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.
Di Bidang Ekonomi dan perdagangan, Gowa
ditangan Sultan Alauddin dan Mangkubuminya I Mallingkaang berkembang
semakin pesat. Hal tersebut karena Sombaopu berubah menjadi Dermaga
Internasional yang telah bayak didatangi oleh Pedagang dari luar negeri,
seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol.
Kedatangan orang Belanda di Tanah Gowa,
tak hanya berdagang semata, mereka ingin melakukan monopoli perdagangan.
Bujukan Belanda terhadap Raja Sultan Alauddin untuk bersedia melakukan
kerjasama dengannya ditolak mentah-mentah oleh Raja, seperti halnya pada
tahun 1607 Laksamana Belanda Cornelis Metalief mengutus
Abraham Matyas untuk menghadap Raja Gowa. Belanda minta agar sama-sama
dengan Gowa menaklukkan Banda supaya Belanda bisa melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah di sana. Ajakan ini jelas ditolak Sultan.
Bahkan Sultan secara tegas mengatakan kerajaannya adalah Negara terbuka
untuk semua bangsa.
Tahun 1615 datanglah kapal Belanda Enkhuyszen berlabuh di Sombaopu. Abraham Sterk, Kepala Kantor dagang Belanda di Sombaopu mengadukan Scheepsraat kepada
awak bahwa ia sering diganggu oleh orang Spanyol dan Portugis. Sedang
Sultan melindunginya. Atas pengaduan itu Belanda tutup kantor dagangnya
di Sombaopu. Untuk balas dendam, maka Abraham Sterk De Vries menjalankan
tipu muslihat dengan mengajak pembesar Gowa untuk datang ke Kapal
Enkhuyzen. Setelah semua tamu diatas, Pembesar Gowa dilucuti senjata
sehingga terjadi perkelahian. Dalam peristiwa itu, ada dua keluarga
Sultan tertawan diatas kapal dan dibawah ke Banten Jawa Barat.
Pada tahun 1616 kedua keluarga Sultan
yang ditawan dikembalikan ke Sombaopu melalui kapal De Eendrach. Ketika
Juru Mudi dan awak kapal berjumlah 15 orang itu turun dari kapal, mereka
memperlihatkan tingkah laku yang congkak. Rakyat Gowa sangat marah,
apalagi mengingat peristiwa yang terjadi tahun 1615 silam, membuat
prajurit Gowa mengambil tindakan. Mereka lalu membunuh semua awak Kapal
Eendrach itu.
Walau dihadapkan dengan musuh Belanda,
Sultan tetap berupaya memperluas Wilayah kekuasaannya, juga menyebar
Islam. Tahun 1616 Panglima Perang Kerajaan Gowa Lokmo Mandalle menduduki
Bima. Tahun 1618 Sumbawa juga diduduki Karaeng Marowanging, juga salah
seorang Panglima Perang Gowa. Kemudian menusul pendudukan atas Buton,
Muna dan pulau-pulau Sula diduduki tentara Kerajaan Gowa. Kemudian
Sultan juga berhasil menguasai Maros, Pangkajene, Labbakkang, Segeri dan
beberapa daerah disekitarnya. Bahkan prajurit Kerajaan Gowa berhasil
menguasai Manado, Gorontalo dan Tomini.
Sekitar tahun 1627 – 1630 Armana perang
Kerajaan Gowa membantu rakyat Maluku untuk membebaskannya dari
cengkraman Belanda. Sebab Belanda telah banyak memusnahkan pohon cengkeh
dan melakukan penyiksaan terhadap masyarakat di sana.
Setelah sekian lama memerintah,
Mangkubumi Kerajaan Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri wafat pada hari
Rabu, 1 Oktober 1636 dan beliau mendapat gelar Tumenanga ri Agamana
(Raja yang wafat didalam agamanya). Sedang Sultan Alauddin wafat pada 15
Juni 1639 setelah 45 tahun lamanya mengendalikan pemerintahan. Beliau
mendapat gelar Tumenanga ri Gaukanna (yang mangkat dalam kebesaran
kekuasaanya).