Raja Gowa XII
I Manggorai Daeng Mammeta
Sejak I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa dinobatkan
sebagai Raja Gowa XII, beliau menggalang persaudaraan dengan Raja Bone
La Tenrirawe Bongkange yang ditandai dengan perjanjian Persaudaraan
kedua belah pihak.
Isi perjanjian itu bewrbunyi;
Musuh-musuh seseorang diantara mereka itu juga adalah musuh-musuh
bersama dan orang-orang Gowa yang berkunjung ke Bone adalah mereka itu
seperti datang ke Negerinya sendiri dan orang-orang Bone berkunjung ke
Gowa bagaikan datang ke negerinya sendiri.
I Manggorai Daeng Mammeta naik tahta
dalam usia 20 tahun. Beliau diperisterikan oleh sepupunya yakni anak
dari pamannya Karaeng Tunipallagga Ulaweng.
Semasa pemerintahannya, baginda telah
banyak menjalin hubungan persahabatan dengan beberapa kerajaan di
Nusantara ini, termasuk kerajaan di Negeri Jiran, seperti Raja Mataram,
Raja Banjarmasing, Kerajaan di Pulau Jawa, Balambangan, Raja-raja di
kepulauan Maluku, Raja di kepulauan Timor, Raja Johor, Raja Pahang, Raja
Malaka, Patani, Thailan dan masih banyak lagi.
Prof. DR. HM. Saleh Putuhena pada
makalah seminar tentang sejarah Hubungan Maluku dan Kerajaan Gowa, pada
bulan Juni 2006 mengungkapkan, pada tahun 1580 Sultan Ternate Baabullah
berkunjung ke Sombaopu Ibukota Kerajaan Gowa. Kedua Raja itu mengadakan
perjanjian perseketuan (Bondgenooschap). Dari perjanjian itu, Sultan
Ternate menyerahkan kembali Pulau Selayar ke Gowa yang pernah
dikuasainya. Karena misi yang diemban Sultan Ternate adalah menyebarkan
Agama Islam, maka Sultan Baabullah minta agar Gowa membangun Masjid
pertama kali di Mangallekana yang disebut Masjid Mangallekana.
Mengenai Agama yang dianut oleh Raja I
Manggorai Daeng Mammeta, masih simpang siur, ada yang mengatakan bahwa
beliau masih menganut ajaran animisme dengan berdasar pada sejarah
masuknya Islam di Gowa pada tahun 1605 dimana saar itu Raja Gowa yang
pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alauddin dan Mangkubuminya
Mallingkaang Daeng Nyonri. ini berarti I Manggorai Daeng Mammeta sudah
memakai gelar Islam yakni Sultan Nuruddin. Ini menandakan bahwa Raja I
Manggorai menganut agama Islam.
Atas prakarsa beliau itu pula maka
Masjid Katangka dibangun dan menganjurkan umat Islam untuk menunaikan
Ibada Haji serta menggalakkan pengajian.
Keberadaan Masjid di Mangallekana itu
juga menjadi daya tarik bagi pedagang yang beragama Islam untuk masuk ke
Dermaga Sombaopu, seperti dari negeri Pahang, Patani dan Johor juga
negeri Arab.
Setelah sepuluh tahun lamanya memegang
tampuk pemerintahan di Gowa, I Manggorai Daeng Mammeta mulai tidak
menepati perjanjian persaudaraan dengan Raja Bone, sehingga timbul
peperangan yang terjadi dikedua belah pihak. Wajo dan Soppeng masih
berada di bawah pengaruh kekuasaan Gowa.
Tekanan Gowa terhadap terhadap Bone,
Soppeng dan Wajo membuat ketiga Kerajaan Bugis itu mengadakan
perseketuan di Timurung. Raja Bone La Tenrirawe Bongkange bersama Raja
Wajo La Mungkace Toudamang MatinroE ri Batana dan Raja Soppeng Ma
Mappaleppek PatolaE. Persekutuan yang mereka bentuk itu terkenal dengan
sebutan TellupoccoE. Tujuan persekutuan ini adalah untuk menentang
Supremasi Kerajaan Gowa.
Tahun 1583 Gowa menyerang Wajo tapi
tidak berhasil, Dua tahun kemudian (1585) Gowa menyerang Bone tetapi
juga tidak berhasil. Pada tahun 1590 Gowa mengulangi lagi serangan ke
Wajo, tapi mengalami kegagalan dan malah Karaeng I Manggorai nasibnya
menyedihkan.
Dalam perjalanan beliau ke Gowa dengan
naik kapal layar dari Pare-pare dengan maksud, dari sana melalui
Ajattaparang akan masuk ke Wajo, tiba-tiba Baginda diamuk oleh salah
seorang pengikutnya yakni saudara teteknya bernama I Lolo Tamakkana,
sehingga baginda mangkat waktu itu juga. Baginda kemudian mendapat gelar
Anumerta Karaeng Tunijallo (Raja yang diamuk).