Buku Pertama tentang Nusantara Yang Terbit di Eropa: Sejarah Makassar
Buku Pertama tentang Nusantara Yang Terbit di Eropa: Sejarah Makassar
Postingan ini merupakan terjemahan
dari artikel Christian Pelras di Jurnal Archipel Volume 54, Tahun 1997
berjudul “The First Description of South Sulawesi in French and
Remarkable for Two Young Princes Makassar in France of Louis XIV”
=====
Sebuah
buku tipis bertajuk “Description Historique du Royaume de Macassar”
atau Rincian Sejarah Kerajaan Makassar terbit di Paris, Prancis tahun
1688. Penulisnya disebutkan bernama Gervaise Nicolas dengan
penerbit Grand Saint Grégoir milik pustakawan Hillaire Foucault.
Tampaknya buku ini cukup laris karena edisi keduanya kemudian
diterbitkan oleh Erasmus Klinkius di Regensburg tahun 1700, dengan
beberapa penambahan data. Setahun kemudian, edisi terjemahan berbahasa
Inggris nya terbit di London, tahun 1701.
Rupanya penulis yang menyukai sejarah ini juga menerbitkan buku berbeda pada tahun yang sama, kali ini dia mengulas tentang Kerajaan Siam “Histoire Naturelle et Politique du Royaume de Siam” atau Sejarah dan Politik Kerajaan Siam. Pada
masa itu, Siam memang banyak berhubungan dengan Perancis. Keduanya
bahkan sudah menjajaki pertukaran duta besar yang pada tahun 1685 kantor
perwakilan Perancis di Siam dipimpin oleh M de Chaumont demikian juga dengan intensnya pengiriman misionaris Kristen dari Society
of Foreign Missions of Paris ke Siam. Sebuah kesepakatan juga
ditandatangani, bahwa Perancis mendatangkan pasukan untuk melindungi
Raja Siam dan ditempatkan di benteng2 di Bangkok dan Mergui. Saat itu, banyak buku kemudian diterbitkan di Siam. Namun, saat itu nama Makassar tak begitu dikenal dan menjadi perhatian Perancis. Tidak ada satupun tulisan yang diterbitkan dalam bahasa Perancis, mengenai Makassar khususnya, atau pulau Sulawesi secara umum sebelum abad 19. Tiga pertanyaan muncul di benak: Siapa sebenarnya Gervaise, apa latar belakang dari penerbitan bukunya, dan dengan cara bagaimana ia mendapatkan informasi mengenai buku itu? Tapi sebelum Anda menjawab, mari kita urai secara singkat megenai isi buku tersebut.
Buku itu terbagi menjadi tiga bahagian.
Buku Pertama, menceritakan tentang situasi negara, buah-buahan,
tanaman, hewan, sungai dan kota-kota besar, yang diawali dengan
penjelasan singkat mengenai peperangan melawan Toraja oleh seorang Raja
Makasar yang oleh penulis disebut “Craen Biset “- yang kemungkinan
merujuk ke Sultan Ali yang bergelar Karaeng ri Bisei yang merupakan
penguasa Goa tahun 1674-1677 (orang Barat menyebut Goa sebagai
Macassar). Penulis melanjutkan bahagian pertama itu dengan deskripsi negara Toraja dan hal lainnya menyangkut flora, fauna, produk masyarakatnya, dll.
Dia menceritakan, antara lain mengenai buah sukun yang dia sebut “bacaran” (Makassar ‘Bakara) sebagai makanan penting bagi orang Toraja, dan perdagangan yang dilakukan melalui Mamuju, tepung atau bahan yang digiling, menanam opium, juga membubuhi racun pada anak panah sumpitan yang didapatkan dari pohon tertentu.
Dalam buku itu juga diberikan beberpa nama buah dalam bahasa Makassar;
onti (pisang), lame (pisang), sikapa’ (ubi kelapa) dan tentang bunga
mawar yang disebut bungajê’nê mawara (bunga air mawar), yang dapat
dijadikan parfum dan pengharum kuburan, sehingga disebut juga bunga Jera
(bunga orang mati).
Penulis buku itu kemudian berbicara tentang aktivitas pelabuhan Makassar, yang mengingat letaknya yang strategis telah menarik minat Belanda untuk menguasainya. Kisah perang yang dilancarkan Belanda tahun 1650 melawan Makassar sampai kekalahan mereka tahun 1660 (yang hanya berlaku sementara).
Dalam peristiwa ini, penulis memberikan perhatian khusus kepada sosok
yang ia sebut sebagai Daeng Mangalle yang diiidentifikasi sebagai adik
dari Sultan yang memerintah pada saat penulisan buku tersebut. Sosok
ini, yang mengambil bagian aktif dalam perjuangan melawan Belanda, dan
sangat menentang perjanjian damai dengan mereka pada tahun 1660, adalah
korban dari intrik politik dan dipaksa mengasingkan diri, pertama di
Jawa, di mana ia menikah dengan seorang putri Jawa. Karena takut oleh
kejaran pasukan Belanda, ia terpaksa melarikan diri ke Siam bersama 200
orang pengikutnya pada tahun 1664 dan rupanya diterima dengan baik oleh
Raja Phra Narai, dan diperbolehkan menetap di pinggiran ibukota
Ayutthaya, dengan diberikan hadiah berupa tanah dan mesin pertanian.
Namun, pada tahun 1686, orang2 Makassar ini dianggap terlibat pemberontakan bersenjata melawan raja dan akhirnya semua terbunuh, kecuali dua pangeran Makassar, yang menurut penulis, dikirim ke Perancis dan dididik di Clermont College (Jesuit College, yang kemudian menjadi sekolah dan perguruan tinggi Louisle – Grand) di Paris.
Buku Kedua mengulas tentang “Sifat dan kebiasaan orang Makassar, pemerintahannya, mata pencaharian, seni-permainan, pakaian dan adat pernikahan. Bahagian ini dimulai dengan menceritakan bagaimana mendidik anak (intelektual dan manual), karakter orang Makassar dan sikap mereka terhadap harga diri (siri’) yang membuat mereka lebih memilih mati daripada terhina – bagaimana wanita berperilaku, terutama wanita bangsawan, terhadap laki-laki lain selain suami mereka. Juga mengenai pelatihan memainkan senjata bagi remaja muda, dan permainan kesukaan pemuda yakni gasing,
sabung ayam, dan layang-layang. Penulis juga mencatat bahwa lima puluh
tahun sebelumnya, raja berhasil menerbangkan layang-layang besar dengan
lebar sayap 30 kaki, dilengkapi dengan bunyi-bunyian dan ekor yang
panjangnya 30 kaki. Pesta layangan ini ditampilkan dalam sebuah ritual
yang menandai berakhirnya masa panen, mengambil tempat di sebuah
lapangan besar bernama Karebosi. Kemudian penulis juga
menceritakan tentang makanan kesukaan sehari-hari – yang selalu
dihadirkan sebagai santapan – di Makassar yakni minuman pedas yang
disebut “sorbec”, dari bahasa Arab yang menjadi ‘sara’ba dalam bahasa
lokal.
Gervaise kemudian menuliskan tentang kepemilikan budak oleh para bangsawan yang
juga menujukkan martabatnya, di mana diungkapkan sebagai niya ata (“dia budak”) untuk menyatakan posisi sosial-ekonomi seseorang. Juga ditegaskan bagaimana aturan berperilaku ketika berkunjung ke rumah seseorang yang derajatnya lebih mulia, dengan mengucapkan kesan penghormatan saat masuk sesuai dengan derajatnya, “Maiki Daeng” atau “Maiki Kare”, dengan cara yang sama ketika meninggalkan rumah tersebut dengan berkata ‘Lampama’ Daeng, yang dijawab dengan Lamapamaki’ Daeng. Gervaise juga mencatat di buku ini tiga gelar kebangsawanan, yang Daeng, Kare dan Lolo, tetapi ia juga mencatat gelar yang lain yang peringkatnya lebih tinggi, sebagai “Craen” (Karaeng). Untuk penguasa, maka penyebutannya akan menjadi “Sombanco” (Sombangku). Ada ungkapan dari raja Perancis Louis XIV yang menyatakan ketakjubannya tentang hierarki gelar kebangsawanan Makassar bahwa “Tidak ada, orang-orang di dunia di mana bangsawan lebih dijiwai dengan derakat mereka selain orang-orang Makassar” – meskipun pernyataan ini masih diragukan kebenarannya.
juga menujukkan martabatnya, di mana diungkapkan sebagai niya ata (“dia budak”) untuk menyatakan posisi sosial-ekonomi seseorang. Juga ditegaskan bagaimana aturan berperilaku ketika berkunjung ke rumah seseorang yang derajatnya lebih mulia, dengan mengucapkan kesan penghormatan saat masuk sesuai dengan derajatnya, “Maiki Daeng” atau “Maiki Kare”, dengan cara yang sama ketika meninggalkan rumah tersebut dengan berkata ‘Lampama’ Daeng, yang dijawab dengan Lamapamaki’ Daeng. Gervaise juga mencatat di buku ini tiga gelar kebangsawanan, yang Daeng, Kare dan Lolo, tetapi ia juga mencatat gelar yang lain yang peringkatnya lebih tinggi, sebagai “Craen” (Karaeng). Untuk penguasa, maka penyebutannya akan menjadi “Sombanco” (Sombangku). Ada ungkapan dari raja Perancis Louis XIV yang menyatakan ketakjubannya tentang hierarki gelar kebangsawanan Makassar bahwa “Tidak ada, orang-orang di dunia di mana bangsawan lebih dijiwai dengan derakat mereka selain orang-orang Makassar” – meskipun pernyataan ini masih diragukan kebenarannya.
Penulis kemudian beralih
menceritakan tentang pemerintahan kerajaan Goa, di mana ia menekankan
secara akurat bagaimana peran menonjol dari Perdana Menteri (pada saat
itu dijabat oleh Karaeng Karunrung yang terkenal), yang memiliki
otoritas penuh atas urusan sipil sementara raja memiliki kekuasaan
tertinggi atas hokum dan pernyataan perang. Tentara kerajaan, menurutnya
(yang tampaknya bukanlah tentara profesional) berjumlah 10.000 orang di
masa biasa, tetapi kemudian jumlah ini meningkat menjadi 100.000,
termasuk 12.000 penunggang kuda pada saat berkecamuk perang melawan
Belanda. Angka-angka ini mungkin kelihatan berlebihan, namun jumlahnya rupanya sebanding dengan apa yang telah dipaparkan oleh sejarawan Leonard Andaya. Dengan menyimak penjelasan yang cukup rinci dari organisasi dan persenjataan militer, Gervaise juga mencatat mengenai hukuman bagi para desertir.
Gervaise menyatakan bahwa bangsawan tidak dapat dihukum mati, kecuali
dalam kasus pengkhianatan di mana hukumannya adalah bahwa pelaku dapat
dimasukkan ke dalam kuali berisi air panas (hukuman yang juga berlaku
bagi kasus pelanggaran serius dari hokum yang berlaku).
Dalam pembahasannya mengenai praktek pelaksanan hokum, penulis mencatat peran penting syahbandar, yang tak hanya berfungsi sebagai kepala pelabuhan, tetapi juga bertindak selaku kepala kepolisian.
Jabatan lain yang penting dan resmi, menurut Gervaise, adalah apa yang
ia sebut sebagai “petugas” (dia tidak memberikan nama jabatan dalam
bahasa makassar) yang bertanggung jawab atas pencatatan transaksi dan
pernikahan – mungkin mirip dengan jabatan penghulu agama dalam
masyarakat Jawa. Tidak ada, menurut Gervaise, hal yang lebih penting
bagi masyarakat Makassar, terutama bagi kaum bangsawan, melainkan
pernikahan itu – yang masih berlaku saat ini – mengenai kebiasaan
mempertunangan sejak masa kanak-kanak dan aturan mengenai mahar/panaik.
Jalannya ritual pernikahan, saat ia menjelaskan hal itu dalam bukunya, memiliki beberapa perbedaan dengan yang berlaku saat ini. Bagian kedua buku ini berakhir dengan aturan untuk pembagian warisan.
Buku ketiga berhubungan dengan “Agama Lama Orang Makassar, yang
yang saat ini dianut oleh mereka dan upacara keagamaan yang ditentukan. Gervaise kemudian memberikan ulasan ringkas tentang praktek keagamaan pra-Islam, kenangan yang masih tersisa sejak Islamisasi Makassar sekitar 80 tahun sebelumnya, dan kemungkinan bahwa di beberapa daerah pinggiran atau di lingkungan tertentu atau keluarga, masih belum sepenuhnya di-Islamkan. Berbagai informasi yang diberikan di sini – fakta bahwa di Makassar upeti atau persembahan tetap dibayar di luar ruangan dan bukan di kuil-kuil, adanya penghormatan terhadap matahari dan bulan, keberadaan patung-patung sakral, tanah liat atau logam, jenazah yang dikuburkan di dalamnya, praktik pengorbanan hewan pada hari pertama dan hari kelima belas dari setiap bulan, kepercayaan pada reinkarnasi atau perpindahan jiwa ke jazad lain – kepercayaan ini tidak dikonfirmasi sebelumnya sampai kemudian sumber atau hasil penelitian baru yang diterbitkan. Demikian pula, mitos tentang asal-usul kehidupan orang Makassar dalam penelitian terbaru menunjukann kemiripan yang sangat dengan tradisi bugis esoteris.
yang saat ini dianut oleh mereka dan upacara keagamaan yang ditentukan. Gervaise kemudian memberikan ulasan ringkas tentang praktek keagamaan pra-Islam, kenangan yang masih tersisa sejak Islamisasi Makassar sekitar 80 tahun sebelumnya, dan kemungkinan bahwa di beberapa daerah pinggiran atau di lingkungan tertentu atau keluarga, masih belum sepenuhnya di-Islamkan. Berbagai informasi yang diberikan di sini – fakta bahwa di Makassar upeti atau persembahan tetap dibayar di luar ruangan dan bukan di kuil-kuil, adanya penghormatan terhadap matahari dan bulan, keberadaan patung-patung sakral, tanah liat atau logam, jenazah yang dikuburkan di dalamnya, praktik pengorbanan hewan pada hari pertama dan hari kelima belas dari setiap bulan, kepercayaan pada reinkarnasi atau perpindahan jiwa ke jazad lain – kepercayaan ini tidak dikonfirmasi sebelumnya sampai kemudian sumber atau hasil penelitian baru yang diterbitkan. Demikian pula, mitos tentang asal-usul kehidupan orang Makassar dalam penelitian terbaru menunjukann kemiripan yang sangat dengan tradisi bugis esoteris.
Berkenaan dengan Islam, Gervaise menulis kesan yang luar biasa mengenai keterbukaan yang tak lazim berkaitan dengan waktu
teks ini ditulis, terutama bila dibandingkan dengan apa yang ia tulis
tak lama sebelum buku sebelumnya di Siam , tentang “Malaies” (lihat di
bawah). Resistensi Islam bertemu dari kelas bangsawan, Gervaise memberikan disini Sekali lagi, informasi yang telah mampu kami pahami sebagai hal baru, dengan membandingkannya dengan sumber Bugis[3] bertulisan tangan. Demikian pula, deskripsi ritual sunat dan penguburan seperti yang dilakukan bagi kalangan bangsawan yang juga ditemukan di catatan budaya lainnya.
Gervaise membagi tiga kategori muslim berkaitan dengan tingkatan pengabdiannya: yakni Labe (yaitu Melayu Lebai) yang bertanggung jawab untuk melaksakan ritual pemakaman yang juga bertanggung jawab sebagai pengurus masjid, Santri yang merupakan pelajar sekolah agama (pondok pesantren), juga sebagai semacam biarawan atau biarawati, hidup sendiri atau janda, berpakaian serba putih, kepala gundul, tinggal di dinding masjid dan hanya bergantung pada sedekah, mungkin yang dia maksudkan berkaitan dengan - meskipun saya tidak tahu informasi lain tentang hal ini – adalah pendeta yang eksis pada saat-saat awal berdirinya Islam, seperti Zawiyah atau mereka yang sudah eksis di negara-negara Muslim lainnya. Untuk kategori ketiga menurut Gervaise, adalah Tuan Imam, gelar keagamaan ini diperoleh ketika yang bersangkutan pulang dari Mekah. Sebenarnya kami mengira bahwa yang dimaksud tuan adalah pimpinan dari persaudaraan mistik, seperti misalnya Sheikh Yusuf yang terkenal, yang dikenal dengan gelar Tuanta Salamaka (Tuan Yang Tercerahkan) – pelopor tasawuf dalam Islamisasi Sulawesi Selatan.
Buku Gervaise bisa dianggap sebagai risalah yang dapat ditelusuri, baik secara geografis, sejarah dan etnografi mengenai penduduk Sulawesi Selatan, dimana Makassar sebagai pokok ulasan, meski juga membahas Toraja, termasuk Mandar dan Bugis dengan porsi yang sedikit. Namun demikian, buku ini tak merujuk ataupun diimbangi oleh buku lainnya yang terbit pada saat itu, termasuk di Belanda.