Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2014

Bambu, pertanda adat dan manfaatnya di Sulawesi Selatan

Gambar
Lasugi/Alasugi/Balla yang dibangun di depan rumah (dok. pribadi) Masyarakat di Sulawesi Selatan menyebutnya dengan Alasugi, Lasugi, atau bahkan kadang disebut Balli. Saya mengenal nama ini sewaktu melakukan kunjungan lapangan ke Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu sebuah bangunan sederhana di depan rumah penduduk. Rumah Panggung – Kab. Bulukumba (dok. pribadi) Bukan sekedar bangunan biasa, walau (hanya) terbuat dari bambu . Masyarakat menyebutnya dengan Alasugi atau Lasugi atau Balli,  adalah sebutan untuk ‘gapura’ yang terbuat berbahan dasar bambu. Dipasang didepan rumah sebagai gapura dan memiliki fungsi pertanda bahwa di rumah tersebut akan dilangsungkan suatu acara besar, yaitu pernikahan, dan pernikahan yang dilakukannya adalah yang penuh ritual dan bermartabat. Bermartabat yang bagaimana? Lasugi/Alasugi/Balla didalam rumah – latar belakang puade pengantin (dok. pribadi) Konon alasugi ini , sekali dipasang tida

PERJANJIAN ANTARA KERAJAAN BONE DAN KERAJAAN GOWA (ULU ADA/ULU KANAYYA)

Pada masa lalu kerajaan atau masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat yang suka membuat perjanjian (Dalam bahasa Bugis : disebut Ulu Ada’, Makassar : disebut Ulu Kana), bukan hanya dalam kehidupan sosial , tetapi juga dalam konteks kehidupan politik. Terbentuknya kerajaan dan diangkatnya Tomanurung menjadi raja pertama dalam banyak catatan lontara' selalu diawali dengan perjanjian atau kontrak politik, sebuah ikatan janji antara pemimpin dengan rakyatnya. Ini berarti sudah ada rekam jejak kehidupan demokratis di masa lampau meski pemerintahan berjalan atas dasar sistem kerajaan. Secara harfiah, Ulu Ada (Bugis) atau Ulu Kana (Makassar) berarti pangkal pembicaraan. Kata ini dimaknai sebagai Perjanjian. Misalnya Perjanjian di Tamalate (Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate, Bugis : Ulu Adae ri Tamalate). Unsur kalimat yang digunakan untuk menamai suatu perjanjian antar raja dan kerajaan, umumnya menggunakan kata “Ulu“ (kepala) dan “Cappa“ (Ujung). Penggunaan dua k

Seabad Berlalu, I Sangkilang Masih Seorang Budak

Sebuah perahu bercadik merayap menuju Kampung Sompu di hulu sungai yang menjulur di wilayah kerajaan Gowa. Seorang pria duduk membisu di atas sangkilang , palang penyangga kemudi di bagian belakang perahu. Ia mengenakan songkok , topi dari anyaman daun palem berhias pita emas. Sebuah tanda kebangsawanan. Pakaian kebesaran dan keris emasnya layak bagi seorang aristokrat. Pengiringnya terus mendayung, menuju sebuah pesta yang diadakan penguasa kampung. Ketika perahunya merapat di tepi pekarangan kampung yang sedang berpesta, orang-orang berpaling. Tak ada yang mengenal bangasawan itu. Sang tuan rumah bertanya, “Kau siapa?” Dia bergeming. Mulutnya katup. Dia tetap duduk di atas sangkilang. Ketika akhirnya dia melayang sebelum menjejak bumi, sontak seluruh tamu dan tuan rumah menahan napas. Mereka takjub sekaligus penasaran. “Apakah di antara kalian yang hadir tidak ada yang mengenal saya?” Ia akhirnya buka mulut. Seluruh kampung senyap. Sadar tak ada yang mengenalinya, I

Mitos Lontara’na Karaeng Ta Data Menyebut-nyebut Karebosi

Mitos ini berkembang setelah peristiwa kegaiban yang dialami Abubakar Karaeng Ta Data. Ada yang mempercayai bahwa ini bukan mitos akan tetapi merupakan fakta bakal kembalinya Karaeng Ta Data, yang disampaikan oleh para pengikut Karaeng Ta Data yang menyaksikan langsung peristiwa kegaiban Karaeng Ta Data. Adapun pesan ini ditulis dalam bahasa Makassar yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, agar dapat dimengerti oleh pembaca. Isinya antara lain sebagai berikut : Karaeng Ta Data, tuanku yang punya negeri , bila tiba saatnya kamu kembali nanti, maka akan baiklah kehidupan manusia. Dia yang pergi sewaktu runtuhnya Gowa dan bila kembali kelak maka akan utuhlah Gowa kembali. Sekarang ini dia sudah berjalan berkeliling tetapi tak tampak oleh manusia. Kalau dia akan menampilkan dirinya, dia akan tampak di Karebosi. Sekarang ini Karaeng Ta Data ada di pasar-pasar, hanya orang tidak mengetahuinya, dan dia saja yang melihat kita. Kalau dia menampakkan dirinya

Karaeng Ta Data, Ratu Adil dari Makassar

Postingan ini bukan tulisan saya, tapi murni kutipan atawa  copy paste dari link dgn judul: Karaeng Ta Data, Raja Yang Menghilang Secara Ghaib . Saya tertarik mengunggahnya karena berkaitan dengan topik menarik; gerakan messianisme atau ratu adil di Makassar yang mungkin jarang diungkap. Selamat membaca. ******* Karaeng Ta Data, atau Abubakar Karaeng Ta Data Bin Amas Madina Batara Gowa, raja Gowa yang ke XXVl (26), oleh masyarakat umum dikenal dengan nama Karaeng Sayangnga ri Beba (Raja yang gaib di Beba). Sewaktu berumur 8 tahun, ayahnya wafat dalam keadaan bergerilya menentang kekuasaan VOC dan pasukan raja Gowa yang ditunjuk VOC. Mendengar wafatnya Batara Gowa, sebagian besar rakyat Gowa memilih Karaen Ta Data sebagai pemimpin perjuangan melawan VOC, walaupun dia masih belia. Karena banyaknya orang yang berjuang mengatas-namakan titisan Batara Gowa, Karaeng Ta Data tampil di kerajaan Gowa tahun 1798. Dan memaklumatkan dirinya sebagai Sombayya ri Gowa

Galesong, Di Kilas Sejarah

Gambar
Para nelayan di Galesong. Tangguh di laut (Foto: Kamaruddin Azis) Kawasan Galesong, membentang dari wilayah Bontomarannu di pesisir selatan hingga Desa Aeng Batu-Batu yang bersebelahan dengan Kelurahan Barombong, Kota Makassar. Di timur berbatasan dengan wilayah kecamatan Bajeng. Jika hendak menuju pusat daerah Galesong dari Makassar dapat ditempuh dari daerah Limbung, dari jalan raya negara Makassar – Takalar sejauh 25 kilometer ke barat. Atau dari Kota Makassar melewati Barombong dan melewati jembatan diatas sungai Jeneberang. Dua penanda strategis kawasan ini adalah dibangunnya tiga benteng pertahanan Kerajaan Gowa yaitu, Benteng Sanrobone, Galesong dan Barombong. Dari ketiga benteng ini hanya Benteng Sanrobone yang masih tersisa. Di dalam sejarah, Galesong adalah salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Terdapat satu catatan yang menjelaskan bahwa pada tanggal 13 Juni 1635, saat itu Sultan Alauddin (Raja Gowa ke -14) berada

asal usul kerajaan galesong

Proses penunjukan Kare melalui musyawarah orang-orang tua atau sejumlah tokoh masyarakat. Beberapa tahun berlangsungnya pemerintahan Sombaya ri Gowa atau Kerajaan di Gowa, terbentuklah Tabbala Pabundu yang dimaknai sebagai kekuasaan pertahanan di perairan Gowa dan Galesong. Mulai saat itu, tepatnya abad XVI, terbentuklah Kerajaan Galesong yang dinakhodai Mattinroa Ri Bobojangan. Galesong yang awalnya dirancang menjadi pelabuhan niaga di samping sebagai pelabuhan pemecah ombak dari Pulau Sanro Bengi, berperan sebagai basis pertahanan pantai dari pemerintahan Sombaya Ri Gowa. Atas kekokohan pertahanan yang terbangun di Kerajaan Galesong, Sombaya Ri Gowa membina kesatuan dengan Karaeng Galesong untuk melawan kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Sulsel. "Nama Raja Galesong, Mattinroa Ri Bobojangan, sebenarnya bukan nama yang sesungguhnya, tapi gelar. Sebab, kala itu nama asli raja dilarang untuk disebut atau dikenal khalayak. Yang jelas, beliau adalah keluarga de

Makam Karaeng Galesong

Gambar
Makam Karaeng Galesong di Jawa Timur-Ngantang Sejarah menuturkan, perjuangan Karaeng Galesong berlanjut ke tanah Jawa. Ia berlabuh di wilayah timur pulau Jawa dengan jumlah pasukan yang besar. Belum ada data yang jelas namun ada yang mengatakan lebih dari 4.000 prajurit. Di masa itu di wilayah Jawa Timur terdapat dua penguasa besar dan ditakuti, yakni Adipati Anom di Mataram dan Trunojoyo di Madura. Kedua penguasa besar ini saling bermusuhan. Karaeng Galesong diakrabi oleh Trunojoyo dan mendapat restu menikahi keponakan Trunojoyo. Pelarian Karaeng Galesong ke tanah Jawa dikarenakan kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda pada tahun 1669. Ia tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama beberapa kerabat kerajaan. Mereka antara lain Karaeng Tallo Sultan Harunnarrasyid Tumenanga ri Lampana dan Daeng Mangappa, saudara kandung Karaeng Tallo. Dua lainnya paling terkenal adalah Karaeng G