hubungan kerajaan Gowa Dan Sumbawa
PENDAHULUAN
Segala puji hanya milik Allah SWT. Yang menguasai segala urusan di
bumi, di langit, dan seisinya. Shalawat dan Salam semoga terlimpahkan ke
hadirat Nabi Muhammad SAW, keluarganya, dan seluruh umatnya.
Di antara cara untuk menghidupkan kembali semangat kebangkitan suatu
Bangsa adalah mengingatkan mereka dengan sejarah keemasannya. Mereka
yang kehilangan sejarah , ibarat orang kehilangan ayah.
Sejarah adalah masa lalu yang memiliki kolerasi dengan masa depan
negeri ini. Sejarah menjadi bahan kajian untuk memahami masa lalu negeri
ini hingga menjadi kiblat masa depan. “Sejarah Adalah Cermin Masa Depan”.
Sangat penting pemahaman sejarah ini, karena sejarah menjadi bagian
yang tak terpisahkan bagi bangsa yang terus berkembang. Perjalanan
Sejarah Indonesia sangat panjang dan penuh dengan berbagai pergolakan.
Menyimak masa lalu, Sejarah Indonesia memang terkait dengan peradaban
masa lalu masyarakat Nusantara.
Perkembangan Islam di Nusantara tidak lepas dari peran
kerajaan-kerajaan Islam yang berada di Nusantara. Perkembangan Islam di
wilayah Indonesia bagian timur, seperti: Nusa tenggara barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi, dan wilayah sekitarnya. Tidak lepas dari
sejarah masa lalu yang begitu panjang.
Didalam makalah ini kita akan mencoba menulusuri sejarah kerajaan Islam
atau juga yang lebih dikenal dengan sebutan Kesultanan yang berada di
wilalayah bagian Sunda Kecil Nusa Tenggara Barat yaitu sejarah kerajaan
atau kesultanan yang ada di Pulau Sumbawa.
Sekitar abad ke-16 sebagian besar wilayah dan kerajaan yang berada di
pulau Sumbawa, yaitu: Kerajaan Bima, Kerajaan Dompu, Kerajaan Sumbawa,
Kerajaan Taliwang, Kerajaan Seran, dan kerajaan-kerajaan kecil
disekitarnya. Dulunya adalah daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit yaitu
kerajaan yang menganut ajaran Hindu-Budha. Namun, sekitar abad ke-17
Islam masuk ke pulau Sumbawa yang dibawa oleh kerajaan Goa-Talo
Sulawesi. Kerajaan Goa-Talo yang berhasil mengislamisasikan
kerajaan-kerajaan yang berada di pulau Sumbawa.
KERAJAAN BIMA
A. Asal Usul
Dalam naskah kuno dan Arsip Majelis Ada Dana Mbojo Bima, penduduk Bima
dahulu pemeluk agama Hindu-Syiwa yang kemudian dalam perkembangannya
berubah menjadi Islam.
Berdirinya kerajaan bima sejak abad ke 14, berawal dari kesepakatan
raja-raja kecil di wilayah itu yang mencangkup Sumbawa dan Manggarai
dibagian barat Flores. Hasil kesepakatan itu ditunjukanlah Indra Jamrud
sebagai raja pertama.
Kerajaan
Bima terletak di pantai timur pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini
diperkirakan telah ada sejak periode Hindu. Namun, sayang sekali, data
sejarah berkenaan dengan kerajaan ini pada masa Hindu sangat minim. Data
sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase Bima telah konversi ke
Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti
dan manuskrip. Sumber sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah
sejak masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang
ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa Sanskerta dan
satunya lagi berbahasa Jawa kuno.Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa
tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga
banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga
bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut.
Naskah
kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17
hingga 20 M. Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup
berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis. Bo
Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam
bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad
ke-14 M. Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang
disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah
kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi terkuat
adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi
mulai mengalami perubahan, ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat
menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama
ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa
tersebut. Berkenaan dengan Zamrud, kisahnya dimulai pada masa
kanak-kanak, ketika ia dikirim ayahnya ke Pulau Sumbawa dengan keranjang
bambu.
Indra
Zamrud sampai dan mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Ncuhi Dara
sudah mendengar berita kedatangan Indra ini, karena itu ia datang untuk
menyambut dan mengangkatnya sebagai anak. Ketika Indra dewasa, lima
Ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkatnya menjadi raja, sedangkan para
Ncuhi tersebut menjadi menteri. Dengan kepemimpinan mereka, Kerajaan
Bima terus berkembang dan menjadi pelabuhan dagang yang cukup
diperhitungkan. Kenyataan ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam
Kitab Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, Kerajaan Bima sudah
memiliki pelabuhan besar pada tahun 1365 M. Jadi, kisah dalam Bo Sangaji
Kai ini sesuai dengan catatan Negarakertagama.
B. Bima dan Islam
Mulanya,
Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi Hindu- Budha yang bercampur
dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang, penduduknya mempercayai
arwah-arwah lelulur mereka sebagai penjaga kehidupan. Pada awal abad
ke-17, barulah ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di bagian timur
Pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang bernama La Ka’i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir.
Sesungguhnya,
ajaran Islam telah masuk ke daerah Sumbawa sejak abad ke16. Persebaran
Islam di wilayah ini terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama
sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan pedagang dari Demak.
Sementara, gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi.
Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka’i, tertarik untuk menjadi
muslim.
Sejak
penguasanya masuk Islam, Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam
di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat
menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan
Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Bima ini. Ada Syekh Umar al- Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsundari Arab.
Di
bagian barat dan timur pelabuhan Bima telah terdapat perkampungan orang
Melayu. Perkampungan ini menjadi pusat pengajaran Islam. Sultan Bima
begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka saudara.
Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan
penghulu Melayu mendapat hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka
sesuai dengan hukum Islam.
Dengan
demikian, dengan mudah bahasa Melayu menyebar di Bima dan sekitarnya.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Flores, Timor, Solor,
Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama.
Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, atau sebaliknya, pasti
melewati perairan Sumbawa.
Untuk
meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan
Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro adalah ulama yang datang ke
Sumbawa atas dukungan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan
pernikahan antara keluarga kedua kerajaan.
Kerajaan
Gowa-Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke
Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian
besar jalur perdagangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut
Belanda, maka, kemudian Gowa mengirim ekspedisi untuk menaklukkan
kerajaan pada pantai timur yang meliputi Lombok dan Bima.
Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukan dan diislamkan oleh Gowa pada
tahun 1609 M. Seiring dengan masuknya Islam, maka, peradaban tulis juga
berkembang.
Oleh
karena itu, data sejarah tertulis yang tersedia banyak berkaitan dengan
fase pasca masuknya Bima ke Islam. Walaupun Bima telah berhasil
diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La Ka‘I gagal
mengajak keluarga dan rakyatnya untuk ikut memeluk Islam. Akibatnya,
ketika tentara Gowa ditarik dari Bima pada tahun 1632 M, keluarga raja
dan rakyatnya bangkit menentang raja, dan berhasil menurunkannya dari
tahta. Untuk mengatasi kemelut ini, pada tahun 1633 M, Gowa kembali
mengirimkan pasukan ke Bima. Setelah melalui pertempuran berdarah, Gowa
berhasil merestorasi kekuasaan pemeritahan Islam.
Sejak
saat itu, gelar raja diganti dengan sultan, dan Islam secara resmi
menjadi agama kerajaan. Ketika berkuasa, para raja juga menggunakan
nama-nama Arab untuk menunjukkan keislamannya. Relasi dengan Kerajaan
Gowa sangat dekat dan berlangsung selama hampir satu abad setengah.
Ketika Gowa kalah di tangan Belanda, maka Bima akhirnya juga ikut
menjadi daerah taklukan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada akhir abad
ke-18 M (1792 M), di masa Sultan Abdul Hamid Muhammad Shah berkuasa di
Bima. Saat itu, Sultan Abdul Hamid dipaksa oleh Belanda agar Bima
menjadi salah satu wilayah protektorat Belanda.
Dalam
relasi Belanda-Bima, Belanda cenderung untuk tidak terlalu ketat
menanamkan pengaruh dan kekuasaannya, sehingga relasi tersebut
berlangsung cukup berimbang. Belanda tidak mencampuri urusan pergantian
kekuasaan di Bima, dan tidak seorangpun sultan Bima diasingkan oleh
Belanda ke tempat lain. Ketika Jepang masuk ke Bima, relasi juga
berlangsung cukup baik dan hampir tanpa insiden. Ada yang berpendapat
bahwa, relas harmonis ini berhasil diraih karena orang-orang Bima telah
banyak belajar dari pengalaman mereka selama berada di bawah kekuasaan
Gowa.
Kesultanan
Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada tahun
1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih
memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siti
Maryam, salah seorang putri Sultan, menyerahkan bangunan kerajaan kepada
pemerintah dan kini dijadikan museum. Di antara peninggalan yang masih
bisa dilihat adalah mahkota, pedang dan furnitur.
C. Silsilah
Berikut ini adalah urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Bima:
1. Jan wa Mamiyan
2. Sangyang Tunggal.
3. Sangyang Wunang
4. Maharaja Indra Luka
5. Batara Indra Manis
6. Maharaja Indra Falasyara
7. Maharaja Tunggal Pandita.
8. Maharaja Batara Indra Ratu Punggawa Bisa.
9. Maharaja Pandu Devanata.
10. Maharaja Sang Bima
11. Maharaja Sang Aji Dharmawangsa
12. Maharaja Sang Kang Kula
13. Maharaja Sang Rajuna
14. Maharaja Sang Deva
15. Maharaja Deva Indra Zamrud
16. Maharaja Indra Kamala I.
17. Maharaja Deva Batara Indra Bima
18. Maharaja Batara Sang Luka
19. Batara Mera?
20. Maharaja Batara Sang Bima
21. Maharaja Batara Matra Indrawata
22. Maharaja Matra Indra Tarata
23. Maharaja Nggampo Java
24. Maharaja Indra Kumala.
25. Maharaja Batara Bima Indra Luka
26. Maharaja Indra Sri, Maharaja of Bima.
27. Sangaji Ma Waa Paju Longgi (14.. – 1425 M)
28. Sangaji Ma Waa Indra Mbojo (1425 – 14..)
29. Sangaji Ma Waa Bilmana (14.. – 14..)
30. Sangaji Manggampo Donggo (14.. – 1500)
31. Ruma-ta Mambora Wa‘a Pili Tuta (1500-….)
32. Sangaji Makapiri Solo
33. Ruma-ta Mawa‘a Andapa
34. Ruma-ta Mawa‘a La Laba
35. Mantau La Sadina
36. Ruma-ta Mambora di Sapaga
37. Ruma-ta Mambora di Bata Lambu
38. Ruma-ta Samara
39. Ruma-ta Mantau Asi Sarise
40. Ruma-ta Mantau La Limandaru
41. Mantau La Sadina Abdul Rahim (1609-….)
42. Mambora di Sapaga (16.. – 1620 M)
43. Paduka Sri Sultan Abdul Kahir (1620-1632 M)
44. Ruma Mantau Asi Peka (1632–1633 M)
45. Paduka Sri Sultan Abdul Kahir (1620-1632) dan (1633-1640 M)
46. Paduka Sri Sultan Abdul Khair I Sirajuddin Muhammad Shah bin Sultan Abdul Kahar (1640- 1682 M).
47. Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1682-1687 M)
48. Sultan Jamaluddin Inayat Shah bin Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah (1687–1695 M)
49. Sultan Hasanudin Muhammad Ali Shah bin Sultan Jamaludin (1695-1731 M)
50. Sultan Alauddin Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam bin Sultan Hasanudin (1731–1748 M)
51. Sangaji Perempuan Ruma Partiga Sultanah Kamalat Shah binti Sultan Alauddin (1748-1751 M)
52. Sultan Abdul Karim Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Alauddin (1751–1773 M)
53. Sultan Shafiuddin Abdul Hamid Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sri Nawa AbdulKarim (1773–1817 M)
54. Sultan Ismail Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Shafiuddin Abdul Hamid (1817-1854 M)
55. Sultan Abdullah Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Ismail (1854–1868 M)
56. Sultan Abdul Aziz Zillullah fi al Alam bin almarhum Sultan Abdullah (1868–1881 M)
57. Sultan Ibrahim Zillullah fi al Alam bin Sultan Abdullah (1881-1915 M)
58. Sultan Muhammad Salahuddin Zillullah fi al Alam bin Sultan Ibrahim (1915–1951 M)
59. Sultan Abdul Khair II Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Muhammad Salahuddin (1951-
2001)
60. Putra (Iskandar) Zulkarnain bin Sultan Abdul Khair II Muhammad Shah (Dr Ferry Zulkarnaen) (2001-
sekarang).
D. Periode Pemerintahan
Sejak
awal berdirinya hingga saat ini, telah memerintah sekitar 60 orang raja
atau sultan di Kerajaan Bima. Khusus pada periode Islam, ada 14 orang
sultan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, yang berkuasa di Kerajaan Bima
adalah Sultan Muhammad Shalahuddin. Ia meninggal dunia pada tahun 1951,
dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II. Di masa Abdul
Khair II ini, ia tidak banyak berkecimpung untuk mengurus Kerajaan Bima,
sebab ia lebih memilih menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri dan
anggota Parlemen. Ketika meninggal dunia, ia digantikan oleh anak
tertuanya, Putra Feri Andi Zulkarnain.
E. Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kerajaan Bima mencakup Pulau Sumbawa bagian timur dan tanah-tanah
timur, Seperti Sawu, Alor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.
F. Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang
mendiami Bima adalah orang Donggo. Sebagian besar di antara mereka
mendiami daerah dataran tinggi. Sebelumnya, 0rangorang Donggo ini juga
banyak yang mendiami daerah dataran rendah, namun, karena terdesak oleh
para pendatang yang membawa agama dan kebudayaan baru, mereka menyingkir
ke dataran tinggi. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mempertahankan
agama dan tradisi yang telah mereka warisi secara turun temurun.
Kepercayaan
asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan Marafu.
Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama Kristen dan
Islam. Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok
tanam, dengan sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu,
rumah mereka juga berpindah-pindah.Suku lain yang mendiami Bima adalah
orang Dou Mbojo. Mereka adalah para migran dari daerah Makasar yang
datang sekitar abad ke-14 M. Mereka berbaur dan menikah dengan orang
asli Bima dan mendiami daerah pesisir. Untuk bertahan hidup, mereka
bercocok tanam, berdagang dan menjadi pelaut.
Kepercayaan
asli orang Dou Mbojo adalah Makakamba-Makakimbi, sejenis animisme.
Sebagai mediator antara alam gaib dengan manusia, dipilih seorang
pemimpin yang disebut Ncuhi Ro Naka. Secara substantif, kepercayaan ini
tidak berbeda dengan Marafu pada orang Donggo. Mereka memiliki tradisi
ritual pada saat tertentu untuk menghormati arwah leluhur, dengan
mempersembahkan sesajen dan hewan ternak sebagai korban. Upacara ini
dipimpin oleh Ncuhi, ditempat yang disebut Parafu Ra Pamboro.
Selain
suku di atas, sejak Islam masuk pada abad ke-16 M, juga terdapat
perkampungan Melayu di Bima. Berkaitan dengan kehidupan keagamaan, agama
besar pertama yang berkembang adalah Hindu. Sisa peninggalan peradaban
Hindu ini masih bisa dilihat pada prasasti Wadu Pa‘a yang dipahat Sang
Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad ke 8 M.
Selain prasasti Wadu Pa‘a, juga ditemukan bekas candi di Ncandi Monggo,
prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu
di Pulau Sangiang. Namun, peninggalan bersejarah ini tidak mengandung
informasi memadai untuk menjelaskan peranan agama Hindu di Bima.
Setelah
Hindu, kemudian masuk agama Islam. Agama ini relatif mudah diterima,
karena orang Bimasebenarnya telah lama mengenal agama Islam melalui para
penyiar agama dari tanah Jawa, Melayubahkan dari para pedagang Gujarat
India dan Arab di Sape (pelabuhan Bima). Campur tangan penguasaBima yang
telah masuk Islam dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan
telah ikut mempercepat penyebaran Islam, yang awalnya hanya dianut oleh
masyarakat pesisir.
Saat
ini, di beberapa daerah di Bima, terjadi percampuran antara Islam dan
tradisi lokal, sehingga muncul suatu ikrar yang berbunyi: Mori ro made
na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku. Artinya, hidup dan matinya orang
Bima harus dengan hukum Islam. Untuk memperkuat ikrar ini, sejak masa
kesultanan telah dibentuk sebuah Majelis Adat Tanah Bima, yang bertugas
dan bertanggung jawab dalam penyiaran, penyebaran dan pembuatan
kebijakan keislaman. Setelah agama Islam masuk ke Bima, kemudian
berkembang tradisi tulis, sehingga banyak ditemukannaskah-naskah kuno
peninggalan periode ini.
Menurut
Maryam (salah seorang ahli waris kerajaan Bima), ia memiliki dua peti
naskah kuno Bima. Naskah kuno itu disebut Bo Sangaji Kai. Naskah ini
ditulis ulang pada abad ke-19, dengan kertas buatan Belanda dan China.
Pada masa Islam, naskah ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Aksara Bima
yang sempat dipakai pada masa pra Islam kemudian ditinggalkan, seiring
masuknya peradaban Islam tersebut. Berkaitan dengan dua peti naskah kuno
Bo Sangaji Kai, Siti Maryam sudah membacanya selama lima tahun, dibantu
oleh almarhum sahabatnya, Rujiati SW Mulyadi dari Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Selama lima tahun tersebut, baru satu kitab yang
berhasil dibaca. Saat ini, ia terus membaca naskah kuno tersebut,
dibantu oleh ahli filologi Perancis, Henry Chambert Loir. Hasil kerja
mereka berdua telah melahirkan sebuah buku, berjudul Bo Sangaji Kai
Catatan Kerajaan Bima, diterbitkan oleh Ecole Francaise d‘Extreme Orient
bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar
dalam dunia sejarah. Namun, harus diingat, masih banyak naskah kuno Bima
yang belum tersentuh.
G. Kekuasaan Majapahit di Bima pada Era Raja Indra Zambrud
Kerajaan
Bima abad ke 14-15 adalah salah satu wilayah di bawah kekuasaan
Majapahit yang terletak di wilayah Timur Jawa (mancanegara), yang
didalam kitab Kakawin Nagarakretagama pupuh 13-15 di sebutkan wilayah
Sanghyang Api (gunung sangiang-wera), di kala itu Bima di pimpin oleh
Raja muda yang bernama Indra Zamrud, dan Pusat pemerintahan terletak di
wilayah Ncuhi Dara (Bima), kerajaan Bima terbagi dalam 5 (lima) wilayah
yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi
Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo,
memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang
kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan
wilayah Bima Timur.
Arti
luas dari Ncuhi itu sendiri yaitu kepala suku yang memegang wilayah
kekuasaannya masing-masing. Dalam posisi berada di bawah naungan
Kerajaan besar seperti Majapahit, jadi Kerajaan Bima harus menyetor
Upeti kepada Majapahit. Karena pada catatan Odorico da Pordenone,
biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321,
menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak,
dan permata. Upeti yang di terima dari kerajaan-kerajaan taklukan
Majapahit akan dikumpulkan di Majapahit.
H. Stabilitas Ekonomi Kerajaan Bima
Pada
saat itu kerajaan Bima sangat berkembang pesat di segi pertanian maupun
peternakan dan perikanan, Kerajaan Bima banyak belajar dan mengadaptasi
ilmu dari kerajaan Majapahit dan itu bisa terlihat dari seni ukiran
yang terdapat di setiap keris atau senjata khas Kerajaan Bima yang
sangat mirip dengan Kerajaan Majapahit (Ukiran dan kerajinan Jawa,sangat
kental di Keris Bima), Raja Indra Zamrud sangat memperhatikan keadaan
Ekonomi Kerajaan pada waktu itu sehingga Raja mengembangkan bidang
Pertanian dan perikanan, masyarakat Bima pada saat itu banyak yang
bercocok tanam dengan di bantu oleh adik sang Raja Indra Kumala yang
sekaligus ahli di bidang Pertanian, dengan adanya bukti di Museum Gajah
Jakarta yaitu berupa Tungku kuno yang diatasnya berjejer ukiran dan
miniatur kodok yang ditemukan di Bima merupakan alat ritual masyarakat
bima pada saat itu untuk meminta hujan.
Di
bidang peternakan Kerajaan Bima juga tidak mau kalah dengan kerajaan
lain, Raja Indra Zambrud juga mengembangkan bidang peternakan yaitu
Kuda,Kerbau,dan Sapi. karna banyaknya ditemukan Catatan-catatan para
pelaut yang singgah di pelabuhan laut kerajaan Bima pada saat itu. Bima
menjadi sebuah keraajan yang berkembang pesat pada saat itu, apalagi
Kerajaan Bima merupakan salah satu kerajaan yang didirikan oleh
Majapahit, sehingga Kerajaan Bima menjadi Wilayah Transit para pelaut
yang akan menuju ke timur.
Siti
Maryam mengisahkan, “ ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi kemudian
diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah
memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah di Bo Sangaji
Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340”. Dan di tambah
catatan para pelaut yang singgah di pelabuhan Bima pada saat itu yaitu
Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok jawa pada era Majapahit,menceritakan.
“Pelabuhan Bima sangat ramai dengan perdagangan garam,burung kakak
tua,kuda, dan perdagangan budak-budak yang besar dan
kuat”.
I. Perluasan Kerajaan Bima
Pada
suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh
lelaki dan sepuluh perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa
daerah Sumbawa, antara lain di Dompu, Bima, dan Sumbawa. Sehingga
banyak terdapat kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa seperti kerajaan
Pekat,Kerajaan Sanggar,Kerajaan Dompo (Dompu),Kerajaan Sanghyang (Gunung
sanghyang),dan Kerajaan Sumbawa.
Pada
saat itu penduduk Kerajaan bima mencapai 100.000 ± jiwa se pulau
Sumbawa sebelum terjadi letusan gunung Tambora tahun 1815 yang memakan
korban 71.000 jiwa. Sehingga banyak terjadi perpindahan penduduk yang
merata sepulau Sumbawa tersebut.
KERAJAAN SUMBAWA
A. SULTAN MUH.JALALUDDIN III
Kebaradaan
Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak
Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang
bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada
waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian rakyat
Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu.
Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa
Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara lain
bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan
Goa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara kedua
kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling menjaga
keamanan dan ketertiban. Kerajaan Goa yang pengaruhnya lebih besar saat
itu menjadi pelindung kerajaan Samawa’.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih
menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian
damai dengan kerajaan Goa, maka resikonya ia terpaksa disingkirkan
bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kira-kira di wilayah
Kecamatan Utan sekarang. Pengusiran Mas Goa dan pengikutnya ke wilayah
Utan lebih arif disebut kudeta di zaman sekarang. Ia serta merta
diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya
dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah
dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Goa di Sulawesi sangat
besar.
Pemberhentian
secara paksa ini terjadi pada tahun 1673 M sekaligus mengakhiri
pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa. Tahun berikutnya 1674 M
Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa’. Saat
itu menurut BUK Tana’ Samawa, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk Agama
Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa’ ini berkuasa hingga tahun 1958.
Luas
wilayah kekuasaannya dimulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang
hingga Jereweh. Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan
Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya
Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang
kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia
Karaeng Agang Jene.Setelah wafat, Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti
oleh Dewa Loka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia.
Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama
keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan
Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada
tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada
tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan
Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758).
Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng
Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal
sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761
ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu
Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk
mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ).
Wilayah
Kesultanan/kerajaan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah
kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian
ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran,
sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi
terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat
pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawa besar
akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.
B. ISTANA TUA
Pemerintahannya
Lalu Onye, hanya berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana
untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang
wanita yang telah lama ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga
Wasita yang terkenal keperkasaannya. Ia menyangka Lalu Angga Wasita
sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari
lelaki perkasa itu muncul.
Karena
raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa, dihari ke 14 bulan
Ramadhan waktu bulan purnama raya. Kepergian Datu Ungkap Sermin itu
membuat kursi raja menjadi lowong. Maka diangkatlah Gusti mesir
Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa
Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah
menikah dengan puteri Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi
gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun
(1762-1765). Ia mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765
Masehi). Untuk menggantinya diangkatlah putra mahkota yang masih berumur
9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu Sultan Mahmud. Sedangkan yang
menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa datu Taliwang.
Keputusan
ini menimbulkan amarah datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk
menjadi raja. Maka ia berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni
(VOC) agar bisa menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum
berangkat, datu Jereweh menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan
mempengaruhi mereka supaya ikut mendukung rencananya dan ikut
menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal
yang telah diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa
yang isinya antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di
kerajaan selatan.
Akhirnya
pada tanggal 9 Februari 1765 di Fort Rotterdam ditandatangani
perjanjian antara Cornelis Senklaar Komodour sebagai wakil VOC denga
pihiak raja – raja selatan yang antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad
Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu Jereweh ( mengatas
namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja Dompu),
Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Pekat).
Perjanjian
ini berisi tentang diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian
ini kemudian dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat
keberhasilan diplomasi utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam
perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan Mahmud dewasa, maka kekuasaan
raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada waktu Sultan Dewa
Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan
oleh Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II
(1777-1790). Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah
diangkat menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8
jumadil akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun.
Pada
waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II ini telah berhasil diselesaikan
penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu
Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa Madzab Safi’i, tepatnya pada 28
Dzulqaidah 1199 H (1784 M).
Sepeninggal
Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya,
yaitu Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan
Bima dan mengikuti suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta
pusaka kerajaan. ( Sebagian koleksi harta kekayaan Raja Bima sekarang
adalah milik Sultan Syafiatuddin yang dibawa dari Sumbawa). Karena
kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak
lagi mengangkat wanita sebagai raja.
Sedangkan
pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama
Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora
meletus. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M).
Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan debu.
Dalam
laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau
Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang
menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun
kemudian Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20
Syafar 1231 Hijriah (1816 M). Pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan
kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana
kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene
Ranga yang sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh
Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 87 Muharram 1252 Hijriah (1836
M).
Mulai
tahun 1836 sampai 1882, tahta Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh
Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu
pemerintahannya ini tidak banyak catatan sejarah yang bisa ditemukan,
barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari peristiwa meletusnya
Gunung Tambora yang sangat dashyat. Sebuah letusan yang konon
menyebabkan langit di Eropa diliputi kabut awan selama dua tahun.
Sultan
Amrullah meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja
diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah.
Pada masa ini campur tangan Belanda sudah terlalu jauh, terutama dalam
hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah pemberontakan rakyat, yang
membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Makassar, sebab
hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan
dalam bidang persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan
termasuk pemberotakan yang terjadi di Taliwang yang dilakukan Unru dan
kawan-kawan.
Kekuasaan
Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru,
Belanda ikut bermain politik di dalam istana, dan ikut menentukan
jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu
dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar ( Ibukota
Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson
Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu
Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Dalam
pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun
“Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan
Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun.
Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun
1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang mendapat gelar
Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah
menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Ketika
perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi –
organisasi Islam di Kabupaten Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi
itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al Irsyad. Sementara
tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri
lepas dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal
perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel
Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh rakyat. Kekuasaan Jepang
tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi
Bom Atom, Jepang menyerah kepada sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir.
Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.
Agresi
Militer Belanda ke Republik Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa
menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada
tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang
sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa.
Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar
negeri dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah
Indonesia Timur berdasarkan Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949
membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh
Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949.
Perubahan
system Pemerintahan terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa
Tenggara Barat, yang didasarkan pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun
1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I
yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi enam Daerah
Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala
Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi
Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17 Desember 1958 dan tanggal
tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal
22 Januari 1959 dan pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad
Kaharruddin III menjadi Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra
Tingkat II Sumbawa. Tanggal itulah yang dijadikan hari lahir Kabupaten
Sumbawa.
C. Nama Raja-Raja Sumbawa
1. Raja-raja yang memerintah di sumbawa , 1674-1958
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah memerintah di Sumbawa dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M
1. Sultan Hasanurrasyid I 1674-1702 m
2. Sultan Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 m
3. Datu Bala Sawo 1723-1725 M
4. Datu Gunung Setia 1725-1732 M
5. Sultan Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6. Sultan Siti Aisyah 1759-1760 M
7. Datu Ungkap Sermin 1761-1762 M
8. Sultan Muhammad Jalaludddin II 1762-1765
9. Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1776
10. Sultan Harunurrasyid II 1776-1790 M
11. Sultan Shafiyatuddin 1791-1795 M
12. Sultan Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13. Nene Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14. Mele Abdullah 1825-1836 M
15. Sultan Amrullah II 1836-1882
16. Sultan Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17. Sultan Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
1. Raja-raja yang memerintah di sumbawa , 1674-1958
Dari beberapa sumber diketahui ada sebanyak 17 raja yang pernah memerintah di Sumbawa dalam kurun waktu dari tahun 1674-1958 M
1. Sultan Hasanurrasyid I 1674-1702 m
2. Sultan Muhammad Jalaluddin I 1702-1723 m
3. Datu Bala Sawo 1723-1725 M
4. Datu Gunung Setia 1725-1732 M
5. Sultan Muhammad Kaharuddin I 1732-1758 M
6. Sultan Siti Aisyah 1759-1760 M
7. Datu Ungkap Sermin 1761-1762 M
8. Sultan Muhammad Jalaludddin II 1762-1765
9. Dewa Mepaconga Mustafa 1765-1776
10. Sultan Harunurrasyid II 1776-1790 M
11. Sultan Shafiyatuddin 1791-1795 M
12. Sultan Muhammaad Kaharuddin II 1795-1816 M
13. Nene Ranga Mele Manyurang 1816-1825 M
14. Mele Abdullah 1825-1836 M
15. Sultan Amrullah II 1836-1882
16. Sultan Muhammad Jalaluddin III 1882-1931 M
17. Sultan Muhammad Kaharuddin III 1931-1958 M
D. SISTEM KEPERCAYAAN
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa
purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan
kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan
perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus
diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha,
bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.
Diperkirakan
agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil
Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke
wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa
Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan
Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia
(Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk),
Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.
Menurut
Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada
Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam
dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya
Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di
wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini
justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh
tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen
yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk
menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir
penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas
Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia
masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa
(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan
rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat
bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.
http://alanzuhri17.blogspot.co.id/2013/01/kerajaan-di-sumbawa.html