sejarah tanralili dan perjuangan Abu Bakar karaenta data
Karena
pertumbuhan Tanralili sendiri seiring dengan berdirinya Toddo Limaya Ri
Marusu diawal tahun 1700, sehingga pada bagian ini tetap merujuk bahwa
Tanralili sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Toddo Limaya
Ri Marusu.
Tanralili
merupakan kerajaan terbesar kedua dalam jajaran Toddo Limaya, setelah
Turikale, yakni Tanralili membawahi 40 Kampung dengan pusat pemerintahan
waktu itu di Masale, dan selanjutnya pada masa pemerintahan I Tjalla
Karaeng Bunga menjadi raja di Tanralili, maka pusat pemerintahan yang
tadinya di Masale di pindahkan ke Bonto Rita dan membangun Baruga di Paramboce (Desa Damai) dan pemukimanan bagi para pengikutnya di Borongloe dan Pallangga (Desa Bontomatene).
Wilayah
Tanralili merupakan hamparan dataran tinggi dan dataran rendah yang
kurang subur untuk dijadikan perkebunan, yang didiami oleh kelompok
masyarakat yang terkenal memiliki temperamen dan watak yang keras dan
mudah tersinggung. Mengapa karakter masyarakat Tanralil demikian ?
Sebab, komunitas awal Tanralili sangat
bergantung dengan alam, dan cukup tertutup dengan komunitas lain,
karena daerah pegunungan yang cukup sulit untuk dijangkau.
Disamping
itu, kebiasaan umum komunitas Tanralili adalah gemar dengan aktifitas
yang bercorak sensasional, petualangan yang berkarakter keras.Hal itulah yang mendasari penamaan daerah ini yaitu Tanralili yang berarti tidak mudah menyerah dan tidak dapat ditundukkan.
Dalam
epos dan legend masyarakat Tanralili telah mengenal adanya peradaban
purba dengan ditemukannya beberapa situs prasejarah seperti tanrassan di Cindakko, tanrassan di Baru (tanrassan; tempat penempah besi untuk membuat badik), yang dibuat oleh pandai besi yang sakti, gua Rapang-Rapang di Baddo Ujung
( gua Rapang-Rapang; konon, ada sembilan patung manusia yang terbuat
dari unsur emas, dengan jenis yang mewakili etnis termasuk bentuk
Chines, Japanese, Dutch, dan orang yang duduk batu tannung), Padang Taring (batu taring setinggi 2,5 meter) di Kaluku. Konon batu Padang Taring merupakan tempat persidangan dan pertemuan 3 batara yang kejadiannya ribuan tahun yang lalu.
Bahkan
beberapa peneliti sejarah mengungkapkan bahwa turunan dinasti pertama
Tanralili (masapurba) banyak menyebar di berbagai negeri kemudian
membangun kerajaan baru. Sementara generasi kerajaan purba di Tanralili
tidak ada yang tersisa, sehingga yang tertinggal adalah cagar budaya
yang tidak terawat namun masih dapat di temui diberbagai tempat.
Ratusan
tahun kemudian pada abad XVII pemerintahan di Tanralili dipimpin oleh
dua dinasti pokok, yang pertama dinasti Latenri To Marilaleng yang
kemudian dikenal sebagai perintis berdirinya kerajaan Tanralili.
Berdasarkan versi tuturan dari responden, bahwa penamaan gelar Daeng
bagi raja Tanralili diambil dari konvensi yang disepakati para raja di
kerajaan Gowa, Bone, dan Luwu, bahwa Tanralili diputuskan sebagai
wilayah otonom dengan gelar Daengta bagi raja yang memimpin Kerajaan Tanralili.
Karena raja pertama yang berkuasa di Tanralili kebetulan berasal dari kerajaan Bone yang merupakan salah satu cucu La Patau Sultan Alimuddin Matinroe Ri Naga Uleng raja Bone XVI/ Datu Soppeng XVII yang
melahirkan dan menurunkan beberapa raja di kerajaan Bone, kerajaan
Luwu, kerajaan Soppeng, kerajaan Gowa. Dari konvensi tiga raja yang
berkuasa di tiga kerajaan tersebut yang kebetulan masih kerabatnya, maka
memudahkan memberikan penamaan gelar Daengta bagi raja di Tanralili.
Dinasti
Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang kemudian membawa kerajaan
Tanralili terkenal, dan diperhitungkan tidak saja di Marusu, Kerajaan
Gowa, Kerajaan Bone. Bahkan kerajaan-kerajaan lain yang berada dalam
otonom Celebes.
Pada
masa pemerintahan Belanda, kerajaan Tanralili selalu menjadi prioritas
dalam penanganan dan pengendalian keamanan. Karena nyaris dalam setiap
pergolakan politik di kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Tanralili
dijadikan sentral perjuangan kemudian melebar dan mempengaruhi konflik
di kerajaan Gowa – Tallo dan kerajaan Bone.
Dalam
tuturan dan catatan masyarakat Tanralili, bahwa Tanralili di beberapa
periodik selalu menjadi tempat konsentrasi dimulainya pergolakan politik
kekuasaan. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XI I Taji Barani Daeng
Marompa Karaengta Data, ketika akan memperluas wilayah kerajaan Gowa,
dan melakukan serangan terhadap kerajaan Bone yang di jabat Raja Bone
VII La Tenrirawe Bongkange Matinroe ri Gucina.
Upaya
perebutan kekuasaan oleh I Mappasempa Daeng Mamaro di bantu Arung Matoa
Wajo, Arung Kaju dari Bone, dan La Madukelleng, saat akan menduduki
kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa, memilih Tanralili sebagai base camp
penyerangan awal ke kerajaan Tallo.
Batara
Gowa I Sangkilan saat menduduki kerajaan Tallo, memilih penyerangan di
mulai dari Tanralili dan menyerang pos Belanda di Marusu, dan berikutnya
kerajaan Tallo. Kemudian kembali menghimpun kekuatan di Tanralili untuk
melakukan serangan kilat ke istana kerajaan Gowa di Jongaya.
Lalu gerakan perjuangan Abu Bakar Karaengta Data pasca perang Beba
membuat pemerintahan di beberapa kerajaan bawahan di kerajaan Gowa –
Tallo mengalami stagnan dan kevakuman termasuk di Marusu sampai di
Pangkajene, implikasi dari perang Beba yang
meledak pada tahun 1819 – 1822, membuat beberapa kerajaan bawahan di
pedalaman kerajaan Gowa nyaris dikuasai oleh laskar Abu Bakar Karaengta
Data seperti, seperti Manuju, Borisallo, Gallarrang Songkolo, dan
beberapa kerajaan yang masuk dalam Toddo Limaya ri Marusu hingga di
Pangkajene. Dan Tanralili dijadikan sebagai alternatif untuk penampungan
bagi laskar dan pengikut militan Abu Bakar Karaengta Data, di bawah
pimpinan putra beliau Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang kemudian
didaulat sebagai raja Tanralili VI.
1. Asal-usul Raja Tanralili
Dinasti
pertama di Tanralili berasal dari Bone pada Lontara silsilah Bone
terungkap mengenai cikal-bakal kerajaan Tanralili dan rajanya. Bahwa
raja Bone XVI La Patau Sultan
Alimuddin Matinroe ri Naga Uleng yang memperistri I Mariama Karaeng
Patukangan putri Mappadulung Daeng Mattimu Karaeng Sanro Bone Sultan
Abdul Jalil, dari perkawinan tersebut melahirkan tiga putra;
1. La Pareppa To Sappewali Arung Palakka Sultan Ismail dan diangkat menjadi Raja Gowa XX
2. La Padangsajati To Wappareweraja
3. La Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur Matinroe ri Beula raja Bone XX. Beliau yang menjadi leluhur di Tanralili.
La
Pannuangi To Wappamole Sultan Abdullah Mansyur memperistrikan Siti
Hawang putri dari Arung Mampu, dan mempunyai anak La Tenri Page Arung
Tungke (Arung Mampu), yang kemudian mengawini salah satu cucu dari ( La
Patau dari istri I Maemuna Dala Marusu, red ) dari perkawinan tersebut
melahirkan I Manning Arung Petteng yang kemudian diperistri oleh La
Tenri To Marilaleng Pawelaiye Kaluku ( putra La To Balang Arung Tanete )
dan melahirkan La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu Ara’na Bulu.
2. Raja yang Memerintah di Kerajaan Tanralili.
- La Mappaware Daeng Ngirate Karaeng Bulu (1697 - 1711)
Adalah
raja pertama Tanralili sehingga ia bergelar Batara Tanralili,
asal-usulnya telah dijelaskan pada bagian depan. Permaisurinya bergelar
Manurung ri Ba’lasa Karaengta Allaere (bulu Ba’lasa; desa Bontomanurung,
red). Berdasarkan penuturan masyarakat dari berbagai sumber, bahwa La
Mappaware merupakan pengembara
yang berasal dari Bone dan bertemu dengan To Manurung dari bulu Ba’lasa.
Dari perkawinannya melahirkan Daengta Tanralili. Sementara Kalompoang
yang disimpan adalah Regelia bernama Bulaengta, lontaranya bernama
Bakkasa, dan azimatnya bernama La Sikapang. Setelah beliau wafat
bergelar Karaeng Bulu.
- Daengta Tanralili Matinroe ri Masale (1711 - 1729)
Daengta Tanralili mengawini We Mantasabbe Daeng Lunga putri dari kerajaan Luwu, yang mempunyai anak 3 orang putra;
- I Lele Daeng Ri Moncong Matinroe ri Tallo
- I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe ri Solojirang
- I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa
3. I Lele Daeng Ri Moncong Matintoe Ri Tallo (1730 – 1735)
Pada masa pemerintahannya ia lebih banyak menjalin hubungan komunikasi
ke
kerajaan Gowa, Bahkan Tanralili menjadi salah satu kerajaan bawahan
dari kerajaan Gowa. Maka suatu ketika terjadi persilihan faham dengan
raja Gowa, yang menyebabkan
dirinya siri’ untuk kembali ke Tanralili. Sehingga mengambil keputusan
menetap di Tallo hingga akhir hayatnya dan bergelar Karaeng Tanralili
Matinroe ri Tallo.
4. I Panjanggau Daeng Mamala Matinroe Ri Solojirang (1735 -1781)
Ia
tercatat sebagai raja yang anti Belanda, bahkan sering mengadakan
perang puputan bersama dengan istrinya Zaenab Daeng Matasa yang
menyebabkan keduanya gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Pada masa
pemerintahannya banyak memberikan fasilitas terhadap perjuangan Batara
Gowa I Sangkilan. Bahkan dalam pendudukan wilayah Marusu dan kerajaan
Tallo (Batara Gowa I Sangkilan; 1777) I Panjanggau Daeng Mamala punya
andil dan advice yang besar. Beliau dikebumikan di tepi Sungai Maros,
beberapa keturanannya kemudian menjalin hubungan perkawinan antara
Tanralili dengan Simbang, Turikale, dan Bontoa.
5. I Malluluang Daeng Manimbang Matinroe ri Cidu Toa (1781 – 1819)
I
Malluluang Daeng Manimbang memperistri I Ripa Daeng Cani Sugi
Bontopadingin. Salah satu anaknya yang bernama Petta Tiro yang kemudian
menempatkan keturunannya menjadi Karaeng Turikale, Karaeng Simbang, dan
bahkan beberapa keturunanannya kemudian menjadi Syech Besar di Tarekat
Khalwatiah di Leppakomai dan Pate’ne. Saat I Malluluang wafat terjadi
kevakuman di kerajaan Tanralili, karena dampak dari perang puputan Abu
Bakar Karaengta Data di mana wilayah kerajaan Tanralili menjadi basis
perjuangan dan pertahanan yang dikuasai oleh pasukan Abu Bakar Karaengta
Data, yang selalu menyerang kekuatan Belanda di Maros dan Pangkep.
Saat
itu, Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong yang menjabat sebagai salah
satu panglima perang laskar kerajaan Bone, banyak dibantu pasukan
gabungan dari laskar kesatuaannya (pengikut setia Abu Bukar Karaengta
Data) yang disiapkan di Tanralili dan laskar Tanralili sendiri dalam
menjaga stabilitas keamanan Bone selatan dan Tanralili.
Beberapa
tahun kemudian setelah perang Abu Bakar Karaengta Data berakhir pada
tahun 1826, maka salah satu cucu dari I Malluluang Daeng Manimbang yang
bernama I Pawawoi Daeng Tula, yang saat itu berperan sebagai Salewatan
Tanralili (Sallewatan; pejabat pemerintahan yang melaksanakan
pemerintahan atas belum adanya pengangkatan Karaeng). Ia berinisiatif
bersama masyarakat setempat mendudukkan putra Karaengta Data untuk jadi
raja di Tanralili. Dengan alasan, ‘’Bahwa Tjalla Karaeng Bunga Karaeng
Borong lebih pas didaulat jadi raja di Tanralili, untuk mengantar rakyat
Tanralili kearah yang lebih baik.’’
6. Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong (1826 -1870)
Tjalla
Karaeng Bunga Karaeng Borong, merupakan putra ketiga Abu Bakar
Karaengta Data dari istrinya yang ketiga I Ranti Daengta Nisayu yang
berasal dari manurung Parigi (Gowa). Tjalla Karaeng Bunga dibesarkan
dalam lingkungan patriotik laskar militan Abu Bakar Karaengta Data.
Dalam usia remaja sudah melibatkan diri dalam perang besar di Beba, pada
saat itu pasukan ayahandanya yang berjumlah 3000 prajurit, dihadapkan
dengan pasukan gabungan Belanda, kerajaan Gowa dan kerajaan sekutu
Belanda mengepung kekuatan pasukan Karaengta Data.
Pertempuran
tidak berimbang waktu, tidak menyiutkan nyali laskar Karaengta Data,
sehingga pertempuran itu dikenal dengan perang Amok yang heroik. Dimana
kedua belah pihak mengalami korban yang besar, dan bagi Belanda perang
Beba merupakan perang histeris karena mengalami pengorbanan yang jauh
lebih besar, kehilangan prajurit pilihan ratusan orang, arsenal dan
armada laut banyak yang dikaramkan.
Sementara
laskar Abu Bakar Karaengta Data beserta keluarganya masih dapat
meloloskan dan menyebar di berbagai tempat di pedalaman Borisallo,
Manuju, Parigi, Tombolo, Tanralili, Jeneponto, Takalar. Pasca perang
Beba, Tjalla Karaeng Bunga mengungsi ke kampung Ponre di kerajaan Bone,
dengan rute perjalanan dari Passibungan, Galesong, Limbung, Pallangga,
Parangbanoa, Kampung Lanna, Borisallo, Gantarang, Kampung Ponre Bone.
Di
kampung Ponre dalam wilayah kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga bersama
dengan pengawal setia ayahandanya yang menjadi pengasuhnya membuka lahan
pertanian. Hingga suatu ketika dalam kebun yang ditanami ubi jalar ada
seekor babi siluman yang kebal dengan senjata tajam, oleh orang kampung
di Ponre babi tersebut selalu meresahkan masyarakat, bahkan cerita babi
suliman tersebut sudah sering jadi obyek pembicaraan di kalangan
petinggi kerajaan Bone. Karena terlalu meresahkan dan telah banyak
penduduk yang jadi korban keganasannya.
Maka saat binatang tersebut muncul dalam lokasi pertanian yang dikelolah Tjalla Karaeng Bunga, oleh salah satu pengawalnya
menombak binatang tersebut dan membawa kabur ’Tombak Kanjai’ milik
Tjalla Karaeng Bunga. Sementara binatang yang tertombak kabur dan mati
di perkampungan terdekat dan jadi tontonan masyarakat kampung. Kabar
matinya babi siluman tersebut sampai di salah satu punggawa kerajaan
Bone, dan tombak Kanjai yang tertancam di punggung babi tersebut diambil
dan dibawa ke istana kerajaan Bone untuk dilaporkan ke raja Bone.
Raja
Bone yang memegang tombak Kanjai lalu mengamati dengan seksama, dan
menanyakan bahwa siapa yang menombak binatng itu, dan siapa pemilik
tombak Kanjai tersebut. Punggawa kerajaan yang mendapati tombak itu,
lalu menyampaikan bahwa berdasarkan informasi penduduk bahwa tombak
tersebut berasal dari kampung Ponre yang pemiliknya berasal dari Gowa.
Raja
Bone yang mendengar bahwa pemilik tombak tersebutt berasal dari Gowa,
dengan serta merta memerintahkan punggawanya mengembalikan dan
menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu dengan pemilik tombak Kanjai
tersebut. Maka punggawa kerajaan Bone berangkat ke kampung Ponre menemui
Tjalla Karaeng Bunga dan menyampaikan bahwa raja Bone mau bertemu
dengannya.
Beberapa
hari kemudian Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong berkunjung ke istana
dan menemui raja Bone. Setelah berbincang beberapa saat raja Bone
berpesan dan meminta agar Tjalla karaeng Bunga sudi tinggal di kerajaan
Bone, ’’ Tinggallah di sini nak membantu kakekmu, nanti setelah panen
baru kita keluar ke kerajaan Gowa.’’
Di kerajaan Bone Tjalla Karaeng Bunga di beri posisi strategis dengan jabatan salah satu panglima perang kerajaan. Semasa
panglima perang pada tahun (1820 – 25) berkali-kali ia menyerang posisi
Belanda di Marusu. Bahkan setiap melakukan serangan ke kekuatan Belanda
dan kerajaan Gowa di Marusu, ia selalu menggunakan sisa laskar
ayahandanya yang telah menetap di Tanralili, sementar laskar pasukan
dari kerajaan Bone di jadikan sebagai pembackup pasukan.
Karena
seringnya melakukan tekanan dan gangguan terhadap kekuatan Belanda dan
kerajaan Gowa, maka asisten Gubernur yang berkedudukan di Pangkajene
meminta Gubernur Belanda di Makassar, agar membicarakan dengan raja
Bone, raja Gowa, bagaimana strategi meredam gejolak tersebut.
Maka
gubernur Belanda di Makassar bersepakat dengan raja Gowa untuk
menawarkan beberapa alternatif kerajaan di Maros untuk menjadi otonomi
dari Tjalla Karaeng Bunga. Mendengar
niat Belanda dan raja Gowa, maka I Pawawoi Daeng Tula dengan senang
hati menawarkan ke Tjalla Karaeng Bunga, agar ia memilih Tanralili
sebagai pilihan. Karena Tanralili merupakan basis perjuangan kakeknya
Batara Gowa I Sangkilan dan ayahandanya Karaengta Data. Tanralili juga
bersebelahan dengan kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo.
Atas saran dan permintaan I Pawawoi Daeng Tula Salewatan Tanralili I, ’’... Inai paleng langngerangi Tanralili mange ri kalabiranna, ka i kambe ji nak siratanna ni paempo jari Karaeng... ’’ maka Tjalla Karaeng Bunga menerima Tanralili sebagai pilihannya, dengan konsekuensi bahwa, ‘’...kukarannuangmi ri minasanta ngaseng ki paempoa ri kalabirang mingka ki kambeya rimapparentaku...’’ Dengan pertimbangan strategis bahwa Tanralili merupakan komunitas yang fanatis dan militan dalam memperjuangkan hak-hak universal. Bahwa komunitas Tanralili selama ini banyak menyumbang Tubarani dalam perjalanan sejarah kerajaan Gowa.
Pada
masa pemerintahannya sebagai raja Tanralili, ia banyak didampingi
saudaranya dalam pengambilan kebijakan dan keputusan seperti I Galesa
Karaeng Ri Burane (I Pelo
Karaeng Panrita), I Sakodana Karaeng Sila (Rajabagus), dan adiknya I
Tajibarani Karaeng Tarang. Begitu juga dalam pelaksanaan pemerintahan ia
mempercayakan pada I Pawawoi Daeng Tula sebagai Salewatan Tanralili,
dan beberapa pengawal pribadi ayahandanya yang dijadikan sebagai
penasehat dalam pengambilan keputusan.
Oleh
para saudaranya dan mantan para pengawal pribadi ayahandanya, berniat
membesarkan Tanralili sebagai basis kekuatan kekuatan inti sesuai amanah
dan pesan Abu Bakar Karaengta Data, saat terpisah di perang Beba di
kampung Passimbungan. Mereka bersepakat, bahwa walaupun Tanralili itu
dibatasi kewenangannya sebagai salah satu kerajaan bawahan (regent).
Namun,
Tanralili harus menguasai wilayah seluas-luasnya hingga berbatasan
dengan kerajaan Gowa – Tallo, dan menjalin hubungan yang bagus dan
harmonis dengan kerajaan tetangga dan kerajaan lain yang sepaham dan
berpandangan sama tentang katojengan, siri na pacce sebagai pijakan bagi pemerintah.
Keuletan para kerabat dan saudaranya memperluas pengaruh dan wilayah
kerajaan Tanralili, tidak terlepas dari stagnan pemerintahan kerajaan
Gowa dan pemerintahan Belanda pasca kerusuhan besar akibat perang Abu
Bakar Karaengta Data.
Akibat
dari kerusuhan itu, maka kepercayaan masyarakat pedalaman dan kerajaan
bawahan dalam otonomi kerajaan Gowa dapat dikatakan melemah pengaruhnya.
Karena pemerintah kerajaan di sibukkan dengan gejolak pemberontakan dan
gerakan separatis yang melakukan kekacauan di daerah pedalaman.
Sehingga pihak kerajaan Gowa tidak mampu lagi mengawasi pemerintahan dan
ketertiban masyarakat. Maka, kampung-kampung yang kebetulan
berdampingan dengan Tanralili dengan sukarela menggabung dalam
pemerintahan Tanralili.
Di
masa pemerintahan Tjalla Karaeng Karaeng Bunga sebagai raja Tanralili,
kerajaan Tanralili mengalami banyak kemajuan dengan bergabungnya
beberapa kampung Makkaraeng, Kadieng, Bontoa, Batutambung, Daya, Romang
Polong hingga batas sepanjang sungai Tallo. Karena luasnya wilayah dan
perkampungan penduduk yang harus dikawal.
Dengan
pertimbangan strategis bahwa untuk memajukan Regent Tanralili maka
pusat pemerintahan Tanralili yang sebelumnya berkedudukan di Masale,
kemudian di pindahkan ke Bonto Rita dengan mendirikan Baruga di Parang
Boce pada tahun 1828 sebagai Centre Goovernance of Regent Tanralili. Bahwa
pusat pemerintahan bila berada di dataran rendah akan lebih terbuka,
dan akan banyak dikunjungi oleh orang dan komunikasi dengan perkampungan
luar dan negeri sahabat akan lebih mudah berkoordinasi untuk memajukan
pola pandang dan pembangunan komunitas ke depan.
Dengan
pergeseran pusat pemerintah dari Masale ke Parangboce, maka dengan
sendirinya terjadi pembukaan pemukiman baru bagi kerabat dalam jarak 500
meter dari sebelah utara pemukiman penduduk di Tompobalang dan Bonto
Cinde, sebelah timur pemukiman penduduk di Pammelakkang dan
Biringkaloro, sebelah selatan pemukiman penduduk Patadang dan Borongloe,
sebelah barat pemukiman penduduk Pallangga dan Pasaikang. Ia juga membuka pemukiman di Amarang dan Billa yang didiami oleh keluarga terdekat (famili gruop).
Pembukaan pemukiman penduduk dengan sistim sulapa appa, dimaksudkan sebagai sistem pertahanan terbuka dari lingkar terluar untuk mendeteksi dan mengantisipasi ancaman dari luar.
Dimasa
pemerintahannya peran Karaeng Binea (Djira Karaeng Kalukuan; istri, dan
pada sisi lainnya adalah masih tantenya sendiri, karena dikuatirkan
akan diambil dan diperistri oleh tuan Besman) penguasa assisten gubernur Belanda di Maros dan Pangkajene.
Peran
strategis Karaeng Kalukuan dalam mengembalikan tanah adat dari Karaeng
Bisei yang sebelumnya dikuasai Belanda, kemudian dikembalikan kepimilikannya
oleh Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong ke istrinya Djira Karengta
Kalukuan, dengan alasan bahwa tanah adat tersebut adalah milik dari
Karaeng Bisei dan Djira Karaeng Kalukuan adalah pewaris dari tanah adat
tersebut.
Untuk
menghindari konflik lahan dikemudian hari, maka Djira Karaengta
Kalukuan berinisiatif mengawinkan dua anak binaannya dengan keponakannya
dari anak Karaeng Bisei. Karaeng Kalukuan lalu menyarankan agar
dilakukan perkawinan silang antara putra-putri dari saudaranya dengan
putra-putri Tjalla Karaeng Bunga dari Karaeng Baji dan Karaeng Suji.
Lalu
pada tahun 1845 dilakukan perkawinan kembar di Baruga Paramboce antara
Fatahulla Karaeng Tayang anak dari Karaeng Baji dikawinkan dengan
Karaeng Padja putri dari Karaeng Bisei I, dan Hamdja Karaeng Taba putra
dari Karaeng Bisei dikawinkan dengan Karaeng Labbi putri dari Karaeng
Suji. Setahun kemudian Nyimpung Karaeng Lallo anak kedua dari istrinya
yang pertama Karaeng Suji dikawinkan dengan Dani Karaeng Ngati anak dari
Karaeng Nya’la (bersaudara dengan Karaeng Sissing) cucu dari Karaeng Bisei Toa.
Pada
tahun 1868 muncul gerakan separatis untuk menggulingkan raja Gowa XXXII
I Kumala Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid, yang di lakukan kompatriot
Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong, yang dipimpin oleh Gallarrang
Mangasa Mannyereang Daeng Serang, Gallarrang Songkolo Garancing Daeng
Malala (Bapak Pento), dan Gallarrang Moncongloe Apabang. Mareka mencoba
melakukan Coup agar raja
Gowa turun dari tahtanya, supaya Tjalla Karaeng Bunga dapat
menggantikannya. Tetapi upaya itu digagalkan oleh gubernur Belanda di
Makassar, dan Gallarrang Mangasa di penjarakan.
Sementara Tjalla Karaeng Bunga mendapat
teguran keras dari gubernur Belanda, agar tidak melibatkan diri dalam
gerakan sosial, sejak peristiwa itu ruang gerak Tjalla Karaeng Bunga
mulai dibatasai oleh penguasa Belanda. Karena di takutkan bila gerakan
sosial dan provokasi para kolega Tjalla Karaeng Bunga yang menyebar di
berbagai raja-raja bawahan di kerajaan Gowa akan sulit dipadamkan bila
mereka merapatkan barisan untuk mengusung Tjalla Karaeng Borong sebagai
raja Gowa yang baru.
7. Fatahulla Karaeng Tayang (1871 – 1877)
Setelah
ayahandanya wafat Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong Karaeng Tanralili
ke 6 pada tahun 1870. Maka Fatahulla Karaeng Tayang menggantikan
ayahandanya sebagai karaeng Tanralili, Fatahulla Karaeng Tayang
merupakan putra pertama Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari
istrinya Karaeng Baji yang berasal dari kerajan Selayar.
Beliau
merupakan anak tunggal dari istri keduanya yang berasal dari kerajaan
Selayar, yang kemudian dikawinkan pada tahun 1845 dengan Karaeng Padja
anak dari Karaengta Bisei I (kemanakan dari Djira Karaengta Kalukuan
istri dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong).
8. Nyimpung Karaeng Lallo (1877 – 1898)
Karena
pertimbangan kesehatan dan ketidakmampuan untuk menjalankan
pemerintahan, maka Fatahulla Karaeng Tayang menyerahkan tampuk pimpinan
ke adiknya Nyimpung Karaeng Lallo anak ketiga Tjalla Karaeng Bunga
Karaeng Borong dari istri pertamanya Batari Karaeng Suji.
Pada
masa pemerintahan Nyimpung Karaeng Lallo sebagai karaeng Tanralili ke
8, mengalami banyak kemajuan bagi Tanralili, baik dari segi peningkatan
keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Konon dimasa
pemerintahannya sangat tegas terhadap berbagai tindak kejahatan, maka
banyak kerabat dari kakeknya yang menjalin hubungan kerjasama dengan
Tanralili, seperti bangsawan dari Bone, Bantaeng, Gowa, Polongbangkeng,
Selayar, Manuju, Borisallo, Parigi.
Bahkan, ia dengan sukarela mengirimkan bantuan Tubarani
dari Tanralili ke daerah konflik bilamana kerajaan kerabatnyamengalami
gangguan dari kelompok separatis yang mengganggu stabilitas keamanan. Maka tidak mengherankan bila raja-raja dari kerajaan kerabatnya mempunyai hubungan emosional dengan Tanralili.
Maka
tidaklah mengherankan saat akan diasingkan ke Bima, para kerabat dan
keluarganya dari selatan ingin melakukan pemberontakan dan membakar
Bandar Makassar saat akan diasingkan ke Bima. Karena
tidak menerima perlakuan pemerintah Belanda terhadap Nyimpung Karaeng
Lallo yang akan diasingkan ke Bima. Para kerabat dan keluarga
berdatangan dari Polongbangkeng, Bantaeng, Bone, Gallarang Songkolo
meminta ke pemerintah Belanda agar membatalkan pengasingannya ke Bima
bersama putra pertamanya Toe Karaeng Gajang. Beliau kemudian wafat di
Dompu Bima.
Nyimpung Karaeng Lallo beristrikan Dani
Karaeng Ngati, dengan 4 orang anak; Toe Karaeng Gajang, Bandu Karaeng
Palallo, Bode karaeng Djai, dan Tumaning Karaeng Tuni. Selain Dani
Karaeng Ngati sebagai istri pertama, ia juga mengawini kemanakan dari
Karaeng Bossolo yang bernama Daeng Bollo yang kemudian melahirkan
Mattoreang Karaeng Ramma.
9. Toe Karaeng Gajang Karaeng Ta’lea ri Bima (1899 – 1906)
Karena
faktor usia dan kesehatan maka pemerintahan karaeng Tanralili lalu
diserahkan ke putranya Toe Karaeng Gajang sebagai karaeng Tanralili ke
9, beliau menggantikan ayahandanya secara resmi pada tahun 1899 – 1906.
Dalam masa pemerintahannya sebagai karaeng Tanralili, dikenal idealis
dan militan dalam menyelesaikan masalah.
Tindakan-tindakannya
sangat keras dan banyak bertentangan dengan pemerintahan Belanda yang
waktu itu masih berkuasa. Banyak kebijakannya yang merugikan pihak
Belanda, sehingga pemerintahan Belanda turut diresahkan akan sepak
terjang Toe Karaeng Gajang yang terlalu idealis.
Atas
tindakan dan kelakuannya yang idealis dan militan lalu beliau kemudian
diasingkan ke Bima, ayahandanya kemudian ikut mendampinginya di buang ke
Bima. Karena Nyimpung Karaeng Lallo menyayangkan putranya diasingkan
sendiri ke Bima, sebab usianya masih terlalu muda untuk menjalani hidup
yang keras di pengasingan. Maka dengan sukarela dan ikhlas ayahandanya
turut serta mendampingi anaknya diasingkan ke Bima.
Selama
masa pengasingan beliau digantikan adiknya I Bandu Karaeng Palallo
sebagai Salewatan Tanralili II, sampai adanya pengganti karaeng
Tanralili secara resmi yang diputuskan berdasarkan konvensi adat.
10. Punru Daeng Mangati Matinroe Ri Bengkalis (1908 – 1916)
Punru
Daeng Mangati adalah putra dari Pacoloi Daeng Mangoyo dari istrinya I
Banna Petta Nurung ( salah anak dari Arung Ponre di Bone). Konon, akibat penghianatan seorang Landzat Pribumi, lalu diasingkan ke Bengkalis Sumatera, hingga wafat dan dimakamkan di Bengkalis.
Punru Daeng Mangati memperistri Raden Halija Daeng Ratang anak dari tuan Jaksa Landrad Maros ( Raden Mas Sukaraja ).
11. Abdul Gani Karaeng Romo (1916 – 1925)
Ayahandanya
bernama Raden Mas Abdul Fattah adalah cucu dari Pangeran Dipanegoro.
Raden Mas Abdul Fattah kemudian memperistri Baliang Karaeng Tanang (anak
dari Tjalla Karaeng Bunga Karaeng Borong dari istri ke 4 yang bernama
Daeng Ngimi). Abdul Gani Karaeng Romo kemudian memperistri Siti Basari
Karaeng Labbi anak dari Bandu Karaeng Palallo Salewatan Tanralili II.
12. Andi Nanggong Karaeng Matimu (1925 – 1930)
Andi
Nanggong Karaeng Matimu, sebelunya adalah juru tulis Karaeng Tanralili
yang digantikan, ketika Abdul Gani Karaeng Romo mengundurkan diri, dan
digantikan oleh Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi
Nanggong Karaeng Mattimu, memang berhak memangku jabatan Karaeng
Tanralili karena ibundanya yang bernama Bode Karaeng Jai merupakan anak
dari Nyimpung Karaeng Lallo Karaeng Tanralili ke – 8. Dari perkawinan
Bode Karaeng Jai dengan Andi Muhammad Ali Kareang Lira Karaeng
Labbakkang, yang kemudian melahirkan Andi Nanggong Karaeng Mattimu.
Andi
Nanggong Karaeng Mattimu kemudian diberhentikan dari Karaeng Tanralili
ke 12, dan kemudian diangkat sebagai Karaeng Segeri oleh gubernement
13. Andi Abdullah Daeng Matutu (1930 – 1952)
Abdullah
Daeng Matutu, sesungguhnya berasal dari Turikale dan Simbang, sebab
ibunya bernama Sahada Daeng Ningai adalah anak dari La Umma Daeng
Manrapi karaeng Turikale III. Berarti ibunya masih bersaudara dengan
Patahuddin Daeng Parumpa Karaeng Simbang X.
14. Andi Badudin Daeng Manuntung (1952 – 1963)
Andi Baduddin Daeng Manuntung adalah
putra dari Andi Fahrudin Daeng Sila Karaeng Imam Simbang dan I Dawani
Daeng Bau anak dari Gallarrang Kodingareng, Andi Fahrudin merupakan adik
kandung dari Andi Abdullah Daeng Matutu Karaeng Tanralili XIII.
Andi Badudin Daeng Manuntung, merupakan karaeng Tanralili XIV dan yang terakhir,
karena Distrik Tanralili kemudian dilebur menjadi kecamatan Mandai.
Andi Badudin kemudian menjadi salah satu staf di kecamatan Mandai,
kemudian diangkat menjadi camat di Bantimurung.