Menggali Kembali Semangat Arru’na Bate Salapang
Meski berwatak keras, konon leluhur orang Makassar itu sejatinya sangat penurut dan mudah diatur. Mereka dikenal patuh pada hukum dan pemimpin, yang biasanya diikrarkan dalam prosesi ritual “Angngarru’, atau bersumpah setia. Selama mereka memegang sumpah, yang juga dilandasi kearifan lokal siri’ na pacce, tak akan pernah terbersit untuk melakukan pelanggaran atas sumpah itu. Mereka bersedia diatur dan diarahkan oleh pemimpinnya, tak peduli asal, gender atau apapun atribut sesembahannya itu.Tersebutlah Kasuwiyang Salapang atau Bate Salapang, konfederasi sembilan negeri pra-sejarah yang kelak membentuk kerajaan Gowa dan menurunkan suku Makassar. Hingga menjejak abad 13M, Kasuwiyang Salapang atau Sembilan Negeri kecil berdaulat yang terdiri dari Tomboloq, Parang-parang, Lakiung, Bissei, Dataq, Kalling, Serroq, Samata, dan Agang Jekne ini senantiasa larut dalam pertikaian berkepanjangan.
Masa perseteruan mereka itu dikenal dengan masa sikanre juku, atau masa saling memakan bak ikan di lautan: yang besar dan kuat memakan yang kecil dan lemah, sebaliknya yang kecil dan lemah juga berusaha untuk selalu menggerogoti ikan besar. Keadaan kacau balau, tak ada yang mau mengalah karena semua ingin menunjukkan keunggulannya atas yang lain. Garis-garis demarkasi kedaulatan antar negeri menjadi bias dan luntur karena pertikaian. Perekonomian menjadi tersendat, dan gerak kebebasan masyarakat menjadi terhimpit karena ketakutan dan penderitaan.
Jemu dengan pertikaian yang tak ada habisnya, para pemimpin Bate Salapang ini tiba pada tingkat kesadaran komunal dan bermufakat untuk membekukan dendam kesumat yang sudah mengakar lama di antara mereka. Mereka sadar, instabilitas karena perang tak akan membawa mereka ke kemajuan, apalagi kesejahteraan. Juga, mengerek kuasa dan keunggulan fisik di atas yang lain ternyata tidaklah begitu penting, terutama dalam kerangka kesadaran masyarakat komunal yang meniscayakan kerjasama.
Pada saat yang bersamaan seorang perempuan yang tak dikenal nama dan asal-usulnya muncul di Tamalate. Orang-orang hanya menyebutnya sebagai Tomanurunga ri Tamalate, sosok suci dari langit yang turun di Tamalate. Terkesan akan kharisma dan kebijaksanaan perempuan asing ini, maka para pemimpin Bate Salapang mengangkat sembah dan menjadikannya Karaeng Gowa pertama. Masa pencerahan ini juga menghasilkan ketetapan hukum yang berlaku permanen di seluruh negeri, bahkan hingga jaman kerajaan Gowa modern.
Hukum tertulis yang konon tertua di Asia Tenggara itu kemudian dikenal dengan nama “Arru’na Bate Salapang” atau Ikrar Setia Sembilan Bendera. Kurang lebihnya, ikrar itu menyatakan sumpah setia rakyat sembilan negeri untuk bersatu dalam kedamaian dibawah kepemimpinan Karaeng Gowa, dengan prasyarat bahwa selama kedaulatan negeri dan hak-hak pribadi rakyatnya tetap dijunjung tinggi. Demikian sakralnya, sumpah setia ini kemudian dilembagakan menjadi dewan Bate Salapang yang menjadi pengontrol kekuasaan Karaeng Gowa.
Itulah laku leluhur orang Makassar yang terwakili dalam konfederasi Bate Salapang yang terkenal, memaku diri pada kepatuhan dan kehormatan sekaligus. Laku ini turun temurun terpatri dalam dada mereka, hingga suku bangsa Makassar, dan berikut juga bangsa saudara se-tanah semenanjung mereka; Bugis, Mandar, Toraja, Luwu, Duri dan yang lainnya, melintasi kronik 800 tahun hingga hari ini, sebagaimana disajikan dalam banyak naskah sastra daerah yang sampai ke tangan kita kini. Lewat sastra daerah yang menghimpun ingatan kolektif bangsa Makassar, kita banyak menyimak betapa betapa banyak kearifan lokal yang kemudian mengalir dalam darah kita semua.